DI antara banyaknya kartunis Bali, I Wayan Tama adalah salah satu yang konsisten dengan aktivitas satu ini. Ia begitu piawai menggoreskan lukisan kartun yang lucu, menggelitik, bahkan acap kali mengkritik. Baginya, seni dalam melukis kartun adalah hal yang menyenangkan dan tidak akan pernah bosan dilakoni olehnya.
Jika Anda sempat datang ke Pesta Kesenian Bali (PKB) ia mudah ditemui di Stand Pameran Karikatur Bali. Ia pun siap menggambar wajah Anda menjadi sosok karikatur yang lucu. Mengapa kartunis asal Karangasem ini mengatakan kartunis adalah profesi yang kurang diperhatikan? Berikut petikan perbincangan antara I Wayan Tama dengan penulis.
Sejak kapan Anda menekuni seni melukis, terutama sebagai kartunis?
Kalau saya dari tahun 2004, tetapi tahun 2008 baru jadi pekerjaan tetap.
Apakah dulu Anda bersekolah seni lukis atau seni rupa?
Kalau saya lulusan SMA. Awalnya saya bekerja di pembuatan film kartun, dari sana saya mulai belajar. Nama perusahaannya Marsa Jaya. Jadi keterampilan yang saya miliki ini bisa saya sebut otodidak.
Apa kesibukan Anda sehari-hari?
Ya tetap melukis. Ini sudah menjadi kerjaan saya. Udah benar-benar kerja dari karikatur. Ya sehari-hari gak ada kerjaan yang lain.
Dalam banyak kesempatan seperti di ajang PKB, Anda menggambar objek secara langsung atau on the spot. Apa daya tarik dari melukis on the spot?
Kalau on the spot itu kan ada chemistry-nya ya. Orang yang digambar langsung itu ada kesannya tersendiri. Beda pokoknya. Yang digambar juga merasakan kesenangan yang berbeda ketika melihat hasilnya.
Foto: I Wayan Tama melukis karikatur di Pameran Karikatur Bali (PKB) | Foto: Dede
Selain melukis on the spot di pameran, apakah Anda juga ikut kegiatan lain, misalnya juga melukis wedding?
Iya melukis Wedding (Bali Wedding Carricatures). Kalau itu sistemnya bookingan. Biasanya bule-bule yang nikah itu kan punya tamu, ya tamu-tamu itu yang saya Lukis, jadi souvenir lah istilahnya. Lukisannya on the spot juga. Sistemnya beda, kalau wedding itu per-jam. Dibayarnya sama pengantin. Jumlah tamu tidak mempengaruhi. Termasuk dinner juga, sistemnya sama.
Selain kartun wajah, Anda sering melukis apa lagi?
Dulu pernah melukis realis, foto, batik juga pernah (desain batik tulis).
Apakah kemampuan melukis juga Anda bagikan kepada yang lain, mungkin pernah mengajar melukis?
Kalau batik saya sempat ngajar di Batik Popiler. Itu art shop tapi ada tempat untuk ngajar. Tapi menurut saya kurang sreg, lebih menarik di karikatur ini, passion-nya lebih di sini, bisa ketemu orang-orang baru dan tidak monoton. Kalau mengajar melukis yang lain saya tidak pernah, saya tidak berani karena hanya belajar otodidak. Lebih baik kerja sendiri.
Di keluarga apakah ada yang mengikuti jejak Anda sebagai pelukis?
Anak saya ada, tapi tidak pelukis seperti saya, dia lebih ke teknologi. Masih kecil sih, masih SMA, tapi ngambil jurusan DKV. Gambar juga, cuma beda aliran lah. Dia lebih ke anime dan ilustrasi.
Karya I Wayan Tama dalam Pameran Karikatur Bali 2024 | Foto: Dede
Apa kesan Anda mengenai minat anak muda untuk menjadi kartunis?
Nah, kalau menurut saya belum sih ya, belum ada. Karena anak muda lebih ke teknologi, desain-desain. Kalaupun ada, tidak terlalu mendalami. Jurusannya juga tidak ada. Kalau ada kemungkinan besar bakal ada. Biasanya hanya jurusan umum. Ini karena jurusannya tidak ada, otomatis juga jarang ada yang berminat. Saya juga awalnya tidak berniat ke sini, tapi karena mendapat tawaran kerja di film kartun tadi, jadinya belajar dan bisa. Saya banyak belajar dasar-dasarnya di sana. Lama-kelamaan jadi pekerjaan tetap sampai sekarang.
Apa harapan Anda untuk seniman kartun Bali?
Harapan saya agar ke depannya kartunis mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Karena karikatur atau kartun ini kan berbeda dengan seni lukis lain yang lebih diperhatikan. Kalau kartun seperti karikatur itukan model humor, kritikan. Rata rata yang diangkat humor. Sketsa pun dibuat agar orang yang melihat tertawa. Komunitas kami sendiri memang belum penuh mendapatkan perhatian. Baru ini saja, agak bersyukur sih era kemarin kami dikasi tempat di sini untuk tetap menunjukkan eksistensi.
Di luar PKB, sama sekali belum ada wadah yang disediakan untuk kami. Kami sudah sering menghubungi pihak terkait, tapi tak ada respon, buntu. Mungkin karena kita dianggap sebagai kritikus. Berbeda dengan seni lukis yang lain.
***
Pesta Kesenian Bali Jadi Ladang Rejeki
Setiap setahun sekali, perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) menjadi momentum yang ditunggu-tunggu banyak orang, tak terkecuali oleh I Wayan Tama. Ia bisa melukis banyak sketsa dalam sebulan penuh di PKB, di Pameran Karikatur Bali.
Karya I Wayan Tama dalam Pameran Karikatur Bali 2024 | Foto: Dede
I Wayan Tama mengungkapkan bahwa pameran karikatur ini sudah ada sejak tahun 2000-an. Namun, dirinya mulai bergabung pada tahun 2015.
Pada awalnya pameran ini bertempat di areal pameran Ksirarnawa. Kemudian sejak tahun 2020 pindah ke ruang pameran, dekat Gedung Wantilan.
“Setelah pindah ke sini, ternyata animo masyarakat masih sama, bahkan makin ramai,” ungkapnya.
Dalam sehari ia bisa membuat 10-15 sketsa, satu sketsa dibanderol dengan harga 50 ribu rupiah. Selain sketsa wajah, pameran karikatur ini juga menampilkan karya-karya dari komunitas BALICA (Bali Cartoons Association). Semuanya adalah kartunis yang menuangkan ide-ide kekinian, terutama isu-isu yang sedang viral.
“Kami ini dari komunitas BALICA, nah dari kami ada sepuluh orang seniman, satu orang minimal buat tiga karya untuk dipamerkan di pameran karikatur ini. Tidak ada seleksi juga, karena waktunya juga mepet,” tandasnya.
Penulis bersama I Wayan Tama | Foto: Dok. Dede
Pesta Kesenian Bali ke-46 secara resmi telah ditutup pada 13 Juli 2024. Jika anda tertarik untuk membuat sketsa wajah, namun belum sempat berkunjung ke Pameran Karikatur Bali. Anda dapat menghubungi I Wayan Tama melalui akun Instagram-nya @bali_karikatur. [T]
BIODATA
Nama Lengkap : I Wayan Tama
Asal : Karangasem, Menetap di Denpasar
Tempat/Tgl Lahir : Karangasem, 24 Agustus 1968
Profesi : Kartunis, Pelukis Karikatur
Usaha : Bali Karikatur
Komunitas : Bali Cartoons Association
Reporter: Dede Putra Wiguna
Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole