APA yang biasa dikonsumsi dari lebah? Umunya orang akan jawab: madu. Namun, pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasa dari lebah itu sendiri? Apakah rasanya seperti sengatan?
Pertanyaan itu yang terlintas dibenak saya saat ditawari menu uraban nyawan atau lawar nyawan atau lawar lebah di Desa Tambakan, Kubutambahan, Buleleng, Bali, Selasa, 6 Agustus 2024.
Saat itu, di Desa Tambakan, tepatnya di areal sekitar Pura Mrajapati, sedang digelar acara pembukaan pameran seni instalasi karya perupa Nyoman “Polenk” Redi
Saat acara makan siang usai seremonial pembukaan pameran, saya ditawari uraban nyawan, atau orang lebih banyak menyebutkan lawar nyawan. Uraban, atau lawar, adalah menu makanan khas Bali, biasanya terdiri dari campuran berbagai jenis sayur, bumbu lengkap dan parutan kelapa. Juga berisi campuran daging. Jika campurannya dadging babi, maka menu itu disebut lawar babi. Jika menggunakan daging sapi, maka disebut lawar sapi.
Nah, ini lawar nyawan, atau lawar lebah. Artinya, lawar itu berisi daging lebah. Bisa dibayangkan, bagaimana lebah menjadi makanan untuk lauk-lauk.
Ketika ditawari, saya ragu-ragu. Saya punya pengalaman masa kecil yang membuat saya sedikit trauma dengan serangga penyengat semacam lebah. Saya pernah iseng menyentuh tawon yang sudah mati dan saya tersengat tawon mati itu. Biarpun lebah tidak dapat menyengat dalam keadaan mati seperti tawon, tetap saja hal itu membangkitkan rasa cemas dan takut untuk memcicipi hidangan uraban nyawan itu.
Saya bayangkan, sengat lebah bisa saja menusuk bagian dalam mulut saya. Rasanya pasti akan sangat tidak bisa dibanggakan.
Namun, saya penasaran juga. Melihat orang lain yang baik-baik saja saat menyantap menu makanan yang unik itu, saya pun memberanikan diri untuk mencoba hidangan eksotik itu. Makan tanpa nasi bagi saya seperti hari raya Paskah tanpa telur paskah.
Saya menyantap hidangan itu dengan nasi yang dibungkus daun. Awalnya saya hanya menyantap nasi bungkus sambil menatap hidangan dari lebah itu. Saya mengunyahnya perlahan sambil terus menatap hidangan dari lebah itu. Sesuap, dua suap nasi bungkus tertelan hingga akhirnya keberanian saya terkumpul untuk mencoba uraban nyawan itu.
Mulanya hanya seujung sendok hidangan itu saya cicipi. Dengan perlahan suapan pertama itu saya dekatkan ke mulut saya. Sedikit merinding saat menatap sendok yang berisi sedikit olahan lebah itu mengarah ke mulut saya.
Namun, bagian menariknya adalah, sesampainya makanan itu di dalam mulut saya dan menyentuh lidah saya, terasa gurih. Orang Bali biasa menyebut nyangluh. Barangkali rasa gurih itu muncul dari bumbu-bumbu yang dipakai untuk mengolah makanan itu.
Bukan hanya itu, ketika lebah-lebah mungil itu terkunyah dan lumer di mulut, ada sedikit rasa pahit bercampur manis, ditambah dengan rasa gurih dari bumbunya, membuat olahan unik itu memiliki rasa nikmat yang istimewa.
Santapan makan siang di pameran Seni Instalasi Partisipatif Teo-Ekologis Sampi Duwe karya Nyoman “Polenk” Rediasa di Desa Tambakan | Foto : tatkala.co/Sonhaji
Setelah uraban atau lawar nyawan masuk jadi suapan pertama di mulut saya, saya tidak bisa berhenti lagi untuk terus melahapnya. Tak perlu waktu lama nasi bungkus dan uraban nyawan ituludes tanpa sisa di tangan saya.
Keunikan rasa dan tampilannya membuat saya penasaran untuk mengetahui bagaimana orang Desa Tambakan mengolah hidangan unik ini. Saya memutuskan untuk berbincang dengan Ni Komang Srinadi. Ia adalah orang yang menawarkan menu itu kepada para pengunjung termasuk saya.
Srinadi mengatakan, hidangan ini sudah ada sejak dulu di Desa Tambakan. Lebah-lebah yang menjadi bahan baku hidangan ini didapat saat warga mencari madu di hutan. Jika warga menjumpai sarang lebah yang berisi anak-anak lebah yang dirasa cukup untuk diolah, maka anak-anak lebah itulah yang kemudian mereka bawa kemudian diolah menjadi uraban nyawan.
Bahan utama uraban nyawan ini tentu saja nyawan atau lebah. Lebah yang masih bayi, atau lebah yang biasanya masih berada dalam gumpan sarangnya. Bukan lebah dewasa yang sudah bisa terbang dan menyengat.
Bumbu dan bahan lainnya berupa kencur, kelapa, garam, dan cabai yang dimasak selama kurang lebih 30 menit.
Ditengah perbincangan saya dengan Ni Komang Srinadi, datang seorang laki-laki berpakaian kemeja biru gelap dengan udeng di kepalanya bermaksud ikut berbincang soal uraban nyawan.
Laki-laki itu bernama Ketut Suliarta. Ia menjelaskan bahwa selain menjadi makanan konsumsi warga Desa Tambakan, uraban nyawan juga disajikan dan di-hatur-kan sebagai persembahan upacara Sakep Tilem yang dilaksanakan di Pura Dalem. Jadi, uraban nyawan ini juga dipersembahkan untuk Dewa.
Ni Komang Srinadi | Foto : tatkala.co/Sonhaji
Saya bukanlah satu-satunya orang yang pertama kali mencoba uraban nyawan ini saat acara pembukaan pameran seni di Desa Tambakan itu.
Banyak pengunjung lain yang juga baru kali itu merasakan hidangan dari lebah khas Desa Tambakan itu dan menyukainya. Salah satunya, teman saya Sonhaji, salah satu tim tatkala.co yang memang ke Desa Tambakan untuk meliput pembukaan pameran.
Menurutnya hidangan ini memiliki rasa yang unik. Sama seperti saya, awalnya dia juga takut dan ngeri melihat hidangan itu, namun setelah mencobanya dia mulai menyukainya. Menurutnya keunikan dan kekayaan rasa hidangan itu membuat nafsu makannya bertambah. Rasa gurih dari bumbu, dan anak-anak lebah itu terasa pahit, manis, dan asam menciptakan sensasi makan yang menyenangkan baginya.
Pengunjung menikmati nasi bungkus dengan tambahan menu lawar nyawan | Foto : tatkala.co/Sonhaji
Ni Komang Srinadi mengatakan banyak orang dari luar Desa Tambakan bahkan luar Buleleng yang gemar dengan uraban nyawan. Mereka kerap kali ke Desa Tambakan untuk membeli madu sekaligus anakan lebah yang nantinya diolah sendiri menjadi uraban nyawan. Tentu, jika tak mau repot, banyak juga yang membeli uraban nyawan yang sudah jadi. [T]
Reporter: Hizkia Adi Wicaksono
Penulis: Hizkia Adi Wicaksono
Editor: Adnyana Ole