GUMI Delod Ceking sejak zaman dulu dikenal sebagai pusat Perguruan Spiritual, sejak kedatangan Dang Hyang Nirartha pada abad ke-16 yang melakukan Dharma Yatra di beberapa tempat antara lain di Goa Gong, Pura Geger, Pura Gunung Payung, Pura Batu Pageh, Pura Selonding,dan Uluwatu. Menariknya tempat-tempat tujuan Dharma Yatra di Gumi Delod Ceking adalah pesisir pantai dengan batu-batu tebing yang kukuh kokoh, dengan pandan pesisir berpudak wangi menyatu dengan tebing dan deburan ombak berbuih putih berpasir putih.
Bunga pudak yang wangi menjadi parfum alam mengharumkan tebing-tebing perkasa ibarat perjaka sedang mengundang bidadari yang sedang mandi di segara. Melaksanakan laku asuci laksana, anganyudaken papa mala klesa. Airnya bersih lebih-lebih diterpa sinar mentari pagi, tampak indah nian. Tenang kala sore ketika jukung-jukung nelayan mendarat diterpa sinar mentari berwarna jingga keperakan berserak. Sungguh menakjubkan. Membuat kalangwan.
Suasana indah itu berhasil ditangkap oleh para seniman Pecatu melalui pentas Tari Kecak yang memukau bersatu dengan keindahan Sunset Uluwatu dengan deburan ombak membentur tebing-tebing berbatu karang. Batu karang itu ternyata menjadi sumber inspirasi bagi seniman mengarang banyolan menghibur wisatawan. Maka alih kode dalam linguistik pun terjadilah, melalui pesan-pesan punakawan yang memukau.
Berbaurnya Bahasa Bali, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris dalam konteks berkecak membuat decak kagum para penonton yang merasa dielus-elus hatinya. Tontonan yang memberikan tuntunan. Tari Kecak telah membuat perbedaan bahasa menjadi cair dalam pergaulan antarbangsa. Terkelolanya perbedaan dengan semangat merdeka berkesenian membuat kalangwan bagi wisatawan saat merayakan 79 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.
Fenomena ini adalah wahana pendidikan yang tidak mendadak terjadinya. Sebab sampai berhasil pentas di stage bertaksu Kawasan luar Uluwatu adalah proses menjadi dalam Pendidikan. Proses yang memerlukan ketekunan dan kedisiplinan dengan konsentrasi penuh kontemplatif.
Begitulah Gumi Delod Ceking memikat Pertapa Jawa menyatu di Uluwatu. Secara etimologi, Ulu berarti Kepala dan Watu berarti Batu. Batu di posisi ketinggian, ibarat kepala manusia sebagai ulu. Karena posisi paling tinggi di antara hamparan batu tebing pantai Gumi Delod Ceking, maka stana Beliau yang kelak dikenal sebagai Pura Uluwatu menjadi Pura dengan Status Sad Kahyangan.
Pura Uluwatu berstatus sebagai Pura Sad Kahyangan, sedangkan Pura-Pura lain yang pernah disinggahi Dang Hyang Nirartha di Gumi Delod Ceking berstatus sebagai Pura Dang Kahyangan, kecuali Pura Geger dengan status Pura Kahyangan Jagat. Dalam konteks ke-Bali-an, Pura adalah benteng pertahanan moral spiritual masyarakat pendukungnya. Dengan kalimat lain, Pura tak ubahnya sekolah kehidupan untuk mendidik dan menggembleng mental spiritual umat-Nya.
Berbicara masalah pendidikan di Gumi Delod Ceking adalah berbicara masalah keberlanjutan kebudayaan bagi para pendukungnya baik bagi krama wed (warga pribumi/asal) maupun krama tamiu dengan status pendatang (urban). Baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal sebagai bagian dari kebudayaan tampaknya sudah mendapat perhatian pemerintah di Gumi Delod Ceking ditandai dengan berdirinya tiga kampus besar berstatus negeri, yaitu Unud, PNB, Poltekpar Bali dan dua kampus swasta Stikom Bali dan Universitas Teknologi Indonesia (UTI). Terdapat tiga SMA Negeri, dua SMK Negeri, lima SMP Negeri, sejumlah SMP, SMA, SMK Swasta dan puluhan SD negeri dan sejumlah SD swasta. TK/PAUD Negeri, dan puluhan TK/PAUD swasta.
Dengan demikian, di Gumi Delod Ceking, Lembaga Pendidikan dapat dikatakan lengkap dari Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi. Namun, dari ketersediaan guru, sering masih bermasalah baik dari segi jumlah, kualitas, dan distribusinya sesuai dengan mata pelajaran dan bidang keahlian di SMK.
Berdirinya sejumlah perguruan di Gumi Delod Ceking mengingatkan kita pada perjalanan Dharma yatra Dang Hyang Nirartha yang mendirikan Pondok Sastra di kawasan Nusa Dua dengan melahirkan karya sastra Anyang Nirartha. Konon dalam tapa semadinya, Beliau telah melihat kawasan Gumi Delod Ceking bertabur sinar cahaya.
Hal itu dapat diinterpretasikan sebagai sinar taksu ilmu pengetahuan (widya) di kedalaman budhi yang memancar keluar, sehingga menjadi galang apadang, sebagai antithesis dari kegelapan (awidya) di goa peteng. Begitu pula halnya, dengan berdirinya perguruan modern di Gumi Delod Ceking, diniatkan untuk memberantas kebodohan dan kemiskinan melalui jalan terang pendidikan. Imajinasi itu kelak memang benar-benar nyata adanya. Malam bertabur cahaya lampu listrik yang indah berkat ilmu pengetahuan modern (Ipteks) yang terus-menerus dikembangkan di Lembaga Pendidikan.
Ada sejumlah makna penting yang dapat ditarik dari Gumi Delod Ceking sebagai pusat perguruan. Pertama, secara historis adalah mengaktualisasikan ajaran sastra Sang Maha Kawi Wiku untuk bertimbang rasa dalam keseimbangan sekala niskala. Boleh jadi, hal itu sudah diaktualisasikan melalui Pura Penataran yang berada di Desa Adat Kampial dengan puluhan Pura Ibu Tapa. Kalau tesis ini benar, maka semangat trisemaya : atita, nagata, wartamana berjalan secara berkelanjutannya. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kata Bung Karno.
Kedua, secara geografi, Gumi Delod Ceking adalah kaki Pulau Bali. Sebagai pusat saraf yang membuat warganya bisa kokoh berdiri pantang menyerah seperti batu karang, baat tuhu, tetap kokoh walau diterjang badai. Begitulah seharusnya, warga yang mendiami Gumi Delod Ceking, selalu berguru pada karang untuk merawat integritas memuliakan Kawasan melalui jalan Pendidikan. Mendidik adalah mendidik diri-sendiri tidak mendadak dan perlu proses yang minim protes.
Ketiga, secara ekonomi berdirinya Pusat Perguruan di Gumi Delod Ceking adalah strategi pemerataan dalam konteks merta masambehan. “Alam semesta menyediakan makanan yang cukup bagi seluruh umat-Nya, tetapi tidak cukup untuk seorang yang serakah,” demikian kata para bijaksana. Dalam konteks inilah, merawat tanah sebagai ladang utama ekonomi produktif dapat dikembangkan melalui semangat berguru penuh integritas di Perguruan modern kini. “Tidak ada jalan pintas menuju kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya dapat diraih melalui pengalaman hidup”, kata Mahatma Gandhi.
Keempat, secara kultural, Gumi Delod Ceking adalah tempat persembunyian bahkan pembuangan orang-orang yang bermasalah tempo doeloe yang belakangan dikenal sebagai warga yang nyineb wangsa. Nyineb wangsa adalah strategi penyelamatan untuk bisa bertahan hidup. Itu pula tampaknya yang membuat kata sapaan untuk ayah bagi orang Delod Ceking adalah sama yaitu Nanang. Belakangan, sapaan Nanang kian menghilang, bahkan ada yang tersinggung bila dipanggil Nanang. Belum Merdeka Belajar. Inilah produk gagal dari proses berguru. Duh, Dewa Ratu! [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT