SEBUAH genre seni lukis romantisme sempat menjadi bagian dari sejarah perkembangan seni lukis Indonesia. Mooi Indie atau Indonesia Molek, sebagai penanda memberi gairah pada kasat mata. Keindahan atau kemolekan figur benda-benda, alam tropis dan juga tubuh ditunjukkan secara berlebihan, dramatis dan ekosotis.
Eksotis di mata orang luar dianggap sebuah keunikan yang dramatis. Bila telanjur bayangan tentang eksotis mengarah erotis, apa boleh buat, begitulah, secara umum romantisme juga kerap dianggap sesuatu yang erotis.
Bila penjelasan itu digunakan untuk menilai karya sastra, apa sajak-sajak dalam buku Asmaraloka, dengan tambahan sebagai sebuah antologi cinta di belakang judul buku, sebagai sajak-sajak romantisme? Ini bagian lain memerlukan penjelasan lain pula.
Sebagai penikmat, bukan pengamat, hal tersebut tak terlalu penting. Lebih utama ingin menemukan nilai. Atau makna kehidupan. Sebab karya susastra itu indah dan mengandung makna. Di balik pernyataan tersurat ada yang tersirat. Dan pada buku ini ada janji menyuguhkan cinta yang tak biasa dengan cara yang tak biasa pula. Ini sudah nampak pada sejumlah judul sajak.
Alih-alih menemukan suasana hati yang lembut, mendayu-dayu eksotis apalagi erotis, sebaliknya kita menemukan ungkapan lugas, menabrak pikiran. Misal, sajak “Pembual Kehilangan Cinta.” Ini sajak terasa skeptis bahwa cinta menjadi sebatas alat. Ini persoalan tubuh. Dengan personifikasi burung merak sebagai tokoh ‘dikorbankan’ sebagai pembual.
Burung merak, simbol maskulin nan anggun, seolah-olah seorang hero yang ditumbangkan melalui penceritaan begitu linier. Memaparkan secara dramatis, teatrikal sang merak tak menemukan yang dicari. Terbayang pesona tubuh yang berharap pemujaan atas keanggunan dirinya. Namun sesungguhnya bagaimana
“Menerima ketaksempurnaan/ Bukan jadi bayang-bayang/ Tak saling memuja,/ menjadi setengah berhala” (sajak Ibadah Cinta,hal 40).
Apa sesungguhnya cinta itu? Makhluk apakah dia gerangan? Dan menjadi buah bibir dimana-mana. Ada begitu banyak ungkapan pemujaan namun sebaliknya ada pernyataan sinis, bahkan skeptis. Mungkin ini sajak bisa membawa kita pada sebuah pernyataan yang umum dan klise, bahwa ”cinta dari mata turun ke hati” seharusnya sebaliknya, “dari hati lalu ke mata.”
Pesan semacam ini mudah ditemui dalam novel remaja atau filem yang menempatkan perempuan pada posisi kalah atau korban. Ketika dibangun menjadi sebuah sajak, ini menjadi tantangan. Bisa jadi sebagai uji nyali menantang daya kreativitas menunjukkan sejauh pencapaian estetika mampu mengeksplorasi yang umum dan yang remeh-temeh.
Sebuah transformasi menjadikan narasi puitis. Dan ini menjadi alasan penting, sesudah penyairnya menerbikan dua buku kumpulan sajak dengan konten berbeda dan dengan cara bercerita dari sudut pandang perempuan. Dapat dirasakan bahwa sajak-sajak di buku Asmaraloka erat kaitannya dengan peristiwa sosial yang umum.
Penyisipan imajinatif dengan realitas di lingkungan domestik yang memberi batasan garis tegas dalam hal hubungan personal mengenai cinta. Pada batas ini, beberapa sajak di buku Asmaraloka mengarah ke kritik sosial.
Buku ketiga dari dua buku kumpulan sajak sebelumnya ”Karena Aku Perempuan Bali” (Arti Foundation 2003) buku kedua “Arunika” (Pustaka Ekspresi 2024) sebagai buku sastra pilihan Majalah Tempo 2023, memang berbeda kontennya namun tetap saja unsur kritik sosial muncul pada ketiga buku.
Buku kumpulan sajak Asmaraloka antologi cinta ini menjadi unik. Karena tak terjebak diksi yang umum. Beberapa sajak terasa provokatif (Pembual Kehilangan Cinta), dan pada sajak “Cinta Offside” seolah penyairnya melakukan suatu penjelasan bahwa mahkota mutiara, kemegahan yang tak rapuh, tak lapuk dikikis waktu.
Dan mahkota mutiara jelas asosiatif dengan martabat seseorang. Mudah dikaitkan dengan tokoh sentral burung merak nan anggun pada sajak “Pembual Kehilangan Cinta.” Penyairnya mengatakan, padaku mahkota (kemegahan, keanggunan mudah memenjara, membelenggu, beban bagi kebebasan( hal 33).
Bagi penyairnya, cinta seharusnya memberi ruang bukan membelenggu atas nama kasih sayang. Lagi-lagi terasa umum kita dengar. Ketika dibuat dramatis, ini upaya, menyuguhkan yang umum menjadi tak biasa.
Ada pula sajak mengandung asosiatif dengan spirit penerimaan yang afirmatif (Cinta Hujan Puisi). Sikap hidup sebagai pilihan dan penerimaan dengan spirit berserah diri bukan menyerah pada nasib. Melainkan menyerahkan hasil dari memperjuangkan hidup.
Sebuah filosofi cinta yang sembunyi di balik bangunan narasi yang lugas dalam sajak Siklus Waktu seperti sebuah ceritera Panji yang “rindu rasa rindu rupa” (meminjam pernyataan penyair Amir Hamzah dalam sajak “Padamu Jua”) mengalami samsara tubuh di bumi. Cinta menjadi sesuatu yang gaib.
Dalam bahasa lokal ada istilah jatukarma, pertemuan karena karma. Alur narasi dibuat seperti garis lingkaran. Bermula dari titik awal dan ujung perjalanan menuju kembali ke titik semula. Penyairnya menjelaskan tentang ruang dan waktu menjadi jarak dari pertemuan di masa kanak-kanak, seiring waktu saling mencari yang tak diketahui siapa yang dicari, sesat oleh bayang-bayang identitas imajiner.
Sebuah eksplorasi dari ceritera panji dan dongeng pangeran dalam ceritera klasik. Jarak yang terbentang membuat tersesat karena yang dicari menjelma seekor angsa, belibis atau seekor kodok. Eksplorasi menarik jika kreativitas ini dapat memasuki wilayah sejarah sebagai sumber teks di kemudian hari.
Jika sajak dicarikan hubungan dengan kebangkitan kreativitas pada media sosial, apa mungkin di samping konten sejarah sajak juga bisa bicara soal horor? Dalam bentuk cerpen agaknya sudah ada yang memulai.
“Deru angin mengurung/ Mengguncang keberadaan/ Tangan-tangan menyulut api amarah// Tak juga hangus// Alam bersuara/ jiwa mendengar/ Menggema seantero sukma,/membuat demarkasi/Lingkaran gaib/Menghadang yang menerabas/lewat gelap……” (Demarkasi Hening, hal 52 ).
Ini cerita lain lagi. Kuasa supranatural memasuki wilayah cinta menjadi magis. Jika istilah penelitian dianggap terlalu berlebihan maka wilayah observasi dan yang bersifat empirik mungkin diperlukan bagi penulis sajak menuju konten lebih luas. Sajak ini bisa dianggap membuka tabir yang membatasi kreativitas.
Saya bertanya tentang cinta dan Anda pasti punya jawaban panjang dan mungkin juga mudah terjebak pada rasa romantis maupun erotis.
Bagaimana mengungkapkan cinta tanpa romantis dan erotis temukanlah pada sejumlah judul pada sajak: Percintaan Uji Nyali (hal 13), Anomali Cinta (hal. 17), Titik Nol Cinta (hal.20), Gelembung Cinta (hal 26), Cinta Offside (hal. 33), Cinta Nukturno (hal.50).
Penyairnya mengatakan ini sebuah tawaran dan bukan main-main menawarkan 28 sajak dalam sebuah buku. [T]