BERANDA Pustaka, pameran buku dalam rangkaian Festival Seni Bali Jani tahun 2024 ini tidak lagi menempati tempat di selasar (hall) Taman Budaya Denpasar. Kini progam ini dipusatkan di perpustakaan Taman Budaya, sebelah utara kalangan Ayodya yang berada di pojok timur. Terpencil, tanpa penunjuk arah.
Gedung perpustakaan tersebut lumayan bagus, furniture-nya masih baru, hanya sayang sehari-hari lebih sering tutup. Hanya saat ada even seperti program Beranda Pustaka baru dimanfaatkan.
Beranda Pustaka dibuka pada 14 Agustus 2024, bersamaan dengan Festival Seni Bali Jani yang kini menginjak tahun keenam. Hingga 16 Agustus, pada buku tamu tercatat jumlah pengunjung hanya 25 orang. Bisa jadi, tidak semua pengunjung mengisi buku tamu. Atau, bisa juga memang yang datang tidak banyak. Apalagi, tidak ada penunjuk arah atau informasi lokasi Beranda Pustaka saat berada di Taman Budaya Denpasar, atau yang lebih dikenal dengan Art Centre.
Namira Putri | Foto: Angga Wijaya
Namira Putri, salah seorang staf Beranda Pustaka mengatakan, terdapat dua program utama yang diselenggarakan oleh Berada Pustaka yakni Piknik Buku pada Jumat 16 Agustus 2024 dan acara diskusi tentang sastrawan Bali Alm. I Nyoman Tusthi Eddy pada Senin 19 Agustus 2024.
“Beranda Pustaka kami gelar hingga 20 Agustus 2024. Promosi kami lakukan melalui media sosial, selain undangan kepada para guru dan siswa sekolah-sekolah di Denpasar,” katanya.
Buku-buku yang dipamerkan di Beranda Pustaka, imbuh Namira, berasal dari beberapa penerbit yang ada di Bali. Ada juga dari Dewan Kesenian Jakarta dan Penerbit Utan Kayu yang turut berpartisipasi.
“Ada diskon atau potongan harga pada setiap buku. Bahkan, ada penerbit yang menjual tiga buku plus bonus satu buku seharga 50 ribu rupiah. Ada juga buku yang semula harganya ratusan ribu menjadi hanya puluhan ribu setelah didiskon,” jelas Namira.
Dari itu semua, tujuan utama Beranda Pustaka adalah menyediakan buku-buku dengan harga murah. Juga, meningkatkan minat baca masyarakat yang dalam beberapa survei mengalami penurunan drastis. Bila dibandingkan dengan pameran buku di kota-kota besar di luar Bali, pameran buku di Bali pengunjungnya memang tidak begitu banyak.
Slamat Trisila | Foto: Angga Wijaya
“Dunia penerbitan buku di Bali memang tidak semarak kota-kota lain di Indonesia. Pembaca di Bali daya serap atau daya belinya masih rendah. Penerbit di Bali mengalami juga mengalami kesulitan dalam pemasaran buku. Kondisi ini tentu berbeda bila dibandingkan dengan Yogyakarta misalnya. Di sana buku apa saja laku dijual,” ucap Slamat Trisila, pendiri Pustaka Larasan, penerbit asal Bali yang berdiri sejak 2001.
Namun, imbuhnya, minat baca buku yang masih rendah di Bali tidak lantas membuatnya patah arang. Itu, kata Slamat, justrus menjadi sebuah tantangan bagi penerbit dan penggerak literasi untuk terus melakukan terobosan sehingga suatu ketika market buku di Bali bisa sama seperti kota atau provinsi lain di Indonesia.
“Bahkan, bukan tidak mungkin di Bali diadakan pameran buku internasional di Bali. Tentu dengan menyediakan buku-buku tentang Bali yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sehingga, Bali juga bisa dikenal sebagai destinasi wisata intelektual,” ujar Slamat.
Program Beranda Pustaka, dalam amatannya menjadi sebuah rintisan yang jika terus konsisten digelar mampu menjadi sebuah gerakan literasi. Tentu dengan beberapa catatan agar menjadi lebih baik pada tahun-tahun mendatang.
Kresno | Foto: Angga Wijaya
“Alangkah baiknya jika program ini juga mengundang penerbit-penerbit buku yang ada di Yogyakarta, Bandung, Semarang atau Surabaya. Sehingga buku-buku yang dijual menjadi lebih beragam dan Beranda Pustaka menjadi tempat bagi masyarakat Bali untuk mendapatkan buku-buku berkualitas dengan harga terjangkau,” sebut Slamat Trisila yang juga seorang peneliti sejarah.
Kresno Brahmantyo, dosen Ilmu Sejarah Universitas Indonesia yang kebetulan berada di Bali dan mengunjungi Beranda Pustaka mengungkapkan apresiasinya terhadap program Beranda Pustaka. Menurutnya, ini merupakan sebuah inisiatif yang sangat bagus dan perlu diapresiasi oleh masyarakat secara luas. “Mungkin promosinya perlu lebih digencarkan lagi sehingga pengunjung yang datang lebih banyak,” katanya.
Mengenai buku-buku yang dipamerkan dan dijual di Beranda Pustaka, Kresno menyukai buku-buku yang diterbitkan oleh Pustaka Larasan. Karena, banyak mengangkat soal Bali terutama tentang sejarah lokal.
“Jika di masa lalu pemerintah lebih banyak menyusun sejarah nasional, kini sudah saatnya lebih banyak ditulis soal sejarah lokal agar generasi muda tahu dan paham tentang sejarah kota atau lingkungan tempat ia lahir dan dibesarkan,” tukasnya.
Pajangan buku Pustaka Bali Seni | Foto: Angga Wijaya
Untuk Beranda Pustaka, Kresno menyarankan ke depan agar dibuat diskusi buku dengan membacakan beberapa bab buku kepada pengunjung diskusi untuk kemudian didiskusikan bersama. “Misalnya saja tentang sejaran tragedi 1965. Di Bali ini menjadi penting agar generasi muda Bali tahu apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu,” tutupnya. [T]