TUTURNYA tumpah ketika lelaki paruh baya itu duduk beristirahat di depan gedung teknik kantor Perumda Air Minum Tirta Hita Buleleng—dulu disebut dengan nama PDAM Buleleng. Lelaki yang berusia setengah abad itu kembali mengingat masa-masa mudanya yang penuh dengan usaha serta keringat yang tiada habisnya.
Benar. Usianya kini menginjak 57 tahun, setengah abad perjalanan hidupnya telah menjadi saksi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di negeri ini, salah satunya krisis moneter di tahun 1998. Kerutan di wajahnya, rambut putih menutup rambut hitamnya, semua hal itu tidak bisa ditutupi lagi keberadaannya.
“Nama saya Mistaji, tapi di sini lebih akrab disapa Mas Taji,” begitu ia memperkenalkan diri. Berawal dari tahun 1988 akhir, Mistaji muda memulai tekatnya merantau hingga berlabuh ke Pulau Dewata. “Di rumah (Jawa) saya tidak punya apa-apa, jadi harus merantau,” katanya mengingat salah satu kenangan penting dalam hidupnya.
Ia kembali bercerita. Pendidikan terakhinya hanya SMA. “Kebetulan, tetangga yang punya kerjaan pemborong, buka jasa gali, jadi saya ikut di sana.” Bisa dibilang, peristiwa tersebut yang menjadikan Taji muda memulai bekerja sebagai seorang tukang gali.
Mistaji mengerjakan pipa di Jalan Pulau Timor | Foto: Pande
Taji tidak memiliki teknik khusus dalam hal gali-menggali. Ia hanya memiliki tekat dan modal keberanian saja—juga kepercayaan diri yang lumayan. Dengan semua itu, ia mampu menunjukkan jika ia bisa mengerjakan hal tersebut. “Saya tidak punya teknik apa-apa, modal pendidikan SMA jadi analisa sendiri saja,” katanya dengan tegas.
Selanjutnya, proyek Ground Water Tank di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali menjadi proyek awal yang cukup besar baginya. Dari pengalaman tersebut, ia mendapat pekerjaan di Gianyar, tepatnya di Desa Blahbatuh, dengan proyek pemasangan pipa sambungan baru ke rumah-rumah.
Berbekal alat-alat seadanya, Taji menempuh perjalanan dengan berjalan kaki dari Desa Blahbatuh menuju Desa Bona. Perjalanan itu, tuturnya, memakan waktu yang cukup lama, berangkat di pagi hari, tengah hari pukul 12.00 siang baru sampai.
“Nah, ini lucu, orang-orang bilang desa itu dekat, makanya saya jalan kaki. Di setiap tikungan saya tanya ke warga, jawabanya selalu sama, dekat itu. Eh, padahal, kenyatannya itu jauh, saya berjalan sampai tengah hari,” katanya sembari menertawakan diri sendiri.
Meski hanya diberi imbalan Rp. 15.000, Taji tetap melanjutkan pekerjaannya, itu bukan masalah. Baginya, beberapa pengalaman tersebut akan ia jadikan sebagai ilmu di kemudian hari.
Di Desa Tihingan, Klungkung, ia kembali menambah dan mengasah keahliannya. Hanya saja, selama 3 bulan itu, ia menjadi tukang gali, bukan penyambung pipa. Harap maklum, dulu, seorang pemasang sambungan pipa baru memang perlu pengalaman yang banyak, di sisi lain persaingan juga bisa dibilang begitu sulit. Karena itulah, Taji bahkan sempat kembali ke kampung halamannya dengan harapan mendapat kesempatan lebih, namun ternyata lebih sulit bersaing di rumah sendiri.
Dan pada akhir tahun 1989, salah seorang sahabatnya dari Yogyakarta, mengajak Taji kembali berlabuh di Pulau Dewata. Pendaratannya kala itu jatuh pada proyek pertama provinsi dalam pemasangan pipa induk 3 dim di Kecamatan Gerokgak. Ketika itu, sebagai tukang gali, Taji mendapat upah Rp. 75.000. Tahun itu, uang segitu sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dulu, Taji bercerita, sebelum proyek pipa 3 dim tersebut dikerjakan, proses penggalian sudah dilakukan jauh-jauh hari terlebih dahulu. Kata Taji, penggalian tersebut dilakukan pada saat petani baru mulai menanam jagung. Tapi sampai jagung itu panen dan petani kembali lagi menanam jagung, pipa-pipa tersebut belum juga diturunkan.
Bagi Taji, pekerjaan menggali itu tidak lah seberapa, barang tiga sampai empat hari sudah selesai, tergantung panjang proyek. Ia mengaku, bekerja menjadi tukang gali itu uangnya lebih banyak daripada bekerja menjadi tukang becak, misalnya.
Mistaji berjuang memperbaiki kebocoran pipa | Dok. PDAM Buleleng 2020
Menjadi tukang gali, menurut Taji, merupakan kesenangan tersendiri. “Senangnya itu ada artinya, dengan memperhatikan setiap orang bekerja, saya bisa mendapat ilmu secara cuma-cuma, belajarnya bisa gratis,” katanya.
Taji kembali menceritakan masa lalunya. Di benak dan pikirannya, CV. Prana Indah dan sosok bernama Sugiono masih begitu melekat—dan tak akan pernah ia lupakan. Kata Taji, dulu, meski banyak saingan, CV. Prana Indah menjadi tempat usaha pemasangan pipa yang laris dan terkenal. Pekerjaan CV tersebut dinilai lebih bagus dari yang lain dan tepat waktu dalam hal proyek pemasangan pipa.
“CV itu paling eksis pokoknya, kenyataan seperti itu. Saya termasuk tenaganya,” tuturnya dengan penuh percaya diri. Namun, pada tahun 1992, Taji mengalami hal yang tidak mengenakkan saat bekerja di CV. Prana Indah.
Taji bercerita, ketika itu ia sedang mengerjakan perbaikan pipa di Banyuning tepat di bulan Maret, berbarengan dengan HUT Kota Singaraja. Kondisi jalan utama di Banyuning—kini tepat di depan Toko Bangunan Adisika—telah dipenuhi kerukan lubang yang cukup dalam.
Waktu itu, Camat Buleleng ingin lewat, namun karena pekerjaan pemasangan pipa tersebut, perjalanannya menjadi terhambat. Dasar apes, camat itu melapor ke kantor tempat Taji bekerja. Karena itu, Taji harus dimarahi atasannya dan pada akhirnya dipecat dari pekerjaan yang ia banggakan tersebut. Meski usianya tergolong renta, tapi ingatan Taji tentang hal tersebut seperti masih sangat segar.
Pada saat dipecat, Taji merasa kalang kabut. Ia mencoba berkeliling dan mulai bertanya-bertanya ke beberapa CV yang ada untuk melamar pekerjaan, namun sayangnya tidak ada yang mau menerimanya karena beberapa CV sudah memiliki tenaga masing-masing.
Kepanikannya mencari pekerjaan membuatnya nyaris menyerah. Dengan sisa upah yang ia dapat, Taji mencoba membeli sepeda dan rombong untuk berjualan bakso. Namun hal itu ternyata tak bertahan lama.
Taji mencoba berbagai macam pekerjaan, tapi hasilnya nihil. Satu hal yang sering ditanyakan bos-bos itu kepada Taji saat melamar pekerjaan adalah “Kamu punya sepeda motor tidak?” Pada akhirnya, keterpurukan itu membawanya kembali pulang ke tanah kelahiran.
Ia pulang untuk meminta uang kepada keluarganya di kampung. Uang itu ia belikan sepeda motor “GL” yang sampai sekarang masih menemani hari-harinya bekerja. Tak berselang lama, sosok bernama Ketut Rana, bosnya dulu, membawa Taji kembali ke Singaraja, meski perusahaan miliki Rana mulai banyak macetnya.
***
Dulu, proyek pemasangan pipa memang banyak sekali, bahkan lokasinya hampir di seluruh Kabupaten Buleleng. Waktu itu, menurut Taji, belum begitu banyak tenaga kerja, sangat jauh berbeda dengan zaman sekarang. Taji masih menjadi sosok paling dominan dalam mengerjakan beberapa pekerjaan penting terkait pemasangan maupun memperbaiki kebocoran.
“Dari kantor pusat di Singaraja, Seririt, Kubutambahan, Gerokgak, Busungbiu, bahkan Pancasari, bukan sombong ya, itu lebih banyak saya yang mengerjakan,” tuturnya dengan bangga.
Di Singaraja, jaringan pipa telah menjadi kawannya sedari dulu. Jika disuruh mengingat atau ditanya mengenai jaringan pipa di tengah Kota Singaraja, Taji memvalidasi dirinya dengan kata lumayan hafal. “Kalau 100% tahu posisinya, tentu mustahil, sudah lumayan lupa, apalagi perbaikan itu tidak hanya saya yang mengerjakan,” katanya.
Mistaji memperbaiki kebocoran pipa | Foto: Pande
Jalan Ahmad Yani, seingat Taji, ketika untuk pertama kali Taji menginjakkan kaki di Singaraja, pipa itu masih berdampingan dengan got, namun sekarang ini pipanya sudah mulai dipindahkan minimal 3-4 meter dari jarak trotoar. Kini, keberadaanya justru berada di tengah jalan raya, kedalamannya pun hingga 1,3 sampai 1,4 meter ke bawah.
Di balik penatnya, Taji ternyata juga memiliki jiwa solutif. Tak hanya memikirkan bongkar pasang pipa saja, kerap kali ia juga memikirkan tantangan besar ke depan, utamanya saat ia memikirkan sambungan pipa di Jalan Dewi Sartika, Kartini, Teleng, Merak, Imam bonjol, dan Patimura.
Di jalan-jalan yang disebutkan, beberapa pipa besi dan pipa pvc baru masih begitu semrawut dan tak kunjung selesai untuk dirapikan. Bagi Taji, solusi sementara, ketika ada pemasangan sambungan baru, jika pengambilannya dari pipa besi, langsung saja dipindahkan ke pipa pvc. Secara tidak langsung, sedikit demi sedikit itu akan dapat teratasi.
“Saya anggap, Jalan Dewi Sartika itu paling ribet, paling susah. Kalau ada kebocoran di sana, airnya susah untuk dimatikan. Kadang, sudah dimatikan masih ada saja air yang mengalir, susah, entah dari mana datangnya,” tutur Taji begitu serius.
Tantangan terbesar bagi seorang pekerja sambung pipa, menurut Taji, harus mau bergulat dengan air bercampur tanah yang semakin cepat mengisi lubang galian perbaikan pipa. Dulu, alat tidak ada yang canggih seperti sekarang, tidak ada pompa sedot yang membuat air sangat sulit untuk dikuras.
“Menyelam, ya cuma itu cara satu-satunya, modalnya cuma meraba-raba pipa, gergaji, dan pasang pipa. Cuma pakai perasaan saja, kalau habis napasnya, naik lagi ngambil napas,” tuturnya sembari memperagakan gaya turunnya menyelami air bercampur tanah.
Taji menganggap zaman sekarang sudah sangat enak. Para pekerja tidak perlu menyelam lagi karena sudah dimudahkan dengan pompa sedot. Dulu hanya bermodalkan hammer (palu besar) dan betel. Tetapi, meski demikian, menurut Taji, sangat perlu menggunakan pompa tersebut, apalagi jika terbentur kondisi waktu, tuntutan konsumen agar tidak terlalu lama.
“Di Kampung Tinggi, di dekat Eks Pelabuhan itu, kalau tidak salah, dalam galiannya sampai 2 meter. Nah, saya nyilem untuk memperbaiki pipa 10 dim. Pasang pipa dan memotongnya ya sambil nyilem. Di sana airnya tidak mau mati, dikuras dateng lagi, dikuras dateng lagi,” tutur Taji dengan begitu serius.
Pernah suatu kali ia negen (memikul) pipa sendirian, pipa pvc 6 dim, 6 meter panjangnya, di sebuah jembatan di daerah Bangkiang Sidem. “Kalau toleh kiri-kanan ngeri itu,” terangnya. Menurut Taji, sebelah timur dari tempat itu ada sebuah tebing tinggi.
Di jembatan Bangkiang Sidem Taji mencoba memperbaiki pipa trasmisi yang lama. Awalnya jembatan tersebut baik-baik saja, namun setelah pipa yang ia kerjakan rampung, sejam setelahnya jembatan tersebut jebol.
“Ketika itu ada orang Surabaya yang badannya gede dan heran sama saya. Katanya, Pak Taji itu orangnya kecil, tapi berani, kuat, dan cerdik. Itu semua dia yang mengatakan, bukan saya sombong atau gimana, kebetulan dia sudah sering ketemu pekerja dan tumben baru sekali ini ketemu orang seperti saya,” tuturnya dengan bangga.
Mistaji sedang menyelam memperbaiki pipa kebocoran | Dok. PDAM Buleleng 2020
Meski cukup lama menjadi tukang sambung pipa, Taji tetap merasa penat. Selama ini Taji telah memperbaiki pipa dari ujung barat Buleleng di Gerokgak sampai ujung timur Buleleng di Sambirenteng.
Taji manusia biasa, tidak bisa terbang dari satu wilayah ke wilayah lainnya dalam sekejap, hingga ia menyarankan Perumda Air Minum Tirta Hita Buleleng untuk menambah tenaga bantu untuk ditaruh di setiap cabang. “Kebocoran semakin banyak, perlu menambah pekerja. Penambahan tenaga kerja itu membuat saya lebih fokus untuk menangani permasalahan di kota saja—itu pun sudah kewalahan sekali,” ujar Taji.
Kegigihan Taji membanting tulang selama ini semata untuk menafkahi istri dan ketiga anaknya. Istri tercintanya ikut mencari pundi-pundi rupiah dengan bekerja sebagai tukang jahit rumahan.
Di usianya saat ini, Taji sering memberi bekal ilmu kepada para pekerja baru, atau mereka yang meminta bagaimana caranya menyambung pipa dengan benar. “Saya tidak akan pernah rakus masalah pekerjaan. Kalau ilmu itu cocok, saya silakan gunakan,” tuturnya.
Pekerja-pekerja muda ingin sekali diberi tahu Taji tentang bagaimana teori-teori bekerja. Mendapati hal tersebut, Taji menjadi senang. Ia memiliki pikiran, jika seandainya nanti ia tidak ada, beberapa pekerjaan bisa lebih dikondisikan.
Taji berharap, setiap orang yang melihatnya bekerja tidak sekadar datang hanya untuk melihat saja, tapi juga memperhatikannya. Tenaga kerja saat ini benar-benar butuh pendorong untuk lebih inisiatif, kebanyakan pekerja sekarang tidak punya gagasannya sendiri.
“Saya menganggap itu sebagai konsultasi gratis. Saya senang berbagi ilmu, saya sangat beruntung jika ada yang mau meminta ilmu, saya akan bangga menjadi orang yang berguna,” katanya dengan bangga. Taji berkata, nasibnya sebagai tukang sambung pipa mungkin tersisa 5 tahun ke depan, sebelum ia memilih untuk mengistirahatkan diri di masa purna tugasnya.[T]
Reporter: Pande Putu Jana Wijnyana
Penulis: Pande Putu Jana Wijnyana
Editor: Jaswanto
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.