BEBERAPA pasien yang sempat membaca tulisan di tatkala yang berjudul “Hadiah Kematian pada Perayaan Kehidupan” sempat meminta saya untuk menulis hal yang lebih berhubungan dengan masalah yang mereka alami. Masalah yang dimaksud adalah ketakutan akan kematian orang yang dicintai. Sedangkan, tulisan sebelumnya lebih fokus membahas ketakutan terhadap kematian yang akan hadir pada diri sendiri.
Kematian diri akan menyebabkan hilangnya semua hal yang melekat. Orang lain, pencapaian, harta kebendaan, bahkan diri sendiri. Semua cerita akan berhenti di satu titik. Kondisi yang pasti tapi entah kapan datangnya itu akan menimbulkan ketakutan. Walaupun demikian, saat kematian benar – benar muncul, tidak ada yang bisa memastikan apakah yang mengalami kematian tetap mengalami perasaan sedih. Karena, kematian diri sendiri adalah hal yang belum terjadi. Kematian tetaplah pengalaman subjektif dan tidak bisa dirasakan oleh orang lain. Saat kematian datang bagi orang lain, pengalaman akan titik akhir itu hanya sebatas perkiraan abstrak bagi orang yang masih hidup.
Saat pengalaman kematian yang akan dialami diri merupakan perkiraan yang abstrak, tentu rasa sedih akibat kehilangan semua entitas yang melekat pada diri juga sebatas perkiraan semata. Tetapi, hal tersebut tidak berlaku bagi orang yang masih hidup dan ditinggalkan. Orang yang masih hidup mengalami pengalaman nyata.
Pengalaman nyata yang dirasakan dan masih bergulir bersama kehidupan membuat seseorang terperangkap dalam kesedihan. Kesedihan muncul akibat “hilangnya objek cinta” (lost of love object) di mana hal ini juga sering digaungkan oleh aliran psikoanalisis. Rasa kehilangan yang datang menggantikan perginya objek yang dilekati.
Sumber dari kehilangan adalah memiliki. Seseorang tidak akan merasa kehilangan jika tidak pernah merasa memiliki. Jika dilihat dari sudut pandang itu, tentu masalah utama dari kehilangan bukanlah realitas dari objek, tetapi persepsi kelekatan terhadap objek. Sekali lagi, persepsi kelekatan terhadap objek adalah masalahnya.
Memandang kelekatan sebagai sumber masalah sebenarnya sudah diajarkan oleh berbagai kebijaksanaan kuna, contohnya pada ajaran Hindu – Buddha. Seperti pada ajaran Buddha mengenai dukkha dan anicca. Dukkha berarti penderitaan. Penderitaan adalah konsekuensi dari kelekatan terhadap apapun karena semua hal didunia ini memiliki satu ciri mutlak, yaitu ketidakkekalan–annica.
Semua orang akan menghindar jauh – jauh dari segala hal yang menimbulkan perasaan tidak nyaman. Sebaliknya, secara alamiah semua orang akan menyukai dan mendekat ke segala hal yang menimbulkan kegembiraan. Jika dikaitkan dengan kelekatan, seseorang akan mengalami penderitaan saat ia melekat terhadap kondisi buruk yang menghampiri. Penderitaan muncul saat itu juga. Sebaliknya, seseorang akan merasa gembira saat melekat dengan sesuatu yang positif. Akan tetapi, kegembiraan yang muncul dari kelekatan tersebut adalah bom waktu. Karena, penderitaan besar akan muncul saat usia dari hal menyenangkan habis. Pada akhirnya kualitas dari penderitaan akan sebesar kebahagiaan yang dirasakan akibat kelekatan.
Sama halnya dengan kematian orang terdekat. Awalnya orang terdekat menimbulkan kebahagiaan dan suka cita. Suka cita dicengkeram agar tidak pergi. Lalu kesedihan muncul saat sifat asli dari keberadaan objek menunjukkan wajahnya: tidak kekal.
Kesedihan yang muncul akibat kehilangan akan disikapi sebagai ancaman oleh mental manusia. Jika memandang teori Kubler Ross, sikap mental tersebut memiliki tahapan yang bermula dari penyangkalan, kemarahan, penawaran, depresi, lalu berakhir dengan–jika berhasil–penerimaan.
Saat periode awal kehilangan, menyangkal adalah cara yang paling sering dilakukan. Penyangkalan muncul akibat sifat dasar dari keberadaan objek tidak bisa diterima. Mencoba bermain aman di area imajinasi karena realita tidak sesuai ekspektasi. Akan tetapi, tetap saja tidak ada gunanya karena realita tetap bergulir dengan hukumnya sendiri.
Saat penyangkalan tetap tidak berhasil mengubah realita, kemarahan akan muncul. Kemarahan bisa diarahkan kepada siapa saja. Pada situasi, orang lain, atau diri sendiri. Pada akhirnya, kemarahan tidak dapat mengubah apa – apa. Semua tetap sama. Realita tetap kokoh pada sifat dasarnya. Tidak ada yang bisa disalahkan. Marah hanya menghabiskan energi yang sia – sia.
Kemarahan yang tidak berbuah hasil akan membuat diri mengubah strategi. Jika tidak bisa dipaksa, bagaimana jika ditawar pelan – pelan? Melakukan penawaran seolah realita adalah pedagang pasar tumpah yang masih memiliki kelenturan dalam menentukan sikap. Tapi tetap saja, tawaran seperti apapun tetap tidak mampu mengubah kondisi.
Saat semua hal sudah dilakukan dan tidak ada yang berubah, putus asa muncul menggantikan semua cara. Putus asa beraroma kesedihan yang muncul akibat penolakan akan ketidakkekalan. Penderitaan muncul. Semua akibat kelekatan yang tidak disadari.
Penderitaan berakhir saat seseorang dapat menyadari sepenuh hati bahwa tidak ada yang kekal. Tahap akhir dari kehilangan pun tiba, yaitu menerima dan merelakan. Fase ini adalah fase paling tenang dalam periode kehilangan. Tidak ada lagi usaha sia – sia untuk melawan arus.
Seseorang yang sudah berada pada fase penerimaan kadang masih dapat mundur ke fase – fase sebelumnya. Kembali ke fase depresi, menawar, marah, dan bahkan penyangkalan. Itu terjadi karena mental seseorang tidak selalu dalam kondisi yang baik. Apa lagi jika penerimaan belum paripurna.
Mencapai tahap penerimaan bukanlah hal yang mudah bagi beberapa orang. Ada beberapa psikoterapi yang dapat digunakan untuk membantu agar sampai ke tahap tersebut. Akan tetapi, bukan berarti tahap akhir tidak bisa dicapai dengan usaha sendiri. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan mandiri adalah dengan meminjam konsep mindfulness akan pengalaman dan mengalami.
Hal positif atau negatif hanya sebatas pengalaman. Pengalaman yang datang dan pada akhirnya pergi dengan sendirinya. Seperti bentuk awan yang selalu berubah pada langit yang sama. Sadar bahwa saat ini, di sini, aku sedang mengalami sesuatu dan pengalaman ini akan berganti dengan pengalaman lainnya. Sadar akan pengalaman yang sedang bergulir tanpa membenci ataupun menyukai pengalaman tersebut. Karena, membenci dan menyukai adalah kelekatan yang sama. Biarkan saja mengalir apa adanya dengan pandangan yang benar bahwa semua hal tidak ada yang kekal.
Pada akhirnya, kesadaran akan gembira dan sedih adalah keping mata uang yang sama. Besaran suka cita terhadap sesuatu akan sebanding dengan penderitaan yang muncul. Suka cita muncul akibat rasa memiliki sesuatu yang bersifat positif dan akan berubah menjadi penderitaan saat hal positif itu hilang. Seperti kata pepatah Bali: “Amongken liangne, amonto sebete”. Artinya, sebesar apa kebahagiaanmu, sebesar itu pula kesedihanmu. [T]
BACA artikel lain dari penulis KRISNA AJI