KARYA sastra dapat menjadi medium bagi siapa saja yang ingin mencurahkan rasa, cipta, dan karsanya. Setiap insan bisa berkarya, semua kalangan bisa menulis. Tak terkecuali Ika Agustina, ia adalah penyair penyandang disabilitas dari Yayasan Bhakti Senang Hati.
Waktu itu saya berkesempatan bergabung bersama Pusat Informasi dan Konseling Mahasiswa (PIKM) Widyadari, Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) yang melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat di Yayasan Bhakti Senang Hati (YBSH), Siangan, Gianyar.
Saya sempat berbincang-bincang dengan beberapa anggota dari YBSH. Salah satunya bersama Ika Agustina, ia penyandang disabilitas yang gemar bersastra. Saat itu, juga ada Dewa Ayu Eka Purba Dharma Tari, M.Psi., Psikolog. (Psikolog, Dosen UPMI) atau akrab disapa Ibu Dewa Ayu, ia merupakan salah satu volunteer di YBSH.
Kami bertiga berbincang setelah kegiatan pengabdian masyarakat selesai dilaksanakan. Derasnya hujan turut menyertai obrolan kami. Saking asyiknya mengobrol, waktu terasa bergulir begitu cepat. Ibu Dewa Ayu menceritakan banyak hal tentang Ika, begitupun Ika menceritakan banyak hal tentang Ibu Dewa Ayu.
Ika menunjukkan beberapa puisinya yang diunggah di media sosial. Ia juga memperlihatkan buku kumpulan puisi miliknya, buku itu berjudul “Suaraku dari Atas Kursi Roda“. Ika mengatakan buku tersebut sudah pernah diulas dan dibedah oleh Alm. Arief Budiman atau akrab disapa Ayip (Co-Founder Rumah Sanur Creative Hub) dan Made Adnyana Ole (sastrawan, founder Tatkala.co), saat peluncuran bukunya di Rumah Sanur.
Saya (penulis) bersama dengan Ika Agustina | Foto: dok. Dewa Ayu Eka
Bagi Ika, menulis adalah terapi menenangkan diri, ia bisa mencurahkan isi hati dan pikirannya dalam puisi. Ika juga mengatakan sangat senang apabila ada yang membaca dan mengapresiasi karyanya.
“Saya mulai terbiasa mengungkapkan perasaan lewat tulisan. Menenangkan, sebab tatkala tak mampu mencurahkan isi hati melalui ucapan, saya bisa menuangkannya lewat aksara,” ujarnya.
Nama lengkapnya Ni Wayan Ika Agustina, biasa dipanggil Ika. Ia lahir di Rendang, Karangasem, 15 Agustus 1998. Dari pasangan I Wayan Kertiyasa dan Ni Wayan Sukasih. Ika merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Ika lahir secara prematur, baru enam bulan dalam kandungan, ia sudah lahir. Ika juga mengidap penyakit Cerebral Palsy, yaitu kondisi yang memengaruhi otot dan saraf. Penyakit tersebut mengharuskannya menggunakan alat bantu kursi roda. Jadi memang dari kecil ia tidak pernah merasakan bagaimana rasanya berjalan. Penyakit tersebut bukan bawaan, tapi dimulai dari tahap awal kehidupan, yaitu sejak lahir.
Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan keunikannya tersendiri, begitupun dengan Ika. Ia memiliki bakat dalam menulis puisi. Ika kerap menulis puisi-puisinya di media sosial Facebook, yang kemudian berhasil dibukukan menjadi kumpulan puisi pertamanya, yaitu “Suaraku dari Kursi Roda” yang diterbitkan oleh CV. Tinta Emas Perkasa pada tahun 2019.
Karya keduanya adalah buku kumpulan puisi “Menyuarakan Jiwa dengan Cinta” yang diterbitkan oleh CV. Tinta Emas Perkasa pada tahun 2021. Buku ini merupakan hasil kolaborasi Ika bersama Kadek Agus yang juga penyandang disabilitas. Kadek Agus sendiri telah berhasil menerbitkan tiga buku.
Ika mengatakan, Ibu Dewa Ayu memiliki andil besar dalam proses kreatifnya. Berkat motivasi dan dorongannya, ia menjadi percaya diri untuk menerbitkan puisi-puisi yang selama ini hanya mengendap di status Facebook. Selain itu, Dewa Ayu Eka juga menjadi editor dan turut membantu mencari penerbit buku yang bersedia menerbitkan karyanya.
Ibu Dewa Ayu mengatakan, Ika memiliki potensi yang bagus, dengan kondisinya yang di atas kursi roda, ia mampu menuangkan imajinasinya dalam bentuk tulisan-tulisan.
“Ika ini punya kemampuan yang baik dan imajinasinya bagus. Ia juga punya potensi yang bagus untuk berkembang, sehingga Ika harus diberi kesempatan untuk menunjukkannya. Siapa tahu dengan pergerakan Ika, teman-teman penyandang disabilitas lain yang memiliki potensi jadi terinspirasi,” ujar Dewa Ayu Eka.
Setelah mengeluarkan dua buku kumpulan puisi, kini Ika tengah menabung cerpen-cerpen untuk dikemas menjadi kumpulan cerpen. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru dalam proses kreatifnya menulis.
Ika Agustina (depan) bersama tiga member YBSH | Foto: dok. Ika Agustina
Sebelum tinggal di YBSH, Ika sempat mengeyam pendidikan di salah satu sekolah dasar negeri di Rendang, Karangasem. Setelah lulus, ia sangat ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikutnya, tapi ia terhalang oleh akses, karena jalan menuju sekolah SMP sulit dan jaraknya sangat jauh. Akibatnya ia terpaksa putus sekolah.
Ika menceritakan, setelah satu tahun diam di rumah tanpa bersekolah. Suatu hari datang Ibu Putu Suriati, ia juga penyandang disabilitas yang duduk di kursi roda. Putu Suriati merupakan pendiri dari Yayasan Bhakti Senang Hati (YBSH). Ketika itu, ia datang bersama beberapa orang, dengan maksud ingin mengajak Ika untuk bergabung di YBSH. Ibu Suriati mengatakan kepada Ika dan Keluarganya, di YBSH terdapat asrama yang mengasramakan para penyandang disabilitas. Waktu itu tempatnya masih di Tampaksiring, Gianyar.
“Awalnya, jelas saya menolak, saya tidak pernah jauh dari orang tua dan keluarga sebelumnya, bahkan saya tidak pernah membayangkannya. Tetapi mereka terus merayu, saya meminta waktu satu bulan untuk mempertimbangkannya. Akhirnya mereka pergi dengan lega, namun menjadi beban bagi saya,” ungkap Ika.
Akhirnya Ika menyetujui ajakan tersebut, ia pun mulai bergabung dengan YBSH pada tahun 2012. Awalnya sangat sulit baginya untuk hidup mandiri tanpa bantuan orang tuanya, namun lama-kelamaan ia menjadi terbiasa, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya.
“Semua pengurus dan anggota yayasan merupakan penyandang disabilitas, karena yayasan ini berfokus memandirikan para anggotanya. Tidak mudah beradaptasi di dalam sebuah organisasi, dengan semua peraturan. Terlebih kita diharuskan untuk bisa mandiri,” ungkapnya .
Setelah satu tahun tidak melanjutkan pendidikan, akhirnya Ika bisa kembali bersekolah di salah satu SMP swasta di Tampaksiring. Tetapi, tak lama bersekolah di Tampaksiring, YBSH harus pindah karena telah habis masa kontrak.
“Pada bulan September 2014, yayasan ini pindah ke Siangan, Gianyar. Saya pun juga harus pindah sekolah. Berat rasanya berpisah dengan teman-teman sekolah di Tampaksiring, tetapi apa boleh buat,” kata Ika.
“Yayasan juga mengubah namanya menjadi Yayasan Bhakti Senang Hati. Sebab sebelumnya belum terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Kepengurusannya pun berpindah tangan. Ibu Putu Suriati memilih pensiun dari jabatannya, kemudian digantikan oleh bapak Nyoman Sukadana,” jelasnya.
Ika mengaku gemar menulis puisi sejak SMP, dari situlah awalnya ia bermimpi untuk memiliki buku karya sendiri. Setelah lulus SMA, ia tidak melanjutkan pendidikannya, ia memilih untuk bekerja di yayasan. Di yayasan ada sebuah restoran, itu menjadi salah satu program agar bisa memandirikan para member yayasan.
“Bali terkenal dengan pariwisatanya. Jadi, yayasan juga memanfaatkan hal itu. Para wisatawan asing bisa datang ke restoran kami untuk mencicipi berbagai masakan Bali, yang memasak juga para anggota yayasan. Semuanya sudah memiliki tugas masing-masing, tugas saya menyambut para tamu serta presentasi tentang semua program yayasan. Para wisatawan hampir dari seluruh dunia sudah pernah datang ke restoran kami,” jelas Ika
Suatu ketika ada beberapa relawan yang datang ke yayasan. Mereka mengajari kami cara meditasi. Itulah menjadi awal pertemuan Ika dengan Ibu Dewa Ayu. Ika mengatakan, beliau datang bersama rombongan relawan lainnya. Ika bercerita banyak hal kepada Ibu Dewa Ayu. Meskipun baru saling mengenal, entah mengapa ia sudah merasa sangat dekat.
Swafoto Ika Agustina dan Dewa Ayu Eka | Foto: dok. Dewa Ayu Eka
Beberapa hari berlalu, Ibu Dewa Ayu pun membaca sejumlah puisi-puisinya di Facebook, beliau pun mengungkapkan kekagumannya kepada Ika lewat telepon. Beliau juga mengatakan akan membantu Ika untuk menerbitkan puisi-puisinya menjadi buku. Kemudian, Ibu Dewa Ayu meminta Ika untuk mengirimkan semua puisinya.
“Mungkin Ibu Dewa Ayu adalah sebuah jawaban atas semua doa saya selama ini,” kata Ika sembari tersenyum memandang Ibu Dewa Ayu.
Setelah sekian bulan berlalu, akhirnya Ibu Dewa Ayu kembali ke yayasan memberikan kabar baik, ia mengatakan sudah mendapatkan penerbit yang bersedia untuk menerbitkan karya Ika, yaitu CV. Tinta Emas Perkasa, yang terletak di Kuta, Badung.
“Ibu Dewa Ayu sudah lebih dari sahabat bagi saya, sudah seperti keluarga, seperti kakak. Saya sangat bersyukur karena Ibu Dewa Ayu selalu bersama saya, juga mendampingi saya agar bisa melewati semua proses saya dalam berkarya,” ungkapnya.
Setelah melalui proses yang cukup panjang. Akhirnya pada 23 agustus 2019, atas dukungan dari berbagai pihak. Ika melangsungkan peluncuran dan bedah buku kumpulan puisi pertamanya, yaitu “Suaraku dari Atas Kursi Roda” yang dilaksanakan di Rumah Sanur, Denpasar.
“Tidak ada satu kata pun yang bisa mewakili perasaan saya waktu itu. Hari itu adalah hari yang sangat membahagiakan, saya bisa melihat mimpi yang sudah lama terpendam akhirnya terwujud, dan saya bisa melihat dengan mata terbuka,” tandasnya mengakhiri cerita.
Seusai bercerita, saya diberi dua buku kumpulan puisi oleh Ika, “Suaraku dari Atas Kursi Roda” dan “Menyuarakan Jiwa dengan Cinta” (buku kolaborasinya bersama Kadek Agus).
Tak berselang lama, hujan pun akhirnya mereda. Ketika saya dan skuad PIKM Widyadari yang lain beranjak pulang, Ika memanggil dengan nada sedikit kencang, “De, jangan lupa dibaca ya!”. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulisDEDE PUTRA WIGUNA