SIDZIA Madvox lebih dikenal sebagai musisi, terkadang membuat lagu, komik, zine, novel, dan lain-lain. Banyak yang menyebut bahwa dia multitalenta, bahkan pameran tunggalnya sebagai pelukis menjadi sesuatu yang agak mengejutkan bagi banyak orang.
“Mengejutkan” yang saya maksud dalam dunia seni rupa Lombok. Tampaknya orang-orang menganggap pameran tunggal seni rupa, khususnya lukisan adalah sesuatu yang harus dilakukan di tempat yang bagus—semacam galeri, cafe atau hotel—dengan pencahayaan dan tata letak yang rapi, bagus, dan enak dipandang. Intinya jika seseorang akan berpameran tunggal banyak hal yang dipikirkan dan standartnya harus bagus macam di galeri-galeri. Tapi, Sidzia justru mengelak hal itu. Kutipan terkenalnya “Persetan dengan skill yang penting tampil.” secara tak langsung masuk juga dalam ranah pameran seri rupa ini. Pameran tunggalnya diselenggarakan 21-27 Juli 2024 di Warung Kota, sebuah rumah yang dialihkan menjadi warung.
Lobster Monster karya Sidzia Madvox | Foto: Nuraisah
Mantra Ardhana, seorang seniman senior, menjadi kuratorial pameran ini. Baginya mengkuratori pameran tunggal ini tidak terlalu susah karena sudah kenal Sidzia Madvox sejak lama, mereka telah berteman dari kecil. Catatan Kuratorialnya cenderung serius, fokus tulisannya membedah satu lukisan “Mantan Pedagang Jamu”. Hal ini sangat kontras dengan tulisan Sidzia dalam katalog yang lucu dan apa adanya.
Lalu, bagaimana dengan lukisan Sidzia Madvox? Kegelapan menjadi unsur yang sangat dominan. Walau pada beberapa kanvas ada beberapa yang cenderung menggunakan warna cerah, tapi tetap saja kegelapan ada pada goresan-goresan abstrak yang ditumpahkan. Beberapa mengatakan kalau lukisannya malah seram, kelucuan yang biasa hadir dalam sosok pribadi, cerita-cerita komik dan novelnya nyaris tak tampak sebagai rupa.
Terlebih lukisan-lukisan yang menghadirkan sosok perempuan justru mirip sosok hantu. Perempuan menjadi hal dominan yang dilukis Sidzia, setidaknya ada 9 dari 22 lukisan yang dipajang adalah potret perempuan, (Mantan Pedagang Jamu, Pedagang Sate, Eksploitasi, Single Fighter, Menstruasi, Sugeng Rawuh, Gadis Banyumulek, Inspirasi di Pagi Hari, Mandi Kucing). Menanggapi hal itu dia menyebutkan perempuan sangatlah dihormati, terlebih ibunya. Sedangkan keseraman semacam hantu, mungkin dikarenakan ketika dia melukis selalu ditengah malam sambil menyalakan dupa, secara tak langsung ada sesuatu yang ‘lain’ sedang mengendalikannya. Saya sedikit percaya tentang hal itu.
Tata letak tiap karya cenderung acak-acak, bahkan kalau dipikir-pikir menjadi lucu dan unik. Contohnya seperti lukisan yang sangat dekat dengan jendela dan pintu, patung yang ditaruh di lantai. Patung-patung itu kecil dan tak berjudul ada di bawah, seperti mainan anak yang tergeletak begitu saja, beberapa ada yang di atas meja. Saya baru memperhatikan patung-patung itu ketika pengunjung lain dengan serius memperhatikannya. Nyaris saja saya tak memperhatikan, baru menyadari ternyata patung-patung kecil bagian dari pameran ini.
Single Fighter karya Sidzia Madvox | Foto: Nuraisah
Dan jika membaca katalog pameran ini, bukannya menemukan deskripsi, melainkan menemukan cerita yang dipaparkan sangat menghibur, khas tulisan Sidzia Madvox. Misalnya, pada “Lobter Monster” yang menggambarkan sosok merah dan berkumis panjang, mirip wajah barong, tapi di deskripsi katalog dia menjelaskan itu adalah pengalamannya memakan lobster, kakek dari si udang.
Pameran tunggal ini sangat sederhana, terasa amat pribadi, apa adanya, dan dari segi rupa Sidzia jujur menghadirkan karyanya. Tidak dibagus-baguskan, tidak dijelek-jelekkan. Memang terlihat absurd dan acak-acak, tapi jika mengenal Sidzia sebagai pribadi, maka menjadi sangat masuk akal menyaksikan pameran tunggal yang acak-acak ini.
Pesta Nasi Kucing karya Sidzia Madvox | Foto: Nuraisah
Sidzia mengakui tidak ada bahan dan alat lukisan yang dibeli, kanvas dan cat berasal dari sisa-sisa orang lain yang kemudian dia gunakan untuk menciptakan lukisannya. Beberapa didapatkan dari teman, keluarga, atau sebuah tempat, modal yang nyaris nol. Dan karena makin lama lukisannya makin banyak, jadilah dia menyelenggarakan pameran tunggal “Sisa-sisa yang Tersisa”.
Sebagai seniman, Sidzia menciptakan rupa dari yang tersisa, sebagaimana proses mendaur ulang, menciptakan sesuatu yang baru dari hal-hal yang terabaikan atau terbuang. [T]
Baca artikel lain dari penulis NURAISAH MAULIDA ADNANI