ENTAH energi apa yang dimiliki para remaja di atas panggung di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Bali, Denpasar, Jumat malam, 21 Juni 2024. Mereka, para remaja itu, memainkan drama tari arja dengan begitu percaya diri seakan-akan mereka penari-penari yang sudah dewasa dan matang.
Mereka adalah remaja yang tergabung dalam Sanggar Kokar Bali. Mereka mementaskan drama tari arja dengan kisah Candradewi.
Terutama aat matembang (menyanyi) para remaja itu begitu menguasai materi, olah vokal yang baik dan yang paling penting adalah menjiwi setiap tembang yang dibawakan.
Dramatari Arja itu mengangkat kisah “Candradewi” ini pentas dengan durasi waktu tiga jam lebih. Adapun kisahnya, Candradewi adalah seorang putri dari Kerajaan Mas Ambara Puri yang dipimpin oleh Ratu Ganda Siniwi. Seluruh isi kerajaan selalu meragukan kebenaran Ganda Siniwi sebagai ibu kandung dari Candradewi.
Itu karena, Ganda Siniwi selalu menyiksa Candradewi dan sangat memanjakan adik dari Candradewi, Arum Manis. Kesedihan Candradewi memuncak di saat cintanya kepada Raden Panji Langen dihalangi oleh Arum Manis yang membuat Ganda Siniwi mengusirnya dari kerajaan. Candradewi boleh kembali kalau bisa membawa emas-berlian dari Hutan Mastulian.
Melalui petualangan Candradewi diiringi oleh embannya yang setia kemudian bertemua dengan Prabhu Kerta Nuedan. Emas-berlian paling berharga, dan kebenaran akhirnya diberikan kepada Candradewi karena keteguhan hati dan memiliki prilaku yang sangat baik. Candradwi kemudian pula membawa berlian itu.
Sesampai di kerajaan, Ibu tirinya tetap saja menyalahkannya karena dianggap menjual diri untuk mendapatkan berlian itu. Ibu tiri lalu menyiksa dan membunuhnya, namun segera dihalangi Prabhu Kerta Nuedan yang ternyata adalah ayah kandungnya. Prabu marah kemudian membunuh ibu tiri Candrawati yang tiada lain adalah istri kedua sang prabu.
Candrawari menghentikan amarah Sang Prabu, karena manusia tidak luput dari kesalahaan, sehingga penting untuk memaafkan. Apalagi, Ibu Tiri mengakui kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi. Pertunjukan usai, penonton pun bubar.
Setiap adegan juga pembabakan yang dimainkan di atas panggung, senantiasa mampu mengundang rasa haru penonton, karena tembang-tembang itu terlantun dengan penuh penjiwaan.
Pada adegan ketika Galuh Candradewi yang disiksa oleh ibu tirinya, suasana di kursi penonton begitu hening. Haru terasa menyeruak di mana-mana. Tembang sedih yang dinyanyikan oleh penari secara pelan, lembut dan memelas itu, membuat beberapa penonton tak kuasa mengeluarkan air mata. Nyoman Atheny Pramasastra Dewi yang menjadi pemeran tokoh Candradewi sungguh menjiwai peran yang dimainkannya.
Apalagi, pada saat kesedihan Candradewi memuncak di saat cintanya kepada Mantri Manis, Raden Panji Langen dihalangi oleh Galuh Liku bernama Arum Manis (adik tirinya). Ibu tiri, Ganda Siniwi, mengusir dari kerajaan dan hanya boleh kembali kalau Candradewi bisa membawa emas-berlian dari Hutan Mastulian. Suasana semakin sedih, penonton pun diam ikut bersedih.
Berbeda dengan adegan sebelumnya, pada saat Candradewi sedang kasmaran dimanja-manjakan, disanjung dalam adegan percintaan bersama Mantri Manis yang diperankan Ni Made Pramitha Prabaswari. Candradewi melantunkan tembang-tembang manis memikat hati. Demikian pula, Mantri Manis yang sangat piawai matembang.
Selain Galuh, Mantra Manis, Mantri Buduh, Desak Rai Limbur dan semua punakawan juga terdengar begiti piawai menyanyikan tembang-tembang dalam kisah Candradewi itu. Tembang-tembang sebagai dialog para penari dalam menyampaikan pesan.
Karena itu, selain dituntut harus bisa berakting, para penari dramatari arja itu juga harus bisa berdialog verbal, berdialog dengan tembang tradisional Bali sambil menari. Tembang dalam opera khas Bali ini secara macapat yang memiliki makna. Dalam pertunjukan dramatari, tembang itu kemudian diterjemahkan oleh punakawan, sehingga makna itu bisa sampai kepada penonton.
Pemeran punakawan Punta dan Wijil, baik itu yang manis (protagonis) maupun yang buduh (antagonis) tampak berusaha sekuat mungkin untuk menciptakan suasana pentas lebih menarik, agar penonton yang hadir tidak meninggalkannya.
Mereka mengemas gending-gending yang dipadu dengan banyolan-banyolan yang inovatif. Pada awalnya, mungkin terasa mentah, tetapi belakangan justru memikat.
Banyolan yang dilemparkan ke penonton, disambut hangat, sehingga mengundang gelak tawa penonton.
Apalagi, gegonjakan punakawan buduh saat mengiringi Mantri Buduh yang diperankan oleh Ni Made Pramitha Prabaswari itu, sungguh atraktif. Dalam adegan sekitar satu jam, mereka mampu menghipnotis penonton untuk larut dalam suasana tawa.
Punta yang diperankan I Ketut Fajar Naranata Sukanadi dan wijil yang diperankan I Kadek Bintang Danuarta begitu lihai di dalam memancing reaksi penonton. Mereka mampu menciptakan suasana pertunjukan lebih komunikatif. Lawakan yang dilemparkan sangat sederhana, dekat dengan kebiasaan sehari-hari, mampu memikat pengunjung semakin banyak.
Satu hal yang menarik lagi, Punta dan Wijil Buduh ini harus mampu menjaga stamina dan sponanitas di tengah keriuhan penonton di Panggung Ardha Candra. Di tengah gemuruh sorak para penonton, yang mirip suara hujan lebat itu, mereka tetap focus pada materi, sehingga penonton tak berpaling. Nafas mereka tampak ngos-ngosan yang berbicara sambil bergerak.
Tak terkecuali pada saat keangkuhan dan kekonyolan Galuh Liku, Arum Manis yang diperankan Ni Kadek Desi diirngi dayang Kenyar (Ni Kadek Ayu Ari Artini) dan Kenyur (Ni Komang Popy Tria Lestari). Ketiga tokoh ini selalu kreatif, dan selalu tanggap lawakan apa yang mesti di diolah kemudian dilemparkan kepada penonton. Mereka mampu menciptakan suasana dengki dan benci.
Penasar Manis (protagonis), I Gusti Putu Gede Sastrawan Wah mengaku, untuk menerjuni kesenian arja khususnya memerankan penasar itu tidak gampang. Walau memiliki modal sebagai dalang, namun memerankan penasar manis itu lebih sulit.
“Dalam tokoh Penasar Manis itu lebih tertata dalam berbahasa juga gerak,” katanya.
Namun, dengan latihan yang serius, ia bisa tampil. Ia lebih banyak belajar di rumah baik tentang vocal ataupu tari. Lalu, untuk mendapatkan bahan lawakan, itu dilakukan secara spontam. Ada yang menggalah dari data sebelumnya.
“Saat ini saya harus menyesuaikan dengan tema PKB Jana Kerthi, maka mengangkat tentang adab manusia, tingkah laku dan cara berpikir,” ujarnya.
Pemeran Limbur, Ni Putu Nessa Shivana Pradnyani, mengatakan sangat bangga bisa tampil di ajang PKB ini. Sebelumnya, biasa nyayah-ngayah untuk mengasah kemampuan.
“Saya sangat suka dengan kesenian klasik ini. Kendala pasti ada, tetapi selalu bersemangat memerankan Limbur,” ucapnya.
Ia mengaku, mesti menguasai dua karakter yang berbeda, yakni kerakrer halus yang menyayangi anak kandung Aru Manis, dan karakter keras kasar kepada anak tirinya Candradewi. Selain itu, ia yang masih muda mesti bisa tampil sebagai orang tua. “Maka itu, saya harus bekerja keras untuk mendapatkkan karakter tua, seperti tokoh limbur,” ujarnya bersemangat.
Vokal dan gerak disesuaikan, sehingga mampu mendapatkan karaker Limbur. Missal, suara dibuat lebih besar dan cara bicara marah-marah, seperti ibu-ibu berkasta. Maka, bergerak dan berbicara harus disesuaikan.
“Tokoh Limbur itu tokoh ratu yang agung berwibawa dan berkarakter manis untuk Arum Manis dan karakter jahat untuk Candradewi. Ada dua karakter,” sebutnya.
Kepala SMKN 3 Sukawati (Kokar dulu), I Gusti Ngurah Made Umbara, ST.,M.Pd mengatakan, dramatari arja ini merupakan kesenian langka. Sebagai sekolah pelestari seni budaya, sehingga SMKN 3 Sukawati diberikan kesempatan untuk tampil membawakan dramatari arja.
“Kami melibatakan dua kompetensi tari dan pedalangan, juga kompetensi karawitan,” ucapnya.
Jumlah penari dramatari arja sejumlah 12 orang dan 13 orang pengiring tabuh geguntuangan. Semua pelaku dalam sajian seni kali ini, adalah siswa. Arja yang identik dengan penari senior dewasa, tetapi Kokar justri menyajikan penari arja remaja. “Itu karena kami memiliki misi pelestari budaya,” tegasnya.
Ketua Sanggar Seni Kokar Bali, I Ketut Darya, SSP mengatakan, di dalam pembelajaran sidswa SMKN 3 Sukawati tidak ada materi arja, tetapi materi vocal itu diberikan kepada semua siswa.
“Kekuatan Kokar itu ada pada tari. Kalau mempelajari arja maka yang terpenting adalah vocal. Nah, ide membentuk arja Kokar ini dari kepala sekolah, dan baru berjalan setahun,” paparnya.
Dukungan untuk memunculkan Arja di Kokar datang dari Prof. Made Bandem, Prof. I Wayan Dibia dan Prof. Sedana. “Kita membangkitan arja, karena grafiknya itu menurun terus. Maka membangkitkan kesenian ini dimuali dari remaja. Cara menarik bakat anak-anak untuk belajar dramatari arja terus kami lakukan. Dramatari arja dilestarikan dan dikembangkan, sehingga grafiknya bisa naik,” katanya. [T][Pan]
Editor: Adnyana Ole