JAUH sebelum mendapat kunjungan dari Mentri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, pada Sabtu, 31 Agustus 2024, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Les sudah menyampaikan kabar gembira itu. “Desa Les masuk 50 besar desa wisata terbaik,” ucapnya dengan menyunggingkan senyum tipis di bibirnya.
Nyoman Nadiana, Ketua Pokdarwis Les itu, merupakan salah satu—jika bukan satu-satunya—orang yang menggebu-gebu saat membahas pariwisata di desa yang teronggok di sisi timur Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali, itu. Ia seorang pejalan, pemandu, dan pedagang, sebagaimana ia menjuluki dirinya sendiri. Don Rare, panggilan akrabnya, belakangan juga menulis esai di tatkala.co tentang potensi-potensi Desa Les dan kisah-kisah pedagang kecil di sepanjang jalan di pelosok-pelosok Bali yang ia temui.
“Tahun ini Desa Les bersaing dengan 6.016 desa di ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia. Dan kita sudah sampai sejauh ini,” ujarnya, seperti biasa, dengan penuh kebanggan.
Pagi itu Don berdiri di atas panggung Balai Masyarakat Desa Les bersama Kepala Desa Les Gede Adi Wistara, mempresentasikan tanah kelahirannya di depan Menparekraf Sandiaga Uno, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dan Kepala Badan Pengembangan dan Informasi Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Desa dan PDTT Ivanovich Agusta dalam acara kunjungan dan peluncuran buku pedoman “Desa Wisata Ramah Perempuan”, Sabtu (31/8/2024) pagi.
Nyoman Nadiana (Don Rare), Ketua Pokdarwis Desa Les, saat presentasi | Foto: tatkala/Jaswanto
Dasar pedagang, presentasi di depan mentri Don seperti ngomong dengan investor “gila” yang berpotensi besar untuk menggelontorkan dana ke Desa Les secara cuma-cuma. Atau seperti pedagang balon ketengan yang mengiming-imingi seorang bocah bahwa balonnya adalah yang terbaik dari semua balon di dunia ini. Itu memang keahliannya. Dan presentasinya pagi itu memang cukup meyakinkan.
“Desa Les memiliki banyak potensi, dari mulai daratan sampai lautan. Kami memiliki garis pantai yang panjang. Dan tanah subur untuk perkebunan. Pemandangan alam di Desa Les tak perlu diragukan. Di bawah laut, di perbukitan, semua bisa dikelola. Belum lagi seni dan budayanya,” ujar Don, tentu telah melewati perbaikan struktur bahasa di sana-sini.
Sementara Don Rare mempertaruhkan Desa Les lewat presentasinya, di sekitar Balai Masyarakat Desa Les pagi itu, orang-orang riuh rendah, antusias, menyambut kunjungan Menparekraf Sandiaga Uno.
Sebagaimana yang kerap ditemui di daerah-daerah lain di Indonesia setiap kali ada kunjungan pejabat sekelas mentri atau presiden, anak-anak SD dikerahkan di pinggir-pinggir jalan dengan bendera plastik di tangan. Sudah dapat ditebak, saat rombongan mentri melintas, bendera-bendera itu dikibas-kibaskan ke kanan dan ke kiri.
Di bawah terik yang menyengat, masyarakat Les berdesak-desakan, berteriak, menyapa, melambaikan tangan dan Sandiaga membalasnya dengan, katakanlah, simbol cinta orang Korea Selatan—sepertinya ia ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa dirinya masih cukup gaul di usianya yang sekarang.
Seperti karnaval Agustusan, arak-arakan Sandiaga pagi itu menjadi sorotan. Kamera gawai tak boleh berhenti menyala sedetik pun. Ucapan selamat datang tak putus-putus, sambung-menyambung dari ujung jalan sampai lokasi pertemuan. Orang-orang seperti tak rela ketinggalan momen langka tesebut.
Potensi Desa Les
Sebagaimana disampaikan Don dalam presentasinya, Desa Wisata Les memiliki beberapa daya tarik yang mungkin tidak dimiliki desa wisata lainnya di mana pun. Desatinasi wisata itu tersebar di daratan dan lautan (nyegara gunung). Sepertinya Tuhan memang menghadiahkan hal tersebut khusus untuk Desa Les.
Gede Adi Wistara, Kepala Desa Les, saat presentasi | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Desa Wisata Les merupakan wilayah nyegara gunung (laut dan gunung). Jadi, sudah barang tentu memiliki alam perbukitan dan pantai yang bagus. Terumbu karang dan air terjun merupakan unggulan daya tarik wisata kami,” ujar Don percaya diri.
Di daratan, Les punya satu air terjun, Yeh Mampeh, namanya, yang memiliki tinggi kurang lebih 20 meteran. Lalu jalur tracking Bukit Yangudi, tempat melukat di Yeh Anakan, yang airnya mengalir langsung dari mata air alami.
Pohon-pohon lontar yang tumbuh subur di punggung-punggung dan lereng-lereng bukit menjadikan Les sebagai desa dengan produksi gula, tuak, dan arak yang menjanjikan. Pula wisata kuliner yang kaya varian, sebut saja salah duanya, jukut blook dan mengguh yang terkenal itu. Di Les juga tersedia aneka olahan dari ikan laut yang terkenal lewat Warung Bali Mula, yang telah berhasil menarik para pelancong dari berbagai kalangan yang datang dari dalam dan luar negeri.
Juga jangan lupakan kekayaan warisan budaya, tradisi, dan keseniannya. Les cukup percaya diri akan hal ini. Seniman wayang, perak dan emas, anyaman, dan ukiran cukup diunggulkan di desa ini. Mereka, para seniman itu, seperti lahir begitu saja tanpa melalui proses pendidikan formal yang jelimet. Dan lihatlah, karya mereka tak kalah bagus dengan karya-karya seniman dari Ubud dan sekitarnya.
“Desa ini merupakan desa tua, sudah ada seblum Abad ke-X. Di sini terdapat peninggalan arca-arca yang konon katanya berbahan asli dari lingkungan sekitar (Desa Les). Saat ini arca tersebut masih tersimpan baik di Pura Puseh yang berada di Banjar Dinas Panjingan, Desa Les,” terang Don.
Menparekraf Sandiaga Uno, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dan Kepala Badan Pengembangan dan Informasi Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Kementerian Desa dan PDTT Ivanovich Agusta | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Terkait panaggulangan sampah, Les sedang berusaha mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos dan sampah anorganik didaur-ulang menjadi biji-biji plastik yang bisa diproses kembali. Dan itu, di Les juga terdapat peternakan madu kele—madu murni yang dihasilkan lebah jenis propolis trigona—oleh warga sekitar.
Sementara itu, Perbekel Desa Les Gede Adi Wistara, sebagaimana Don, mengungkapkan bahwa desa ini juga memiliki pantai sepanjang lebih dari tiga kilometer dengan spot menyelam yang tak terbayangkan sebelumnya. Don dengan bahasa manca menyebutnya Corral Reff Transplantation—untuk mengatakan salah satu inovasi Desa Les di bidang kelautan.
Tak hanya alam bawah laut, Les juga terkenal sebagai desa dengan produksi garam tradisional terbaik di Bali Utara. Namanya Garam Palungan, yang sudah diproduksi sejak zaman Belanda dan kini telah dikenal sampai pasar internasional.
Dan memancing ikan tuna bersama warga setempat adalah destinasi yang lain. Oh, hampir lupa. Di Les, tepatnya di Pantai Penyumbahan, “Les Fest Ngembak Geni”—festival rakyat Les seusai Nyepi—ditetapkan sebagai program tahunan. Les, sekali lagi, seolah punya segalanya.
Seperti sudah mempersiapkan diri untuk menjadi desa wisata, Les juga mulai mengembangan usaha penginapan. Sudah terdapat beberapa home stay yang terstandar di sini. Rasanya percuma kalau hanya dikunjungi sepintas-lalu. Maka penginapan bagi daerah wisata adalah sebuah keharusan. Dan fasilitas-fasilitas lain yang mendukung ekosistem tersebut juga sudah lama dipikirkan, direncanakan, dan pelan-pelan mulai dijalankan.
Kegigihan Masyarakat Desa Les
Sampai sejauh ini, tidak ada pihak mana pun yang layak dipuji dan diberi tepuk tangan kecuali masyarakat Desa Les. Pencapaian ini adalah usaha dan komitmen mereka sendiri, kegigihan mereka sendiri. Tak seharusnya—dan tak boleh, tentu saja—ada pihak lain yang berhak mengklaim, mengakui, pencapaian mereka—meskipun itu Pemerintah Buleleng sekalipun.
Kegigihan dan dedikasi Pemerintah Desa, BumDes Giri Segara/Pokdarwis, dan seluruh masyarakat Desa Les dalam mengembangkan pariwisata berkelanjutan tak perlu dipertanyakan lagi. Hal tersebut selaras dengan tema Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun ini, yaitu “Desa Wisata Menuju Pariwisata Hijau Berkelas Dunia”.
Menparekraf Sandiaga Uno melihat-lihat dan sesekali membeli produk UMKM yang dipamerkan di sekitar Balai Masyarakat Desa Les | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Pemerintah desa dan adat berkomitmen untuk menjaga desa kami agar terhindar dari pembangunan yang merusak alam,” ujar Perbekel Desa Les, Gede Adi Wistara, seusai acara.
Pencapaian Desa Les dalam ADWI 2024 diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di Bali dan Indonesia untuk terus mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Keindahan alam, budaya, dan keramahan masyarakat Desa Les menjadi modal penting untuk menjadikannya sebagai destinasi wisata kelas dunia.
Tak hanya itu, Desa Les juga memiliki modal pentahelix pariwisata yang cukup, di mana kolaborasi lima unsur pariwisata yang saling berkesinambungan dalam pembangunan pariwisata. Kelima unsur tersebut adalah pemerintah, akademisi, komunitas, pengusaha, dan rekanan media.
Konsep pentahelix merupakan konsep multi pihak yang berkomitmen untuk mencapai tujuan yang sama. Semakin besar peran aktor pentahelix dalam pembangunan pariwisata, semakin besar pula peluang Desa Les menjadi desa wisata yang maju dan berkembang.
Oleh sebab itu, Menteri Sandiaga Uno meminta kepada Desa Les agar segera menyiapkan dan melanjutkan konsep pariwisata berbasis pelestarian lingkungan yang lebih kuat. Hal Ini harus betul-betul dilakukan bersama komunitas masyarakat, budaya, lingkungan berkualitas, dan berkelanjutan.
Pelestarian lingkungan merupakan salah satu harga yang harus dibayar untuk menunjang keberlangsungan desa wisata pada zaman sekarang ini. Hal ini dapat menunjang potensi-potensi lainnya, seperti sumber daya alam, adat-istiadat-seni-budaya, UMKM, dan potensi lainnya.
“Saya mengucapkan apresiasi dan selamat kepada Desa Wisata Les yang telah menjadi bagian dari keluarga besar Anugerah Desa Wisata Indonesia,” kata Sandiaga, singkat dan padat.
Adi Wistara menyebutkan bahwa kunjungan tiga kementerian ke Desa Les memberikan dampak positif, terutama dalam mempromosikan Desa Wisata Les ke seluruh Indonesia. “Kita telah melihat dampak positif dari Desa Les yang masuk 50 besar desa wisata terbaik—bahkan sebelum acara seremonial. Dukungan dari pihak swasta, seperti CSR dan kerjasama dengan antar pihak sangat membantu dalam promosi desa wisata di Kabupaten Buleleng,” ucap Adi Wistara.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole