SEBAGIAN besar desa pakraman atau desa adat di Bali memiliki Pura Kahyangan Tiga sebagai pusat peribadatan masyarakat desa. Konsep Kahyangan Tiga ini digagas oleh pandita suci Mpu Kuturan pada era Maharaja Udayana di Bali.
Pura Tri Kahyangan tidak membedakan status sosial atau kasta seseorang dalam melakukan pemujaan. Semua terkumpul menjadi satu, memuja kebesaran Tuhan dengan cara dan laku yang sama.
Desa Adat Beringkit di Mengwi, Badung, sebagai desa yang berstatus Desa Pakraman tentu memiliki mandala Parhyangan. Pura Tri Kahyangan atau Kahyangan Tiga sebagai hulu dari desa adat berfungsi sebagai tempat ibadah agama Hindu serta wahana bagi masyarakat desa dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan.
Mengenai pembangunannya tidak ada yang tahu secara pasti karena minimnya sumber tertulis, namun jika melihat Suryasangkala yang terpahat pada pintu gedong desa akan mendapatkan sedikit jawaban mengenai pembangunan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Beringkit.
Suryasangkala pada pintu Gedong Desa | Foto Weda Adi Wangsa
Pada pintu gedong terdapat gambar bulan, gajah, kuda, dan brahmana. Keempat gambar tersebut memiliki nilainya masing-masing. Bulan memiliki nilai (1), gajah memiliki nilai (8), kuda memiliki nilai (7), serta brahmana memiliki nilai (7). Setelah disusun didapatkan tahun caka 1887, lalu dari tahun 1887 ditambah 78 berjumlah 1955. Berarti pembangunan pura tersebut pada tahun masehi 1955. Ada beberapa kemungkinan, tahun tersebut terjadi pembangunan pada keseluruhan pura atau pada gedong desa saja. Yang jelas tahun tersebut terdapat di pelinggih gedong desa sebagai stana dari Sang Hyang Brahma.
Sedangkan catatan untuk terakhir kali terjadi perehaban dapat dilihat pada gedong puseh yang terletak di timur. Pada tembok gedong tercatat dengan sederhana rehab dilakukan pada tanggal 29 April 1991.
Tanggal terjadi pemugaran pada Gedong Puseh. Foto: Weda Adi Wangsa
Setelah berdiri selama 68 tahun, kini Pura tersebut akan ditata kembali. Menurut Jero Penyarikan I Nyoman Ragil penataan pura dilakukan karena memandang kondisi fisik dari pura saat ini sudah lumayan tua.
Sehingga penting untuk dilakukan perbaikan dan penataan kembali dengan tujuan bangunan-bangunan pura dapat bertahan dalam jangka waktu lebih lama. Serta dana yang digunakan dalam pemugaran ini bersumber dari bantuan hibah Pemerintah Kabupaten Badung sebesar 5.186.000.000.
Jero Bendesa Desa Adat Beringkit mengungkapkan, pengerjaan akan dilakukan selama kurang lebih 6-8 bulan ke depan, sehingga perayaan hari raya Galungan dan Kuningan yang akan datang pada bulan September dirayakan secara sederhana. Karena seluruh gedong dan pelinggih dipugar, maka masyarakat desa menggelar upacara nurunang pada Purnama Sada tanggal 21 Juni 2024.
Upacara nurunang bertujuan untuk memindahkan secara sekala dan niskala seluruh piranti pemujaan yang terdapat didalam bangunan yang akan dipugar. Seluruh piranti tersebut diletakkan sementara di Bale Murda Manik yang berposisi di timur laut atau kaja kangin. Bale ini dipilih karena sesuai serta dipercaya merupakan sebagai tempat paruman agung atau tempat berkumpul para dewata, ungkap Jero Penyarikan Desa Adat Beringkit. Demi menjaga keamanan dan keselamatan dari seluruh piranti pemujaan, prajuru desa mengantisipasi dengan mengajak masyarakat Desa Adat Beringkit mekemit atau berjaga semalam suntuk di areal pura.
Masyarakat Beringkit akan dibagi perbanjar, satu banjar mengerahkan tenaga sebanyak sepuluh orang setiap harinya. Selain itu, juga dipasang papan triplek pada seluruh bagian Bale Murda Manik. Pada sisi kiri merupakan tempat atau setana sementara dari ratu petapakan berupa barong, rangda dan celuluk. Sedangkan pada posisi kanan merupakan setana dari Ida Ratu Gede Desa lan Puseh berupa arca-arca kuno dan daksina linggih. [T]