SATU es krim nyaris meleleh, dilumat pelan-pelan bocah 10 tahun. Mencair. Mencair. Mulutnya penuh dengan cream berwarna pink, juga kecoklatan. Senja manis menambahkan sedikit warna jingga di mulutnya. Terlihat ia sangat menikmati. Manis. Manis.
Sedang suara derap langkah kaki terdengar seperti beberapa orang sedang berjalan menuju Gereja atau tempat hiburan diri dengan hari sangat panas di sebuah jalan di Amerika untuk sebuah festival. Sebagai budak dengan sepatu hitam keras, langkah kakinya seperti terburu-buru—menggondol kebebasan, atau ia berkulit hitam?
Itu cerita di dalam nada, dibawa angin dari permainan drum di hari terakhir Ubud Villa Jazz Festival (UVJF) 2024, di STHALA Ubud Porfolio Hotel, Minggu, 3 Agustus.
Penonton berjajar di tebing sekitar Giri Stage menyaksikan penampilan Collective Harmony dalam Ubud Village Jazz Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Son
Di Giri Stage, di areal UVJF, sorot mata bocah yang menggenggam es krim itu lebih lama memandang, sebab es krim di tangannya semakin tipis, meleleh, tak menarik lagi. Namun dijilatinya juga es krim itu hingga cepak. Semakin tidak ada. Ia tak memiliki apapun selain orang-orang di sekitarnya dan suasana yang hangat di atas panggung, juga di bawah.
Sore yang menggemaskan untuk berdansa. Satu persatu orang-orang dewasa di sekitarnya berdiri, Kevin—pianis Collective Harmony meminta seseorang mesti berdansa selain bertepuk—bahkan “banyak orang lebih baik,” kata si penyanyi—hendak merepertoar musik klasik Jazz ala Louis Armstrong itu, When the Saints Go Marching In.
“Mari ke depan. Mari ke depan,” kata salah satu penyanyi di panggung.
Penonton berdansa menyaksikan Collective Harmony | Foto: tatkala.co/Son
Nancy Ponto, Rachman Neider, Phil Antonio, Telly Yoesoef, dan Ras Gito. Lima penyanyi itu membawakan beberapa lagu dengan nuansa Jazz klasik—new orleans style.
Sedang bocah kecil tadi lebih nyata kehilangan es krimnya di tangan. Dan suara langkah kaki oleh seorang drummer—yang tidak kutahu namanya itu benar-benar membelai tangan bocah itu dengan tempo ketukan yang nyaris sama dengan orang-orang berjalan menggunakan sepatu pekerja barangkali.
Lalu bocah itu melumat habis sisa eskrim di mulutnya. Dari kejauhan aku melihat tingkahnya. Dari tangannya pertama, pelan-pelan tubuhnya ikut bergerak terpengaruh musik lintas zaman yang tua dari pinggiran Amerika Serikat itu.
Penampilan Collective Harmony di Ubud Village Jazz Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Ia berjoget di samping ibunya sambil duduk. Senyum keemasan terlihat di bocah itu dibantu waktu, dan suara derap langkah kaki menjadi musik yang ria—mengantarkan orang-orang berdansa. Piano dan contrabass membuat semuanya menjadi gembira bersama-sama.
Barangkali benar apa yang dikatakan oleh pemain bass akustik Jazz, Charlie Haden,
“Bass, tidak peduli jenis musik apa yang Anda mainkan, hanya meningkatkan suara dan membuat segalanya terdengar lebih indah dan utuh. Saat bass berhenti, segalanya jadi serba salah.”
Dari sekian banyak penampil di hari kedua ini di UVJF, Collective Harmony—tampil selain dengan penyanyinya berbanyak, mereka juga secara khusus hanya membawakan lagu-lagu dari Louis Armstrong, dengan membawakan kembali nuansa jazz tua.
“Ciptaannya Louis Armstrong atau yang dibawakannya—yang lalu terkenal. Nah, kita membawakan itu hari ini. Mengaransemennya dengan—nuansa tetap klasik, sebagaimana jazz tua seperti Dixeland, ragtime, kaya gitu—sangat new orleans style kita hari ini. Makanya tadi banyak bunyinya seperti marching seperti ‘dengtcet..dengtcet..dengtcet…’ itu bunyinya seperti langkah kaki seorang budak—berkulit hitam di sekitar tahun 1920-an, yang berjalan di sebuah festival, mereka seperti ber-marching—ketika berjalan beramai,” jelas Kevin, seorang pianis—dari Collectif Harmony, sebuah grup yang baru saja dibentuk tahun ini.
Jazz tidak bisa dilupakan imajinasinya tentang suara langkah kaki, atau jeritan perbudakan di Amerika melalui saxophone. Tentang kulit hitam, tentang ruang dan waktu—rasisme pada kulit hitam di sana secara sosial-kultur yang jahat.
Tentu, tak bisa dibantahkan pula jika musik ini cenderung memiliki akar musik dari Afrika dan Eropa, sebagaimana budak-budak Afrika di Amerika merepertoar batinnya melalui musik ini. Bisa berkembang sampai sekarang—bahkan lebih maju barangkali dengan teknik-teknik bermain teranyar sekarang.
Penampilan Collective Harmony di Ubud Village Jazz Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Tetapi, apakah rasisme pada kulit hitam berhenti walaupun jazz—barangkali lebih cenderung dimainkan akhir-akhir ini oleh orang-orang kulit putih atau elitis? Tetapi yang jelas, jazz adalah kemanusiaan. Kebebasan. Cinta.
“Jika Anda tidak menyukai Louis Armstrong, berarti Anda tidak tahu cara mencintai,” kata Mahalia Jackson, seorang penyanyi gospel Amerika Serikat.
La Vien Rose, Hello Dolly, Sunshine of love, Jeepers Creepers, I’ll see you in my dreams, What a wonderful world, When the saints go marching in. Lagu-lagu itu menutup senja di tanggal muda oleh Collective Harmony.
Penampilan Collective Harmony di Ubud Village Jazz Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Kembali kepada bocah kecil tadi, kami semua menghasilkan derap langkah yang sama menuju panggung Padi, di areal UVJF—tentu tanpa es krim dan hanya ada bayangan tubuh kami dan pohon-pohon segar oleh cahaya maghrib setelah berdansa.
Di sana, FAWR sudah siap untuk tampil, dan beberapa orang sedang mempersiapkan tempat. Dan di akhir kehidupan Louis Arsmtrong, terompet adalah kehidupannya. Ia sangat berjasa selain menebar cinta kasih atau kesetaraan pada sesama melalui itu. Di musik, ia telah membawa penyederhanaan cukup baik penuh eksperimental bagaimana jazz bisa dinikmati tanpa harus bertanya, mengapa orang-orang kembali menonton!? Apalagi bertanya tentang ras! [T]
BACA artikel lain tentang UBUD VILLAGE JAZZ FESTIVAL
Reporter: Sonhaji Abdullah
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole