SEBANYAK 103 warga negara asing (WNA) ditangkap Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama tim gabungan di sebuah villa di Kabupaten Tabanan, Bali 26 Juni 2024. Mereka diduga melakukan penipuan dan kejahatan siber.
Sebelumnya, seorang bule asal Inggris merampas truk dari seorang sopir di Kerobokan, Kabupaten Badung, Bali pada 9 Juni 2024. Bule yang diduga mabuk itu membawa kabur truk hingga menerobos Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.
Jauh sebelumnya, pada tanggal 1 Mei 2022 seorang WNA asal Rusia berpose telanjang di pohon yang dikeramatkan di Tabanan, Bali. Bukan hanya itu, sederet kasus bule telanjang bulat di Bali kembali terjadi.
Tidak sekadar tindak asusila yang dilakukan bule di Bali. Perilaku brutal juga ditunjukkan. Dua orang wisatawan asal Amerika melakukan pemukulan terhadap pecalang (perangkat keamanan adat) di Seminyak, Badung. Ada pula bule yang menantang duel pecalang saat prosesi Melasti di Pecatu, Badung.
Ulah bule di Bali belakangan makin membuat masyarakat geram. Ada bule yang bukan hanya pelesiran di Pulau Dewata, namun mereka juga melakukan praktik bisnis ilegal. Modusnya pun macam-macam; mulai dari rental kendaraan, fotografer, menjadi instruktur selancar, hingga menjadi pengedar narkotika.
Bahkan ada kasus yang menggelikan sekaligus menjengkelkan. Beberapa wisatawan asing mengajukan petisi masalah kokok ayam di Jimbaran. Hanya dengan alasan terganggu oleh suara kokok ayam, para bule itu mengajukan petisi kepada Satuan Ketenteraman dan Ketertiban Kuta Selatan.
Perilaku bule membawa implikasi dalam sektor pariwisata. Bule berulah, pariwisata Bali kena getah. Pemberitaan tentang ulah para turis asing di Bali mendapat sorotan dari berbagai media internasional. Citra pariwisata Indonesia, khususnya Bali menjadi tercoreng.
Mengapa ?
Banyak pihak yang tak habis pikir mengapa wisatawan asing berulah di Bali. Padahal selama ini Bali dikenal sebagai destinasi yang populer di dunia. Bali juga dianggap sebagai destinasi wisata dunia yang dianggap unik, sakral, dan penuh misteri.
Keleluasaan wisatawan untuk berbuat apa pun di Bali tidak terlepas dari karakteristik masyarakat Bali yang permisif terhadap para pendatang, termasuk wisatawan. Permisivitas tentu hal yang positif dalam bisnis pariwisata. Tidak heran jika sikap masyarakat Bali yang seperti ini membuat wisatawan betah tinggal di Bali.
Masyarakat Bali selalu berprasangka positif kepada turis, baik domestik maupun mancanegara. Para wisatawan diposisikan sebagai tamiu atau tamu yang patut untuk dihormati. Sayangnya, prasangka positif ini justru kerap dimaknai wisatawan sebagai boleh melakukan apa saja di Bali.
Perilaku bule yang tidak sesuai dengan norma, adat, dan tradisi selama di Bali juga dapat disebabkan oleh predisposisi yang keliru. Wisatawan berpandangan bahwa Bali merupakan destinasi wisata yang bebas, surganya dunia. Predisposisi ini berkaca dari begitu bebasnya wisatawan untuk bertelanjang di sepanjang pantai di Bali.
Ada pula yang beranggapan bahwa bule yang berulah di Bali lantaran kurang memperoleh informasi tentang norma, adat, dan tradisi di Bali. Anggapan ini sesungguhnya kurang tepat. Mengingat setiap wisatawan yang akan berkunjung ke suatu destinasi pasti akan mencari informasi segala hal terkait destinasi itu. Informasi tentang destinasi sangat mudah diakses di internet.
Lemahnya pengawasan terhadap wisatawan juga menjadi salah satu faktor mengapa bule banyak yang melakukan tindakan menyimpang. Begitu banyak objek dan daya tarik wisata di Bali. Perangkat dinas dan adat tidak dapat secara maksimal mengawasi perilaku wisatawan. Keterbatasan sumber daya manusia dan sumber dana boleh jadi menghambat pengawasan bagi para bule itu.
Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali juga menjadi pemicu perilaku menyimpang para bule. Celakanya, kualitas wisatawan yang datang tidak semuanya baik. Wisatawan yang sering berulah adalah bule yang tidak berkualitas secara ekonomis dan moralitasnya. Sedangkan para turis yang berkualitas tidak pernah berulah negatif selama di Bali.
Antisipasi
Sejatinya, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah bule berulah; baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Bali. Antisipasi memang perlu segera dilakukan, agar tidak menimbulkan getah pada pariwisata Bali. Pemberitaan negatif tentang ulah bule ini berdampak pada citra pariwisata Indonesia di pasar wisata dunia.
Pemerintah Provinsi Bali misalnya, telah membuat kebijakan pungutan kepada wisatawan asing sebesar 150 ribu rupiah. Pungutan itu bertujuan untuk program-program pelestarian lingkungan alam dan budaya serta perbaikan sarana dan pelayanan kepada wisatawan. Pungutan itu memberi jaminan keamanan dan kenyamanan wisatawan selama di Bali. Meski begitu, bukan berarti dengan membayar pungutan itu wisatawan bebas berulah apa saja.
Pemerintah daerah, dinas pariwisata, dan kantor imigrasi Bali juga tidak kurang upaya. Mereka membuat panduan Do’s and Don’ts, berisi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan wisatawan selama di Bali. Panduan itu dibagikan di bandara maupun objek wisata.
Upaya antisipasi itu sebenarnya sudah cukup baik. Meski demikian, masih saja ada bule yang berulah. Perlu upaya lain untuk sosialisasi dan edukasi Do’s and Don’ts dengan menjemput bola ke negara-negara potensial penyumbang bule yang sering berulah. Bisa pula bekerja sama dengan maskapai penerbangan untuk menyampaikan panduan itu di atas pesawat sebelum mendarat di Bali.
Bali juga dijadikan percontohan polisi pariwisata oleh Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian Republik Indonesia. Diharapkan ada penguatan keamanan Bali melalui polisi pariwisata. Artinya, kehadiran polisi pariwisata itu nantinya dapat mengantisipasi ulah bule di Bali.
Upaya represif pun telah dilakukan terhadap bule yang berulah. Bagi yang melanggar tindak pidana, proses hukum lewat pengadilan dilakukan. Pemerintah pun telah melakukan deportasi terhadap ratusan bule yang bermasalah.
Menilik antisipasi yang dilakukan berbagai pihak terhadap keamanan pariwisata Bali, semestinya kasus bule yang berulah tidak terjadi lagi. Bagaimana pun, Bali adalah barometer pariwisata Tanah Air yang perlu dijaga keamanannya. Getah yang menciprat di Bali akan mencoreng wajah Indonesia.
Jika semua upaya ansipasi itu tetap saja membuat wisatawan berulah di Bali, maka seluruh stakeholder pariwisata dan masyarakat Bali perlu merenung. Barangkali semua patut mulat sarira. Atau langkah niskala (transendental) harus dilakukan untuk membersihkan getah pariwisata itu. Mengapa tidak? [T]
BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU