SUDAH seminggu saya melancong di Thailand Utara, dari Chiang Mai ke Pai, dan kembali ke Chiang Mai. Merasa belum puas menjelajah, kemarin saya berangkat ke Chiang Rai. Chiang Rai, kota di Distrik Mueang Chiang itu, dapat ditempuh kurang lebih 4 jam naik bus dari Chiang Mai.
Bus penuh. Pengunjung berbahasa latin tampak mendominasi. Kebanyakan dari Spanyol, pikir saya. Dan tempat ini mungkin sudah menjadi destinasi favorit bagi wisatawan Eropa, saya bergumam.
Chiang Rai adalah provinsi paling utara di Thailand. Dan tentu banyak hal menarik yang bisa dieksplorasi di sini. Di daerah ini, saya berkunjung ke White Temple (Wat Rong Khun), Blu temple (Wat Rong Sue ten), Black House (Baan dam Museum), sampai sebuah area rekreasi dengan pemandangan bukit dan pusat perkebunan teh (Singha Park). Saya juga berkunjung ke Karen Village Long Neck.
Dari pusat Kota Chiang Rai, rata-rata tempat-tempat di atas bisa ditempuh kurang lebih 40 menit dengan mengendarai sepeda motor. Ya, saya mengunjungi tempat-tempat tersebut dengan motor yang saya sewa.
Tetapi, bagi saya, dari sekian tempat yang saya kunjungi, yang paling menarik adalah Union of Hill Tribe (Village and Long Neck Karen). Saya mengatakan hal demikian barangkali karena saya selalu tertarik dengan wisata yang menawarkan pengalaman apalagi bertemu dengan lokal komunitas. Di Union of Hill Tribe, banyak hal bisa saya pelajari.
Tiket masuk per orang 300 Baht. Setelah transaksi tiket, reception langsung memberi saya sebuah map, rute yang akan dilalui. Tanpa berpikir panjang saya langsung berjalan sambil membawa tongkat. Tongkat, selain penting sebagai alat bantu hiking, juga senjata jika ada domba liar datang.
Union of Hill Tribe didirikan sejak 20 tahun lalu di Distrik Nanglae, tidak jauh dari Kota Chiang Rai. Di sana terdapat 5 desa suku bukit dengan lebih dari 200 penduduk desa, yaitu Suku Akha, Suku Iu Mien (Yao), Suku Lahu (Muser), Suku Palong (Anting besar), dan Suku Leher Panjang (Kayan). Di sini, banyak yang menyediakan rumah singgah dan dapat langsung berinterkasi—kegiatan bersama—dengan penduduk lokal.
Sebenarnya, suku-suku ini adalah pengungsi dari Myanmar ketika konflik pecah di negara tersebut. Thailand dan Myanmar atau yang dulu dikenal dengan sebutan Burma memang mempunyai perbatasan yang sangat dekat. Terutama di semenanjung segitiga emas (Golden Triangle).
Di antara suku-suku yang telah disebutkan, yang paling dikenal oleh pelancong adalah masyarakat Suku Kayan. Suku ini dikenal dengan sebutan Long Neck Karen. Dengan ciri khas menggunakan rings (cincin) di leher mereka. Semakin tua usia perempuan Suku Kayan ini, maka jumlah cincin di lehernya akan bertambah pula—dan lehernya akan kelihatan bertambah panjang. Menakjubkan.
Rumah-rumah Suku Kayan tampak sangat sederhana. Dan diam-diam saya mengagumi kehidupan mereka. Di satu sisi mereka terus berusaha menghidupkan tradisi, di sisi lainnya mereka adalah pengungsi, bukan asili Thailand.
Sampai di sini, sudah selayaknya wisata, dengan alasan apa pun, harus memberikan usaha lebih bagi keberlangsungan dan kelestarian tradisi. Termasuk di Bali. Meski sering sekali atas nama tradisi, semua dengan cepat terbeli, bukan?[T]