DI kawasan Danau Beratan, Tabanan, tepatnya di sisi timur parkiran bus, di pinggir jalan menuju jalan shortcut 3 dan 4 Bedugul, berjejer pedagang kaki lima (PKL) yang membuka lapak. Mereka membangun meja kayu panjang yang menempel di pagar besi tepian danau. Beberapa menambahkan payung warna-warni, lainnya cukup menyediakan kursi plastik tanpa sandaran.
Pedagang-pedagang itu terdiri dari tukang bakso, kopi, minuman kemasan, mie dalam cup, dan banyak kuliner lain yang dapat dinikmati bersama keluarga, handai tolan, pasangan, atau sendirian dengan pemandangan danau yang biru dan bukit hijau di seberangnya.
Mereka sudah lama menggelar lapak di sana, barangkali sejak danau yang terletak di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan itu dijadikan objek pariwisata. Tetapi tampilannya yang sekarang baru terjadi sekira empat tahun yang lalu.
Rombong-rombong bakso di pinggiran Danau Beratan | Foto: Jaswanto
Dulu, mereka—para pedagang itu—hanya menyediakan karpet, tikar, atau alas seadanya yang digelar di trotoar jalan. Itu karena belum ada yang bertanggung jawab, kata seorang pedagang yang tak mau disebut namanya.
Bertanggung jawab? Ya, meski pribumi, bertahun-tahun mereka merupakan pedagang “liar”—dalam pandangan administrasi pemerintah—yang mencoba mengais remah-remah pariwisata. Bertahun-tahun pula mereka rela digusur atau dikejar-kejar Satpol PP. Dalam hal ini, tak jarang pula mereka mendapat perlakuan keras dari petugas.
“Ini baru, Mas. Awal tahun 2020,” kata Alma, salah seorang pedagang bakso di pinggir Danau Beratan, menegaskan bahwa meja dan kursi panjang itu merupakan tampilan baru. Alma, perempuan 30-an tahun itu bukan orang asli Candikuning. Ia lahir dan tumbuh di Karangasem. “Suami saya orang Candikuning,” ujarnya sambil membuka masker yang ia kenakan.
Pemandangan Danau Beratan dari tempat pedagang kaki lima | Foto: Jaswanto
Para pedagang memang didominasi kaum perempuan. Hanya satu-dua pria saja yang terlihat menjaga lapak dan melayani pembeli. Selebihnya, sekali lagi, Anda hanya akan melihat perempuan-perempuan menawarkan barang dagangan mereka dan dengan sigap melayani para pembeli.
“Suami saya yang membawa rombong bakso ke sini. Tapi saya yang menjaga, nanti dia jemput lagi,” ujar Alma sambil memegangi perutnya yang besar. Ya, Alma sedang mengandung. “Enam bulan,” katanya.
Dengan tubuhnya yang kecil, mungil, meski beban perutnya bertambah, ia tetap cekatan naik-turun tangga membenarkan kursi-kursi, meracik bakso, membawakannya ke hadapan pembeli, dan membereskan mangkuk-mangkuk kotor di meja lapaknya.
“Semoga nanti lahirannya normal,” Alma berharap dengan sedikit senyum di bibirnya. Meski ia tetap tak dapat menyembunyikan kecemasan di wajahnya.
Mengenai profesinya sebagai pedagang kaki lima di pinggiran Beratan, sebelum kepala desa Candikuning siap bertanggung jawab, memasang badan untuk mereka, Alma juga sering dikejar-kejar Satpol PP. Tak jarang ia harus berlari membawa barang dagangan dan… ya, anak pertamanya yang masih kecil, masih di gendongannya.
Rombong bakso milik Alma | Foto: Jaswanto
“Lari-lari dulu, Mas. Hahaha,” ujar Alma. “Tapi sekarang sudah tidak. Karena kepala desa yang bertanggung jawab,” sambungnya.
Selama ini, menurut Alma, para pedagang di pinggir jalan ini tidak membayar apa-apa (pajak, uang pungutan, atau sejenisnya) kepada pihak desa maupun pemerintah di atasnya. Mereka hanya diminta untuk menjaga kebersihan dan ketertiban sekitar danau dan jalan raya, khususnya pada saat ada kunjungan pejabat pemerintahan.
Namun, keberadaan mereka tetap dianggap “pengganggu” lalu-lintas di sepanjang jalan tersebut. Pada tahun 2023, sejumlah PKL ditertibkan petugas kantor Camat Baturiti dan Satpol PP Tabanan. Penertiban itu dilakukan mengingat banyaknya keluhan dari masyarakat melalui media sosial.
“Di medsos sering ramai keluhan pedagang berjualan pinggir jalan. Ini sangat mengganggu lalu lintas yang buat kemacetan kadang kala,” ujar Sayu Made Parwati, Camat Baturiti, sebagaimana dikutip dari Radar Bali.
Selain itu, penertiban itu dilakukan juga terkait adanya rencana dari Pemerintah Provinsi Bali yang bakal melaksanakan penataan. “Apalagi beberapa kali DPRD Provinsi Bali sempat turun ke lokasi Danau Beratan,” kata Parwati.
Bakso, salah satu menu yang pedagang kaki lima tawarkan | Foto: Jaswanto
Hal-hal seperti ini memang kerap terjadi di Dunia Ketiga. Tak hanya di kawasan Danau Beratan, tapi juga di banyak tempat di Indonesia. Ini masalah yang dilematis, memang. Pemerintah dan sebagian masyarakat ingin kawasan tersebut steril dari aktivitas perdagangan, tapi di sisi lain, ini juga penghidupan para pedagang.
“Tempat ini sangat penting bagi kami. Sebab dari sini kami mendapat tambahan penghasilan,” kata Alma seolah tak ingin jika ia—dan para pedagang lainnya, tentu saja—harus tergusur dan mencari tempat lain untuk berjualan. Dan itu masalah yang terus membayangi Alma dan pedagang lainnya dari dulu hingga sekarang.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole