KASUS pembuangan orok atau bayi seolah tak pernah berhenti. Kejadian ini tentu ironis, sebab di tengah-tengah tak semua orang tua beruntung mendapatkan titipan anak biologis dari Tuhan, sejumlah oknum orang tua justru tega mengakhiri hidup anak-anaknya yang nirdosa. Kita tentu bisa saja berasumsi ada kejadian luar biasa yang menyebabkan mereka memilih untuk menempuh jalan ini. Motif yang paling lumbrah pasti hamil di luar nikah. Akan tetapi, dengan motif apapun tindakan yang berujung pada pembunuhan sangat disayangkan dan tidak boleh ditiru!
Perbuatan itu jelas melanggar hukum dan bertentangan dengan nilai-nilai sastra yang kita warisi di Bali. Kita tidak akan membahas lebih jauh pasal-pasal hukum yang bisa menjerat seorang ibu apabila melakukan tindakan seperti ini. Melainkan mencoba mencari jejak perlindungan terhadap anak yang kemungkinan terselip dalam warisan-warisan sastra kita.
Jejak perlindungan anak sejatinya telah diwacanakan dalam pustaka Adiparwa. Karya sastra tersebut mengisahkan satu fragmen penting tentang penetapan hukuman terhadap anak melalui kisah seorag pertapa bernama Bhagawan Animandawya dengan hakim surgai, yaitu Yamadipati.
Yamadipati yang menjabat sebagai hakim memang bertugas untuk menjatuhkan hukuman bagi jiwa-jiwa manusia setelah mati. Akan tetapi, sebagai tokoh yang dipercaya menjatuhkan hukuman, Yamadipati sendiri juga tidak luput dari hukuman. Pada suatu saat, Resi Animandawya tengah melakukan tapa, brata, yoga, dan samadhi. Secara lebih khusus, beliau menggelar brata yang mahaberat yaitu diam atau monabrata. Suatu brata yang berat dapat dipastikan juga akan mendapatkan godaan yang berat. Seseorang baru berhak mendapatkan pujian, setelah lulus dari berbagai ujian. Begitulah siklusnya.
Kala Sang Pendeta melakukan tapa brata, ternyata pada saat yang bersamaan ada seorang pencuri yang bersembunyi di pertapaannya. Para pasukan kerajaan yang berusaha menyisir pencuri tersebut hingga sampai pertapaan Resi Animandawya akhirnya bertemu dengan Sang Pendeta.
Para pasukan tersebut bertanya kepada Sang Pendeta apakah beliau melihat pencuri yang melarikan berbagi barang berharga dari kerajaan. Meskipun barangkali Sang Pendeta mendengar pertanyaan para pasukan, beliau ternyata teguh melakukan tapa brata. Berkali-kali para pasukan bertanya, tetapi tidak mendapatkan sepatah katapun. Oleh sebab itulah mereka kemudian masuk ke dalam pertapaan. Betapa mereka terperangah, ternyata pencuri itu benar ada di tengah katyagan, tempat sang pendeta melakukan aktivitas kebrahmanaan.
Karena situasi inilah para pasukan tersebut menuduh Resi Animandawya bersekongkol dengan si pencuri. Akibat kemarahan raja yang kecewa atas dugaan persekongkolan Sang Resi, akhirnya beliau dijatuhi hukuman dengan cara yang sangat kejam, yaitu menusuk pantat beliau dengan tombok.
Meski menahan rasa sakit yang luar biasa, yoga Sang Pendeta yang sudah matang mampu membuat beliau tahan atas sakit tusukan tombak itu. Tombak raja tentu tidak hanya menyakiti fisik Resi Animandawya, tetapi juga batinnya. Karena beliau memang tidak bersalah. Terlebih, beliau tengah melakukan janji diri yaitu mona brata ‘diam’.
Para Resi lainnya yang tahu kejadian ini tidak hanya protes kepada Sang Raja, tetapi juga segera mengonfirmasi Raja Alam Baka yang menetapkan hukuman kepada manusia, Yamadipati. Kaum Resi itu paham betul bahwa segala kejadian di dunia ini tidak akan berlangsung tanpa intervensi dari Yamadipati. Ketika ditanyai soal alasan penjatuhan hukuman terhadap Resi itu, Yamadipati mengatakan bahwa saat Resi Animandawya masih anak-anak, beliau sempat menusuk-nusuk pantat capung. Oleh karena itulah, ketika dewasa Sang Resi harus mendapatkan hukuman yang setimpal akibat perbuatannya,
Mendengar pernyataan Yamadipati, para Resi itu tidak setuju. Sebab, seorang anak yang belum berumur empat belas tahun tidak dapat dijatuhi hukuman (yadikang rare magawe doşa ri padblas tahun wayahnya, yogya tibāna daņdha). Di umur itu, anak-anak tidak sepantasnya mendapatkan hukuman, karena mereka belum paham baik dan buruk (tan yogya tibāna danda, ikang rare yan tuning kinahanan ing idĕp hala hayu). Dengan alasan itulah, para Resi kemudian mengutuk Yamadipati agar bereinkarnasi ke dunia menjadi seseorang yang berkaki pincang. Ia adalah Widura, Perdana menteri kerajaan Hastina Pura.
Membaca fragmen kisah Yamadipati dalam pustaka Adiparwa di atas kita merasa ada jejak-jejak purba perlindungan terhadap anak. Dalam karya sastra tersebut secara terang benderang disebutkan bahwa seorang anak yang belum berumur empat belas tahun tidak boleh dijatuhi hukuman.
Pada saat yang bersamaan, kita juga dapat memaknai pustaka ini sebagai bentuk perlindungan sastra terhadap anak. Di usianya yang belum lebih dari empat belas tahun, pantang memberikan hukuman dan tindakan kekerasan lainnya terhadap seorang anak, meskipun orang tua dengan berbagai alasan dan otoritas kadang melakukan hal itu terhadap putranya. Sampai di sini, barangkali penting bagi kita merenungkan petikan Kakawin Niti Sastra tentang pendidikan anak sesuai dengan tingkat umurnya.
Karya sastra yang dalam tradisi Bali diyakini karya Dang Hyang Nirartha ini menjelaskan bahwa anak yang berumur lima tahun patut diperlakukan seperti anak raja (Tiŋkahiŋ sutaśasaneka kadi rāja tanaya ri sĕdĕŋ limaŋ tawun). Apabila ia sudah berumur tujuh tahun patut diperlakukan seperti pelayan (saptaŋ warṣa warā hulun).
Sementara itu, ketika usianya sudah menginjak sepuluh tahun, ia mulai diajarkan aksara (sapuluhiŋ tahun ika wurukĕn riŋ akṣara). Jika sudah enam belas tahun perlakukan seperti sahabat baik, dan berhati-hati menunjukkan kesalahannya (yapwan sodaṣawarṣa tulya wara mitra tinaha taha denta mīdana). Jika ia sendiri sudah berkeluarga dan berputra, orang tuanya cukup hanya mengamat-amati saja tingkahnya. Apabila dalam keadaan tertentu orang tua ingin memberikan nasihat, ia cukup menyampaikannya dengan isyarat (yan wus putra suputra yiŋhalana solahika wurukĕn iŋ nayeŋ gita).
Penjalasan pustaka Niti Sastra di atas adalah ilmu parenting cara Jawa Kuno dan Bali. Kenapa kita perlu menerapkan pola pendidikan tersebut kepada sang anak? Sebab, pustaka Slokantara menyatakan bahwa membuat seratus sumur kalah pahalanya dengan membuat satu telaga, membuat seratus telaga kalah pahalanya dengan membuat satu yadnya, seratus yadnya dikahkan dengan kelahiran satu putra yang teguh melaksanakan tapa, brata, yoga, samadhi dan berbagai kebagikan untuk sesamanya.
Selamat Hari Anak Nasional.
BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA