SUDAH 50 tahun sejak terakhir kali Lanus melaut. Kini, ia harus melakoninya lagi. Seperti kekasih yang pernah ia cintai, dulu laut adalah dunianya. Namun, akhirnya laut harus ia tinggalkan karena sorot kebencian orang-orang terkasihnya.
Bulan tak lagi memuncak. Angin malam berganti embun dini hari. “Aku harus kembali ke laut,” bisiknya. Dibayangkan istri tercinta masih terbaring dalam tidur. Ia adalah satu-satunya alasan kembali melaut. Sebab, istrinyalah sosok setia yang selalu mendampinginya saat keluarga lain pergi meninggalkannya.
Tambatan perahu sudah Lanus lepaskan. Tubuhnya menggigil. Di kejauhan, lampu mercusuar Pelabuhan Tanjung Pertamina berkelip-kelip. Melihat itu, ingatannya kembali 50 tahun lalu.
50 tahun lalu, umurnya 20-an. Lanus masih pelaut tulen. Di umur yang masih belia, ia adalah raja laut. Beragam situasi pernah ia hadapi.
Lanus hanya melaut dua kali dalam seminggu. Hasilnya cukup untuk ia jual dan bagikan ke tetangga. Sesekali ia akan melaut agak ke dalam untuk mendapat tuna, sedangkan untuk tongkol atau tenggiri, ia tak perlu melaut hingga ke tengah. Kalau cumi, sudah menjadi ikan biasa sebab pada hari-hari tertentu cumi bisa datang hingga ke dekat pantai. Begitulah, hasil lautnya berlimpah. Setiap nelayan dipenuhi kebahagiaan.
Lalu datanglah Pertamina, membawa rancangan projek pendirian Pelabuhan Tanjung Pertamina. Masyarakat bersuka cita sebab konpensasi lahan menggiurkan. Bagi masyarakat Desa Ampo, uang jutaan rupiah adalah hal yang langka. Jumlah yang sangat besar. Tak mungkin bisa mereka peroleh sekalipun dengan menjual hasil laut setahun. Maka, masyarakat Desa Ampo mengizinkan pembangunan pelabuhan itu.
Hanya Lanus yang menentang. Ia takut, minyak berceceran ke laut. Ikan akan menjauh. Nelayan sepertinya pasti dirugikan. Dengan berapi-api ia menentang itu. Namun, apa mau di kata. Suaranya redup sebab yang lain keburu silau dengan uang. Apalagi saat perwakilan Pertamina menjanjikan warga lokal menjadi pegawai di terminal-terminal minyak mereka, berkumandanglah cercaan untuk Lanus. Lebih-lebih oleh keluarganya sendiri, ia dijauhi.
Semenjak itulah ia membenci laut. Ia membenci dirinya sebagai nelayan. Ia dedikasikan dirinya menjadi petani, menggarap sawah warisan leluhurnya. Seperti sebelumnya di laut, di sawah ia pun tumpahkan seluruh jiwanya. Ia garap sawah dengan setia. Saat orang-orang seumurannya pergi ke terminal-terminal minyak Pertamina, ia berjalan di pematang mengamati burung pipit. Saat pemuda kembali dari terminal minyak dengan seragam kuning mentereng, kakinya masih berkubang di lumpur, tanpa baju diterpa terik matahari seharian. Ia telah putuskan mencintai sawah. Maka, keseharian hidupnya adalah padi, bajak, dan sapi.
Setelah 5 tahun, Pengelola Pelabuhan Tanjung Pertamina menghentikan rekrutmen tenaga lokal karena kompetensi warga lokal yang tidak memadai. Kembalilah warga menjadi nelayan. Mendadak laut Ampo menjadi ramai. Perahu-perahu baru ditambatkan. Namun, laut tak lagi sama. Ikan-ikan tak lagi ramah untuk ditangkap. Nelayan mesti ke dalam untuk sekadar mendapat tenggiri. Apa itu karena minyak? Lanus sering menduga demikian. Namun, sengaja tak ia sampaikan, takut kebencian masa lalu muncul kembali.
Demikianlah ia membenci laut dan mengalihkan cintanya ke sawah. Keriangan laut sering memantik hatinya untuk kembali menebar jala. Apalagi kawan-kawan seumuran, yang tak bisa diterima terminal minyak itu, bercerita tentang kenikmatan mengarungi laut hingga ke pesisir Nusa Penida. Namun, ia tetap kokoh. Membajaki tanah, baginya seperti menanami diri dengan kesadaran-kesadaran hidup.
“Aku tak akan kembali melaut, kawan. Sawah telah menyediakan segalanya,” ungkapnya saat mengobrol sore itu di warung desa.
“Janganlah seperti profesor kata-katamu, Nus. Kita ini sama, pemuda bodoh. Nelayan lebih menjanjikan daripada sawah,” kata temannya dengan wajah mengejek.
“Aku sudah kehilangan minat melaut,” kata Lanus singkat sambil menyesap rokok.
“Dulu kamu pendekarnya Nus. Aku terkesan dengan cerita orang-orang. Perahumu pernah terbalik di tengah badai. Dengan ketangguhanmu kamu bisa pulang dengan selamat.”
“Itu cerita lama yang sudah kulupakan.”
“Ikan-ikan seperti sahabatmu, Nus. Setiap kali kamu melaut, hasilnya berlimpah. Bagikanlah rahasianya, Nus.” Yang lain menimpali.
“Aku tak punya rahasia apa-apa, kawan. Selain mencintainya. Sama seperti sekarang aku mencintai sawah. Tak ada rahasia. Cukup bangun pagi, pergi ke sawah, mengecek pematang dan air. Lalu membajak. Jika sudah musimnya, silakan menanam. Sesekali semailah agar padi tumbuh dengan nyaman. Itu saja.”
“Aku bertanya tentang melaut, Nus. Bukan tentang sawah. Aku tak berminat.”
Demikianlah harapan orang-orang kepada Lanus untuk tetap melaut. Namun, hatinya telah mantap untuk bertani. Apalagi sejak bertemu dengan Sunari, tambatan hati yang akhirnya jadi istrinya. Mungkin Sunari adalah satu-satunya orang yang mengerti keputusan Lanus, juga mendukungnya.
“Jika hatimu mantap di sawah, bertanilah dengan sepenuh hati. Aku menerima apa saja keputusanmu,” kata Sunari saat baru pertama kali mereka pacaran. Seperti bambu sunari yang selalu menghasilkan suara nyaring nan merdu, seperti itu pulalah suara Sunari mendukung calon suaminya.
Lanus menjadi petani tersohor. Kecintaannya pada sawah membuat Lanus dikenal banyak orang. Bukan karena hasil tani yang berlimpah ruah, tetapi sawah-sawah yang digarap Lanus menghadirkan keindahan di sepanjang jalan Desa Ampo. Sawah-sawah Lanus telah memberi ketenangan pikiran penduduk desa. Desa menjadi sejuk. Pun bagi nelayan yang baru pulang dari melaut. Kekecewaan-kekecewaan yang meliputi hatinya karena hasil tangkapan yang terus menurun, menjadi sirna saat melihat sawah menghijau. Pematang sawah milik Lanus, sering dijadikan tempat berteduh para nelayan, juga ibu-ibu yang sedang menunggu hasil tangkapan suaminya.
Lanus terus menggarap sawah walaupun ia sudah renta. Sawah adalah pilihannya. Ia tidak ingin memaksakan itu kepada orang lain, termasuk juga anaknya. Sang anak, setelah tamat SMA lebih memilih merantau ke Denpasar ikut pamannya. Semula menjadi pegawai toko bangunan. Kini menjadi satpam sebuah hotel di Kuta. Karena ia dan istrinya sudah renta, sempat Lanus menyuruh anaknya pulang. Sebagai anak satu-satunya dan lelaki, Lanus berharap anaknya bisa menggantikannya ngayah di desa. Bahkan, Lanus berjanji membuatkan anaknya toko kelontong sebagai tempat usaha. Namun, sang anak menolak. “Menjadi satpam lebih jelas punya gaji. Kalau pulang, ribet ngayah hingga taksempat bekerja.” Demikian alasan anaknya menolak keinginan Lanus.
Sepuluh tahun berikutnya, anak semata wayang Lanus akhirnya pulang dan ingin menetap di rumah meninggalkan pekerjaannya sebagai satpam hotel. Namun, kehadiran sang anak di rumah, tidak seperti harapannya sepuluh tahun lalu. Anaknya pulang karena desakan para tetua desa berkenaan rencana pembangunan Dermaga Ampo.
Sebulan belakangan, santer terdengar kabar, di Pesisir Ampo akan dibangun dermaga. Orang-orang dari kabupaten sudah beberapa kali melakukan pengecekan. Perwakilan dari Jakarta juga sudah bertemu dengan bendesa adat. Warga juga sudah sering diskusi di paruman tentang rencana dermaga ini. Warga, lewat Bendesa Adat, merelakan tanah pelaba pura seluas 2,5 hektar, yang selama ini digarap sebagai sawah itu, dikontrak untuk dijadikan kantor dermaga. Masih butuh sekitar 1 hektar dan tanah yang dibutuhkan itu adalah milik Lanus.
“Pak, Bapak harus membebaskan tanah ini demi masyarakat di sini. Kalau dermaga ini sudah dibangun, akan ada puluhan kapal pesiar datang ke sini setiap bulannya. Turis kaya-raya Pak. Warga di sini juga akan kaya raya.”
“Kekayaan tidak akan memberikan kebahagiaan, Nak. Cintailah pekerjaanmu, jadi di sanalah kebahagiaan bekerja, bukan uang.”
“Tapi apa yang bisa Bapak banggakan. Kekayaan apa yang bisa Bapak wariskan? Bapak sudah tua, ibu sudah tua. Akhirnya nanti Wayan yang akan menggantikan Bapak ngayah. Jadi, carikanlah Wayan pekerjaan yang baik agar bisa nyalukin tanggung jawab Bapak yang besar ini.”
Lanus diam. Ia mencerna kata-kata anaknya. Istrinya juga diam. Ia seperti menunggu waktu yang tepat untuk berbicara.
“Apa yang mereka janjikan, Yan?” tanya ibunya lembut.
“Wayan akan menjadi kepala kantor, Bu. Jika dermaga beroperasi, Wayan akan menjadi kepala kantor. Wayan yang akan mengatur kegiatan di dermaga ini. Posisi kepala kantor itu tinggi, Bu. Akan ada gaji, tunjangan, bisa diundang ke Jakarta.”
“Bapak sama sekali tidak percaya janji mereka, Yan. Tanpa harus menjual sawah pun, jika kamu bekerja giat pasti akan mendapat posisi bagus.”
“Tapi bagaimana Wayan bisa bekerja giat jika Bapak tidak merelakan tanah ini? Hanya satu hektar Pak. Sisanya 1 hektar lagi, Bapak masih bisa bertani.”
Percakapan itu berhenti karena Lanus sudah merasa tidak kerasan. Ia pergi ke sawah. Rasa sakit hatinya ia tumpahkan pada lumpur sawah yang mengering. Ia cangkuli lumpur itu, seperti mencanguli rasa sakit hatinya. Ya, sawah sudah seperti karibnya, bahkan anaknya. Berpuluh tahun ia telah merawatnya. Sawah memberinya kebahagiaan. Kini ingin direnggut, berarti merenggut kebahagiaannya. Yang akan merenggut itu adalah anaknya, sosok yang ia harapkan mewarisi kecintaannya kepada padi, air, musim, dan pematang.
Percakapan tentang sawah tidak lagi menjadi topik hampir sebulan. Wayan jarang di rumah. Ia lebih memilih tinggal di rumah pamannya. Sunari tahu bahwa dua orang yang ia cintai ini sedang sama-sama kecewa. Anaknya kecewa karena keinginannya tak terpenuhi, sedangkan sang suami kecewa karena kecintaannya pada sawah tak mampu dipahami Wayan. Sunari belum berani memberi masukan, baik untuk Wayan atau suaminya. Ia lebih memilih diam. Namun, ia mengerti betul kekecewaan suaminya. Di sisi lain, ia juga memahami pekerjaan yang dijanjikan pemerintah untuk Wayan adalah mimpi besar. Ini adalah kesempatan memperbaiki ekonomi, utamanya Wayan. Wayan sudah besar, sudah harus menikah. Bekerja sebagai satpam tak cukup menghidupi dirinya sendiri, apalagi kalau nanti sudah beristri dan memiliki anak. Saat Wayan masih di Kuta, Sunari sering menitipkan sisa uang dapur untuk diberikan kepada anaknya.
“Pikiran Wayan ada benarnya. Aku melihat pemerintah sungguh-sungguh merencanakan projek ini. Orang dari Jakarta juga sering bolak-balik mengecek. Bagaimana kalau kita lepaskan saja 1 hektar sawah ini untuk membangun kantor dermaga?” Sunari berkata pelan sambil memegang punggung suaminya.
Lanus diam. Kemudian ia menatap mata istrinya. Sorot mata istrinya meneduhkan.
“Kita sudah sama-sama tua. Biarkan Wayan yang bekerja. Itu sudah keinginannya. Satu hektar lagi kita garap berdua. Kita tidak lagi perlu memikirkan Wayan karena sudah bekerja berkecukupan,” Sunari melanjutkan. Suaranya lembut dan meneduhkan.
Lanus seperti disiram air menyejukkan mendengar kata lembut istrinya. Ia tak bisa menampik itu. Kata-kata yang diucapkan istrinya adalah kesungguhan, sama seperti dorongan-dorongan istrinya saat dulu orang-orang menjauhinya perkara Pelabuhan Tanjung Pertamina.
Keputusan diambil. Lanus merelakan satu hektar sawahnya dikontrak untuk Dermaga Ampo.
Projek berjalan. Pesisir Desa Ampo penuh hiruk-pikuk kendaraan projek. Material-material, seperti batu, pasir, semen, bata, batako didatangkan. Buruh-buruh dari luar juga didatangkan. Karena ongkos yang menggiurkan, warga lokal juga ikut menjadi buruh bangunan. Tenaga warga lokal tak kalah dari buruh luar itu. Bahkan, tenaganya lebih kuat sebab ototnya sudah terlatih menarik perahu atau berenang di kedalaman memanah ikan.
Lanus masih setia menggarap sawah yang kini hanya sehektar itu. Sehektar lagi ia sudah kontrakkan dan uangnya dijadikan modal membuat rumah oleh anaknya. Sehektar sawahnya telah ia relakan dengan kekecewaan, sehektar lagi ia rawat dengan rasa cinta berkali lipat.
Setahun berikutnya, projek berhenti karena permasalahan administrasi lahan yang tidak dipahami warga. Lahan harus menjadi milik kementerian di Jakarta, bukan kontrak. Akhirnya, desa harus menjual tanah pelaba puranya, demikian juga Lanus merelakan tanahnya dijual. Uang 150 juta hasil jual tanah itu digunakan sang anak untuk menikah dan merenovasi rumah. Sisanya digunakan modal berdagang oleh Wayan dan istrinya sebab Wayan sendiri, sambil menunggu penetapannya sebagai kepala kantor dermaga, tidak memiliki pekerjaan tetap.
Setelah sepuluh tahun, akhirnya Dermaga Ampo selesai. Semua warga menyambutnya dengan suka cita. Mimpi mereka kini akan terwujud. Para perantau yang sebelumnya mengadu nasib di Denpasar, Badung, atau Buleleng, pulang ke Desa Ampo dengan harapan mereka bisa mendapatkan uang dari berdirinya Dermaga Ampo.
Namun, tak seperti warga kebanyakan, Lanus masih setia dengan sawahnya. Hanya saja, tubuhnya kini tak sekuat dulu. Ia tak lagi bisa berlama-lama berdiri di pematang mengusir pipit. Ia tidak lagi bisa berharian membajaki sawah di bawah terik mentari. Selain itu, pembangunan Kantor Dermaga Ampo telah menyumbat air sawah sehingga air sawah terus menggenang. Sebelum dibangun Dermaga Ampo, air sawah akan mengalir ke parit kecil, lalu menuju laut. Kali ini parit itu telah menjadi kantor. Air yang dulunya deras mengalir, kini membanjiri sawah. Gagal panen terjadi, bahkan sampai tak bisa ditanami padi. Lanus menggantinya dengan menanam kangkung. Kangkung itu dijual istrinya di pasar desa. Lambat laun, Lanus tak lagi membajaki sawahnya. Ia memilih beternak sapi. Sawah-sawah itu kini menjadi ladang rumput untuk sapinya.
Di Kantor Dermaga Ampo, Wayan juga belum dipanggil untuk menduduki jabatan kepala kantor. Dermaga belum beroperasi, kata perwakilan dari kabupaten.
Suka cita warga Desa Ampo akhirnya membuncah lagi saat diumumkan seminggu lagi kapal pesiar akan merapat ke Dermaga Ampo. Akan ada ribuan turis asing yang lancong ke desa ini. Warung-warung yang sebelumnya sudah tutup, dibuka kembali. Tiba-tiba berjamur pedagang asong yang menjajakan pernak-pernik khas Bali. Tetua desa rapat di balai desa, pecalang dipersiapkan untuk melakukan pengamanan. Wayan pun tak mau ketinggalan. Ia telah menyiapkan pakaian paling mewah. Bagaimanapun, ia adalah calon kepala kantor di dermaga itu. Sebagai seorang calon pemimpin, ia harus tampak paling menonjol.
Hari yang ditunggu tiba. Kapal Pesiar Son Princess Cruises, yang diperkirakan mengangkut 2.000 wisatawan akan merapat ke dermaga. Di kejauhan kapal mewah bertingkat-tingkat ini sudah tampak. Warga bersorak. Setelah hampir 4 jam menunggu, kapal pesiar itu ternyata tak benar-benar mendekat. Hanya kapal-kapal kecil yang datang. Laut di sekitar dermaga terlalu dangkal dan pesiar itu tak bisa merapat. Akhirnya, Son Princess Cruises beralih ke Benoa. Warga kecewa.
Kebahagiaan warga Desa Ampo sirna. Namun, harapan mereka kembali muncul saat tim dari Jakarta menjanjikan perbaikan dermaga. “Laut akan dikeruk agar kapal bisa merapat.” Begitu pengumumannya ketika itu.
Sambil menunggu terwujudnya harapan itu, warga kemudian kembali melaut, sebab setelah setahun, dua tahun, tiga tahun, hingga sepuluh tahun janji-janji itu tak pernah kunjung terwujud. Wayan kini kembali ke Kuta menjadi satpam hotel. Hanya istri dan anaknya yang ia titipkan di rumah bersama ayah ibunya.
Lanus tetap bekerja keras di sawah, lebih tepatnya ladang sebab yang ada hanya umbi dan kangkung. Ia mengabaikan penyakitnya. Selain dia dan istrinya, ia juga mesti menghidupi menantu dan dua cucunya. Sawah-sawahnya tak lagi bisa ditanami padi. Hanya kangkung dan rumput, pengeluaran bertambah, pendampatan tidak ada. Sunari memutuskan ikut bekerja sebagai pengupas kelapa agar bisa memanjakan dua cucunya.
Suatu malam pada dipan yang sudah semakin rapuh, saat otot-otot suaminya sudah melemah karena lelah, Sunari membangkitkan kedigdayaan suaminya saat melaut.
“Apa tidak ada keinginanmu untuk melaut lagi? Sawah kita sudah tidak bisa memberi apa-apa.”
Lanus diam. Kata-kata dari istrinya adalah hal langka. Bagi Lanus, suara istrinya adalah senandung menyejukkan. Suara istrinya adalah keharusan. Lanus sangat percaya itu.
“Kembalikanlah cintamu pada laut, laut juga akan memberi cintanya. Sama seperti cintamu kepada sawah. Tapi kali ini keadaan berbeda. Sawah kita sudah tak mampu memberikan apa-apa. Mungkin ia kecewa sebab dulu tak begitu kuat kita mempertahankannya. Aku turut bersalah atas keputusan kita dulu.”
Akhirnya, setelah 50 tahun ia tanggalkan ingatannya tentang laut, ia mantapkan hatinya untuk kembali. Pagi buta ia sudah menarik perahunya ke tengah. Perahu yang sudah begitu lama ia simpan. Lanus mencoba bersenandung di antara ombak yang menggoyangkan perahunya. Seperti dahulu, senandung dapat menghilangkan rasa takutnya membelah ombak.
Di rumah, Sunari menyiapkan jualannya. Saat suaminya belum melaut, ia sering dibantu untuk membawakan dagangan itu ke pasar. Kali ini, ia harus sendiri sebab suaminya juga sedang berjuang untuknya.
Sudah hampir empat jam Lanus di tengah laut. Belum juga ada tanda-tanada ikan pada jalanya. Ikan seperti menjauhinya, sedangkan di timur, matahari sudah mengernyit malu. Ia mendesah pasrah karena takbisa membawakan barang jualan istrinya ke pasar.
Di pasar, Sunari sudah menggelar jualannya. Beban jualan pada punggung dan kepalanya membuat tubuhnya bermandi keringat. Belum sempat mengatur napas dan menyeka keringat, pelanggan sudah mengerubunginya. Di sela napasnya yang tersengal karena gelagapan dengan kehadiran pelanggan, ia masih sempat menitipkan doa untuk suaminya yang kini sedang mengawali melaut.
Di tengah laut, terjangan ombak menggoyangkan perahu. Lanus berusaha menyeimbangkan perauhnya agar tidak terbalik. Tubuhnya sudah basah kuyup. Keinginannya untuk mendapatkan ikan sudah ia abaikan. Yang ada dalam pikirannya kini adalah pulang, bertemu istrinya. Laut sudah bukan temannya lagi.
Hari sudah meninggi. Sunari sudah kembali dari pasar. Ia sudah menyiapkan dua ember besar menyambut tangkapan suaminya. Namun, batuknya menjadi-jadi, kepalanya pening. Ia urungkan niatnya ke pantai membawa ikan tangkapan suaminya. Ia memilih tidur sebentar karena terlalu capek.
Di Pantai Ampo, masyarakat gempar karena ditemukan perahu porak-poranda.
“Ini milik Lanus. Milik Lanus. Subuh-subuh aku melihatnya ke laut lagi,” kata seorang warga.
“Apa benar Lanus melaut lagi? Di mana dia, apa mungkin dia tenggelam?”
“Hust, tidak mungkin. Dia pendekar laut. Tak mungkin tenggelam.”
“Mungkin saja. Sudah lama dia tidak melaut.”
Lanus terus menjadi perbincangan karena setelah dicari hampir sebulan, ia tidak ditemukan, apakah ia terdampar di pulau lain atau mati tenggelam tak ada yang tahu. Namun, bagi Sunari, Lanus pasti kembali sebab saban malam Lanus hadir di mimpinya, “Sayang aku kembali, aku kembali.” [T]
- BACAcerpen laindi tatkala.co