Jinārthi Prakrĕti, sebuah pustaka berspirit Buddha Mahaya yang terwaris di Bali. Teksnya sendiri ditemukan tergabung dalam satu cakepan lontar yaitu Shiwāratri Kalpa, Kunjarakarna, Krĕta Samaya, Nagara Krĕtagama, Nirartha Prakrĕtha, dan Hanyang Nirartha. Penyalinnya adalah seseorang yang menyebut dirinya Nirārtha Pamasah ‘keturunan Nirārtha’. Ia menyalin di sebuah pasraman yang bernama Kancana Stana atau Desa Mas pada tahun 1738 Masehi. Desa Mas yang kita kenal saat ini tampaknya pada masa lampau pernah menjadi pusat literasi, tempat menyalin pustaka-pustaka penting untuk meniti kehidupan dan meraih kelepasan pada akhir kehidupan.
Nirārtha Pamasah barangkali adalah seorang pendeta yang ingin membadankan berbagai ajaran kependetaan dengan cara menulis, khususnya tentang Buddha Mahayana. Dengan menulislah Ia menginstal berbagai ajaran itu dalam hati dan pikiran sekaligus melaksanakan bagian dari brata yang disebut dengan wīryaparamitha. Bonusnya, meski sang penulis sudah tiada, karyanya tak akan ditadah Kala.
Salah satu bagian penting yang diwacanakan dalam Jinārthi Prakrĕthi adalah enam brata yang mesti dilakukan oleh seorang penganut Buddha Mahayana dengan sebutan Sat Paramitha atau Sad Paramita. Brata Sad Paramitha tersebut terdiri atas enam bagian yaitu dana, sila, santi, wirya, dyana, dan pradnya.
Pertama, dana paramitha adalah pikiran yang tidak terikat pada kekayaan, terlebih pada makanan, dan istri. Anak, darah, serta daging sekalipun mesti ikhlas dihaturkan kepada yang menginginkan dan membutuhkan.
Kedua, sila paramitha adalah keteguhan dalam menjaga etika ajaran Buddha dan mampu menjaga pikiran, kata-kata, serta perbuatan ketika melihat orang lain bahagia.
Ketiga, santi paramitha adalah curahan kata-kata yang bagaikan madu ketika melihat orang menderita, tidak gelisah dan senantiasa suci hening seperti langit tanpa awan. Ia juga selalu mengusahakan kebahagiaan orang lain yang menderita.
Keempat, wirya paramitha adalah usaha untuk selalu mengusahakan pikiran, perkataan, dan perbuatan pada kebaikan. Demikian pula, ketika siang Ia senantiasa belajar, memuja, dan tekun menulis. Sementara itu, pada malam hari Ia melakukan yoga pemusatan pemikiran dan puja stuti.
Kelima, dhyana paramitha adalah kesadaran bahwa manusia sejatinya sama dengan seluruh makhluk yang lain. Oleh sebab itulah, seseorang perlu memekarkan rasa kasih kepada semua makhluk, termasuk binatang rendahan sekalipun.
Keenam, pradnya paramitha adalah kemampuan untuk mengetahui tiga dimensi waktu yaitu yang telah terjadi, sedang, dan akan datang, termasuk menguasai segala sastra agama, dan posisi dewa di penjuru mata angin.
Enam brata yang dijelaskan di atas sesungguhnya termanifestasi secara simbolis dalam Kakawin Sutasoma atau Purosadhasanta. Dengan membaca Kakawin Jinārthi Prakrĕthi, sikap-sikap Sutasoma yang seolah-olah naïf dan menolak dunia dapat dipahami dengan lebih jelas. Ketika Sutasoma meninggalkan kerajaannya dan berani mempersembahkan dirinya untuk menggantikan anak macan yang akan dimakan oleh ibunya, sesungguhnya adalah kombinasi dari laku brata yaitu dana paramitha, wirya paramita, dan dhyana paramita.
Satu hal yang perlu dicatat dari enam brata di atas adalah dhyāna paramitha. Brata tersebut menarik untuk direnungkan di tengah-tengah isu radikalisme yang terjadi di berbagai belahan negeri ini dengan dalih agama dan politik. Bagi mereka yang radikal di lanskap agama, merasa tak berdosa menyakiti orang lain yang di luar agama keyakinannya. Sementara itu, orang-orang yang radikal secara politik merasa tidak masalah untuk melukai orang lain, bahkan para petugas medis yang tengah bertugas dan tentara yang sedang menjaga keamanan.
Ajaran dhyana paramitha yang menyatakan bahwa manusia sesungguhnya tunggal dengan seluruh makhluk dan oleh sebab itu kita mesti mengasihi binatang terendah sekalipun menjadi penting untuk dibumikan. Ajaran untuk mengasihi semua makhluk ini sama pentingnya dengan konsep Tattwamasi yang juga memberikan penekanan terhadap kemanunggalan setiap insan di dunia. Kasih kepada sesama manusia, bahkan binatang dan makhluk rendahan sekalipun sesungguhnya menunjukkan kadar kemanusiaan manusia. [T]
BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA