- Artikel ini adalah materi dalam panel diskusi “Membaca Kembali Arsip Pertanian”, serangkaian Singaraja Literary Festival (SLF), Jumat, 23 Agustus 2024, di area Museum Buleleng, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
MEMBACA arsip-arsip pertanian Bali sama artinya dengan membaca utuh tubuh kebudayaan Bali. Arsip-arsip pertanian Bali bukan hanya menurun sebagai gambar visual atau dokumen tertulis, tetapi turut mengalir sebagai narasi-narasi budaya, adat-istiadat yang kompleks, hingga situs-situs paling sakral di Tanah Dewata.
Leluhur Bali sejak berabad-abad silam memandang pertanian bukan sekadar objek ekonomi, tetapi mata air peradaban. Hampir seluruh pura, manuskrip, tradisi lisan, kesenian, ritus, pengetahuan tradisional, hingga pranata orang Bali lahir dari aktivitas bercocok tanam di tegalan atau sawah. Bahkan, Agama Tirtha–sebutan Hooykaas untuk praktik beragama orang Bali sebelum dikenal sebagai Hindu–juga berpangkal pada kesadaran orang Bali atas kemuliaan dan kemahakuasaan energi ibu bumi, khususnya pada entitas tanah dan air: dua unsur terpenting dalam aktivitas pertanian.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, membicarakan arsip pertanian Bali perlu batasan. Pembatasan dilakukan semata-mata karena terbatasnya waktu bagi penulis untuk merambah luasnya ladang pemikiran agraris manusia Bali: ladang yang tak pernah habis dibajak dan ditanami pohon kehidupan.
Pada tulisan ini narasi tentang arsip pertanian Bali dibatasi sebatas pada beberapa mitologi, manuskrip, dan ritus tentang pertanian. Ketiganya adalah objek kebudayaan yang saling kait-mengkait dan dapat merepresentasikan objek-objek kebudayaan secara keseluruhan.
Mitos umumnya berperan sebagai motif pelaksanaan ritual. Kehadiran manuskrip umumnya berperan sebagai media untuk memperpanjang usia hidup mitos, sekaligus berperan sebagai dasar pelaksanaan ritual. Sementara itu, ritual hadir sebagai visual dari mitos dan teks yang tumbuh dalam ruang imaji.
Aliran Mitos Agraris
Mitos bukan sekadar cerita tentang entitas dewa, manusia-manusia terpilih, atau makhluk tertentu pada peristiwa luar biasa di suatu tempat. Mitos juga bukan seperangkat argumen tanpa logika yang tidak bisa dijelaskan. Jauh lebih dalam dari semua itu, mitos merupakan sistem komunikasi yang dibangun untuk menyampaikan pesan-pesan kearifan masa silam. Melalui mitoslah pengetahuan dirawat dan diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi masa depan.
Ada banyak mitos di Bali yang terkait dengan tata laku pertanian. Pada pembahasan ini akan dibahas tiga mitos yang bertumpu pada tokoh Bhatari Dewi Danuh, yakni mitos Ida Ratu Ayu Mas Membah, mitos Ida Ratu Ayu Kentel Gumi, dan mitos Bukit Buung Batu Majalan. Pemilihan ketiga mitos itu didasarkan pada ketokohan Bhatari Dewi Danuh yang terhubung langsung dengan budaya pertanian di Bali.
Bhatari Dewi Danuh, dengan berbagai gelarnya, muncul dalam banyak manuskrip serta ritual yang melibatkan masyarakat agraris. Tokoh ini dinarasikan sebagai entitas yang “diberi kuasa” menjaga unsur pradhana Pulau Bali oleh dewa tertinggi alam semesta, Bhatara Hyang Pasupati. Elemen pradhana adalah elemen keibuan yang erat kaitannya dengan kebendaan, kesejahteraan, dan “kesaktian”. Pradhana berpasangan dengan purusa, yakni elemen kebapakan yang erat kaitannya dengan kejiwaan, spiritualitas, dan kemurnian.
Elemen purusa dipegang oleh Bhatara Putrajaya yang bersetana di Gunung Agung. Konsep purusa-pradhana itulah yang menjadi alasan entitas Bhatara Putrajaya (Bhatara Gunung Agung) dan Bhatari Dewi Danuh (Bhatari Gunung Batur) dipuja oleh seluruh manusia Bali, setidak-tidaknya dalam wujud palinggih ‘bangunan suci’ Gedong Catu Mujung (Kerucut) dan Gedong Caru Meres.
Mitos Ida Ratu Ayu Mas Membah bercerita tentang Bhatari Danuh yang “menjual” air Tirta Mas Mampeh ke berbagai tempat. Tirta Mas Mampeh berada di barat Gunung Batur dan diamanatkan untuk disebarluaskan ke seluruh pelosok Pulau Bali. Air dijual dengan melewati beberapa tempat, seperti Belandingan, Pura Puseh Meneng, Munti Gunung, Baturinggit, Pegonjongan (Gretek), Panjingan (Les-Panuktukan), Tejakula, Bondalem, Air Sanih, hingga Pura Panusuan (Kubutambahan) (Duija, 2009). Aktivitas menyebarkan air yang demikian bernilai itulah penyebab Bhatari Danuh diberi gelar Ida Ratu Ayu Mas Membah.
Interaksi “jual-beli” air antara Bhatari Dewi Danuh dengan masyarakat di desa-desa tersebut bermuara pada kemunculan sumber air di masing-masing desa. Keberadaan mata air yang diterima oleh setiap komunitas adalah dasar munculnya relasi agraris antara masyarakat setempat dengan Pura Ulun Danu Batur berupa persembahan sarin tahun (hasil panen tahunan). Praktik mempersembahkan sarin tahun merupakan wujud memuliakan air dan tanah sebagai intisari aktivitas pertanian.
Mitos Ida Ratu Ayu Kentel Gumi terkait dengan asal-muasal hama yang menyerang tanaman. Konon, setelah Ida Bhatari Danuh dan Ida Bhatara Putrajaya bersetana di Gunung Agung dan Gunung Batur, keduanya terlibat perselisihan. Perselisihan ini disulut oleh ulah abdi Bhatara Gunung Agung yang merusak ladang pertanian Bhatari Gunung Batur. Peristiwa kutuk-mengkutuk pun terjadi antara dua tokoh tersebut, hingga akhirnya danau, sungai, sawah, dan lautan tercemar. Pencemaran lingkungan bermuara pada kemunculan hama yang menyebabkan gagal panen (Ariana, 2023).
Melihat kerusakan yang terjadi akibat pertikaian Bhatara Putrajaya dan Bhatari Danuh, ayahanda mereka, Bhatara Hyang Pasupati (Bhatara Semeru), turun ke Bali untuk mendamaikan. Setelah keduanya berdamai, Bhatara Semeru memberi Bhatari Dewi Danuh kuasa untuk meruwat hama dan wabah. Sejak saat itulah manifestasi Bhatari Dewi Danuh sebagai peruwat hama dan wabah bergelar Ida Ratu Ayu Kentel Gumi. Air sucinya dimohon dan diyakini dapat menghilangkan hama.
Mitos Bukit Buung Batu Majalan eksis di Desa Adat Pangosekan, Ubud. Pada mitos ini konon Ida Bhatari Danuh berkeinginan membuat danau dan bukit di Munduk Galang, kawasan Desa Pengosekan saat ini. Namun, rencana itu pupus setelah Ida Brahmana Gunung Sari menolaknya.
Penciptaan danau dan bukit mengalami kegagalan oleh celotehan pengembala bebek yang mengatakan “bukit buung, batu majalan (bukit yang gagal, batu yang berjalan)” ditambah dampak dari mantra sakti Ida Bhatara Gunung Lebah yang menyebabkan batu dan air berpencar.
Berdasarkan mitos tersebut, masyarakat setempat tidak perlu datang ke Danau Batur untuk mengambil sarana-sarana keperluan ritual mendem padagingan. Mereka cukup mengambil lumpur dari Carik Labak di desa setempat sebagai representasi kehadiran Danau Batur (Dewi, dkk., 2023).
Ladang Sastra Pertanian
Seperti halnya mitos, manuskrip pertanian juga berlimpah ruah di Bali. Pembahasan terhadap manuskrip-manuskrip itu tidak bisa diselesaikan pada satu tulisan singkat ini. Tulisan ini hanya akan membahas secara ringkas jejak pertanian dalam Dharma Pamaculan (Sri Tattwa), Aji Pari, Uma Tattwa, Tantu Panggelaran, Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, dan Kakawin Purwaning Gunung Agung.
Apabila membicarakan pertanian, Dharma Pamaculan menjadi teks yang cukup sering dibincangkan, baik di meja akademik maupun di kalangan praktisi pertanian. Konon, teks Dharma Pamaculan memuat ajaran Mpu Kuturan yang dahulu kala diterapkan di Majapahit.
Secara umum, teks ini membicarakan beberapa bahasan pokok, antara lain tata cara mengolah sawah, perhitungan waktu baik-buruk untuk aktivitas di sawah, tahapan menanam padi, tata cara memelihara padi, menghadapi hama, memperlakukan padi setelah dipanen, serta pelaksanaan ritual pada praktik pertanian di sawah maupun di ladang (pagagan).
Aji Pari adalah teks lain yang menyinggung praktik agraris. Aji Pari berarti ‘pengetahuan tentang padi’. Salah satu naskah Aji Pari disimpan di Unit Lontar Udayana (kode naskah: Kropak 29 No. 699). Lontar ini tergolong tipis, lantaran hanya terdiri atas enam lembar. Apabila ajaran Dharma Pamaculan dibawa dari Majapahit oleh Mpu Kuturan, maka Aji Pari adalah pengetahuan tentang Bhatari Sri yang awalnya berkembang di Jempakling, Melayu, Kamulan, Kampuga, dan Kawijilan.
Pengetahuan tentang padi itu kemudian dibawa ke Bali dengan sarana jung dan kuli-kuli. Aji Pari membahas nama-nama Bhatari Sri (padi) menurut wujudnya, tata cara memperlakuan padi, mantra-mantra terkait aktivitas pertanian padi, serta waktu-waktu yang berkaitan dengan pemujaan terhadap Dewi Kesejahteraan.
Uma Tattwa mewacanakan filosofis Bhatari Sri sebagai wujud inti dari padi. Selain itu, teks Uma Tattwa juga menyinggung tentang mantra dan sarana yang digunakan ketika padi dihadapkan pada berbagai kondisi, misalnya diserang hama. Beberapa penanganan terhadap padi juga dilengkapi dengan gambar (rajah) yang diyakini berkekuatan magis dalam memecahkan persoalan aktivitas pertanian.
Rekam jejak agraris juga dapat ditelusuri dalam Tantu Panggelaran. Satu episode teks yang diduga berasal dari sekolah-sekolah rohani di Pulau Jawa pada abad ke-15 itu disebutkan asal-usul jenis beras. Konon, berbagai jenis beras dahulu kala berasal dari tembolok empat ekor burung milik Bhatara Sri. Namun, keempat burung itu, yakni perkutut, puter derkuku merah, dan merpati hitam diburu oleh lima orang anak Hyang Kandiawan, yakni Mangukuhin, Sandang Garba, Kantung Malaras, Karungkala, dan Wreti Kandayun.
Keempat tembolok burung tersebut di dalamnya terdapat gabah dengan biji yang beraneka warna. Gabah dengan biji berwarna hitam didapatkan dari tembolok merpati hitam, gabah dengan biji berwarna putih didapat dari tembolok burung perkutut, gabah dengan biji merah didapat dari tembolok derkuku merah, sedangkan gabah dengan biji berwarna kuning didapat dari tembolok burung puter.
Gabah yang didapat dari tembolok burung puter baunya sangat harum, sehingga kelima anak itu memakan biji beras berwarna kuning sampai habis. Mereka hanya meninggalkan kulit gabah yang ketika ditanam tumbuh menjadi tanaman kunyit. Peristiwa itu membuat beras berwarna kuning punah dan peran beras kuning digantikan dengan beras putih yang dilumuri dengan kunyit.
Konsep swi kreti ‘pemuliaan sawah’ sebagai salah satu bagian sad kreti ‘enam pemuliaan’ terekam dalam manuskrip berjudul Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul. Manuskrip yang dikoleksi Perpustakaan Lontar Universitas Hindu Indonesia tersebut menjelaskan sad kreti sebagai tata laku manusia Bali untuk mencapai keharmonisan.
Setiap unsur sad kreti (giri kreti, wana kreti, ranu kreti, swi kreti, sagara kreti, dan jagat kreti) dijaga oleh para dewa manifestasi Dewa Sad Winayaka. Pusat pemuliaan unsur swi kreti berada di Pura Luhur Pakendungan dengan otoritas dewa yang bergelar Sang Hyang Sadhanatra.
Kakawin Purwaning Gunung Agung yang merupakan salah satu anak ideologis kawi wiku, Ida Pedanda Made Sidemen, menarasikan ilmu pertanian sebagai ilmu pertanian tingkat surga yang diajarkan langsung kepada manusia oleh Sang Hyang Trumurti. Manuskrip yang kini disimpan di Unit Lontar Universitas Udayana (kode koleksi: keropak 8 no. 502) itu menyebut motif Sang Hyang Trimurti menurunkan ilmu tentang persawahan agar manusia tidak kekurangan makanan.
Pematang Ritus Pertanian: dari Mapag Toya sampai Ngusaba
Rekam jejak peradaban pertanian di Bali juga tidak bisa dipisahkan dengan ritual-ritual yang berkelindan di seputarnya. Ritual pemuliaan lahan pertanian dilakukan di lahan kering maupun lahan basah. Namun, pertanian lahan basah, utamanya padi, memiliki pola ritual lebih kompleks.
Pada tingkat individu petani, ritual pertanian pada lahan basah mensiklus dari persiapan lahan hingga pascapanen. Pada periode pra-tanam, petani melaksanakan ritual-ritual seperti mapag toya (menjemput air), ngeruwak atau ngendagin (membuka lahan), dan ngurit (menyemai benih).
Pada periode masa tanam, ritual seperti mabiukung (ketika bulir padi akan keluar) dan persembahan upacara di bedugul akan digelar. Pada beberapa kawasan juga terdapat ritual nangluk merana (meruwat hama dari yang sifat merusak menjadi sifat membangun). Sementara itu, setelah padi memasuki masa panen, petani akan melaksanakan ritual manyi (memanen padi), ngadegang dewa nini, mendak dewa nini, dan ritual menempatkan padi di lumbung.
Selain ritual-ritual yang terkait siklus tanam, masyarakat agraris di Bali juga melaksanakan upacaradi pura yang terkait dengan sawah garapannya, misalnya Pura Ulun Carik, Pura Ulun Swi, dan Pura Ulun Danu. Upacara tersebut ada yang disebut pujawali, ada pula yang disebut ngusaba. Jenis ngusaba sangat banyak, misalnya ngusaba nini, ngusaba desa, ngusaba tegen, dan ngusaba nangluk merana. Setiap enam bulan sekali, petani Bali juga dilaksanakan upacara Tumpek Bubuh (Tumpek Wariga) sebagai momentum berterima kasih atas limpahan kontribusi tumbuh-tumbuhan pada kehidupan manusia.
Praktik ritual di Pura Ulun Danu Batur yang terhubung langsung dengan jejaring pasihan (komunitas subak yang berhulu ke Pura Ulun Danu Batur) dapat menjadi contoh rekaman ritual pemuliaan pertanian dalam skala yang lebih luas. Ritual yang dilaksanakan di Pura Ulun Danu Batur dan pura pangiderannya berjalan mensiklus selama setahun penuh, kecuali pada Sasih Sadha. Beberapa ritual di antaranya terkait dengan momentum turunnya air suci dengan fungsi yang berbeda-beda dalam dunia pertanian, yakni tirta pangruwak (pangendag), tirta nangluk merana, dan tirta sarin tahun.
Tirta pangruwak (air suci pembuka lahan) dimohon oleh masyarakat pasihan pada kisaran Sasih Kasa hingga Sasih Karo (Juli-Agustus). Tirta nangluk merana (air suci menetralisir hama) dimohon pada Sasih Kalima (November), tepatnya pada pelaksanaan Ngusaba Nangluk Merana.
Tirta sarin tahun dimohon pada Sasih Kadasa (April), yakni pada pelaksanaan Ngusaba Kadasa. Selain itu juga dilaksanakan ritual mendak toya setiap Purnama Sasih Katiga serta beberapa upacara pakelem sebagai pemuliaan terhadap danau, yakni danu kreti (setiap lima tahun sekali), tribhuwana (setiap 30 tahun), dan candi narmada (setiap 100 tahun).
Narasi Melemah, Lanskap Rebah, Kerakter Agraris Punah?
Arsip-arsip pertanian Bali, setidaknya terbatas pada mitos, manuskrip, dan ritual memberi gambaran tentang cara pandang orang Bali dalam memuliakan pertanian. Membaca rekam jejak itu, kita pun tidak bisa menampik bahwa pertanian diposisikan sebagai ibu yang selalu mengasihi segenap manusia.
Namun demikian, saat ini pertanian dan budaya bertani di Bali tengah berhadapan dengan persoalan serius. Narasi pertanian Bali terus melemah. Mitos-mitos kehilangan taringnya untuk mengikat kepatuhan manusia Bali dalam mengelola alam. Generasi muda Bali tidak lagi tertarik pada dunia pertanian karena dianggap sebagai dunia yang tidak menarik. Manuskrip-manuskrip yang menyimpan kearifan pertanian dilupakan, sementara ritus-ritus pertanian acapkali dirayakan hanya sebatas perayaan yang nihil nilai.
Melemahnya narasi pertanian Bali menjadi satu faktor rebahnya lanskap-lanskap pertanian Bali. Saat ini alih fungsi lahan pertanian terus terjadi. Lahan-lahan pertanian produktif menyerah dihantam kuasa kapital yang digandeng oleh pariwisata. Alih fungsi bahkan tak malu lagi menyergap kawasan-kawasan suci, bahkan acapkali tanpa mengindahkan bhisama, awig-awig, maupun pararem masyarakat adat setempat.
Menilik berbagai persoalan yang menghujam budaya pertanian Bali, pada akhirnya kita akan dihadapkan pada berbagai pertanyaan krusial: masihkah pertanian dianggap penting oleh orang Bali?; akankah karakter manusia Bali sebagai insan agraris akan punah?; dapatkah nilai-nilai agraris itu bertahan atau bertransformasi dalam bentuk yang lebih populer? Kita semua memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjawab pertanyaan tersebut.[T]
Daftar Pustaka
Ariana, I Ketut Eriadi. (2023). Mitos Ida Ratu Ayu Kentel Gumi: Strategi Konservasi Air Berbasis Tradisi Lisan pada I Made Suastika dan I Ketut Suar Adnyana (Ed.), Bunga Rampai Tradisi Lisan, Keberagaman, Menuju Era Batur (hal. 427-438). Pustaka Larasan
Duija, I Nengah. (2009). Mitos I Ratu Ayu Mas Membah (Pendekatan Theo-Antropologi). Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Antropologi Budaya pada Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Dewi, Ni Putu Novsa, dkk. (2023). Mitos Bukit Buung Batu Majalan di desa Adat Pengosekan: Analisis Ekologi Sastra. Humanis: Journal of Art and Humanities Vol. 27.1. Februari 2023 (hal. 53-64)
- BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024