TENGOKLAH keadaan sehari-hari di sekitar lingkungan Anda. Entah lingkup keluarga, banjar (RT/RW), hingga desa atau kelurahan. Adakah permasalahan sosial budaya, ekonomi, atau lingkungan hidup yang menganggu pikiran Anda?
Jika jawabannya tidak ada, maka membaca artikel ini adalah aktivitas yang hanya membuang-buang waktu saja.
Jika jawabannya adalah ada, maka coba renungkanlah sejenak. Apakah kerisauan yang Anda rasakan sekiranya dirasakan juga oleh individu lain dari desa tetangga? Atau oleh warga kecamatan sebelah? hingga mungkin masyarakat lain dari kabupaten atau kota di Bali?
Dari pertanyaan lanjutan di atas. Jika Anda menganggap kegundahan yang sedang dirasakan tidak menjadi permasalahan pada daerah lain di Bali, maka artikel ini juga tidak ditujukan sebagai bahan pertimbangan spesifik terhadap problematika yang sedang Anda pikirkan. Terima kasih telah bersedia untuk sejenak berkontemplasi.
Apabila Anda menjawab dua pertanyaan tersebut dengan iya secara beruntun, marilah kita saling bertukar keresahan. Diskusi kali ini akan dikemas dalam beberapa artikel pendek untuk sebisa mungkin mempertahankan minat dari pembaca. Sekadar saran, bacalah artikel ini sembari meneguk kopi, teh, atau air putih saja, serta menikmati kudapan yang mungkin ada dalam jangkauan jemari anda.
Adalah artikel dari guru Sugi Lanus yang berjudul “Belajar dari Penertiban Jogéd Era Belanda” yang mengilhami lahirnya tulisan ini (https://tatkala.co/2024/04/23/belajar-dari-penertiban-joged-era-belanda). Dalam artikelnya, Sugi Lanus menyebutkan bahwa berdasarkan arsip kolonial Belanda pada tahun 1891, dibuat keputusan yang mengatur perizinan pementasan hiburan tradisional jogéd. Peraturan ini ditujukan agar pertunjukan jogéd berlangsung tertib sehingga mencegah kerusuhan yang acapkali terjadi saat pementasan jogéd kala itu. Peraturan kompeni tersebut disertai dengan sanksi yang apabila dilanggar maka izin sekaa jogéd akan dibekukan.
Permasalahan meningkatnya kasus jogéd jaruh belakangan ini ditengarai karena tidak adanya peraturan daerah dari bupati/wali kota dan gubernur yang menugaskan aparat desa atau aparat hukum untuk menindak tegas apabila terjadi pementasan jogéd jaruh. Berkaca dari permasalahan jogéd jaruh, Sugi Lanus menganggap saat ini Bali mengalami krisis kepemimpinan, khususnya karakter pemimpin yang visioner dan tegas. Defisit karakter pemimpin di Bali saat ini diibaratkan sebagai Bali yang tidak punya “orang tua”.
Kepemimpinan dalam dimensi ruang-dan-waktu
Terdapat konsep ruang-dan-waktu dalam analisis yang digunakan Sugi Lanus untuk menarik benang merah antara pementasan jogéd dengan hilangnya sosok pemimpin di Bali. Meski dimensi ruangnya adalah konstan, yakni wilayah Bali. Namun, sudut pandang waktunya sangat jelas berbeda, terpaut >100 tahun antara Bali abad ke-20 dan masa sekarang.
Dalam ilmu fisika klasik, konsep ruang memiliki maksimal tiga dimensi yakni panjang, lebar, dan tinggi. Membingungkannya, fisika kuantum menjelaskan terdapat lebih dari 10 dimensi ruang, bahkan string theory menyatakan bahwa konsep ruang bisa dianalisis dalam 25 dimensi. Sedangkan konsep waktu diwakili oleh satu dimensi saja, karena waktu hanya bisa melesat ke depan seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Kepemimpinan adalah konsep fleksibel tentang nilai-nilai keutamaan seorang pemimpin. Fleksibel karena nilai-nilai yang digunakan untuk merepresentasikan pemimpin berbeda-beda antar komunitas masyarakat. Warga negara Amerika Serikat (AS) tentu memiliki preferensi yang berbeda tentang kriteria calon presiden yang akan mereka pilih tahun 2024 ini, jika dibandingkan dengan harapan masyarakat Tiongkok tentang karakteristik presiden yang akan meneruskan Xi Jinping jika nanti ia mundur dari jabatannya.
Siapapun yang akan menjadi pemimpin AS berikutnya, satu hal yang pasti adalah rakyat disana akan menuntut presidennya melindungi nilai-nilai yang menyangkut tentang kebebasan berekspresi dan demokrasi. Di sudut belahan dunia yang lain, pemimpin yang bisa memprioritaskan kestabilan ekonomi adalah karakteristik umum yang diharapkan oleh rakyat Tiongkok untuk menggantikan Xi Jinping.
Selain itu, konsep kepemimpinan juga bisa beragam meski dalam komunitas masyarakat yang sama namun terpaut perbedaan zaman yang signifikan. Masyarakat Yunani Kuno zaman negara-kota seperti Athena/Sparta yang akrab dengan perang dan ekspansi militer Kekaisaran Persia, tentu memiliki konsep kepemimpinan yang berbeda, jika dibandingkan dengan masyarakat Yunani era Uni Eropa saat ini yang mengalami krisis ekonomi dan ekspansi kapital dari negara lain. Oleh karena konsep kepemimpinan yang bersifat fleksibel, maka diskursus tentang kepemimpinan di Bali seyogianya dianalisis menggunakan tolok ukur ruang-dan-waktu yang spesifik.
Hal pertama yang harus didefinisikan sebelum membahas topik Bali dan kepemimpinan adalah nilai-nilai kepemimpinan yang akan didedahkan. Masyarakat Bali mengenal filsafat Asta Brata yang kerap dijadikan rujukan ketika berbicara tentang pemimpin. Asta Brata adalah delapan sifat pemimpin yang pertama kali dimuat dalam Itihasa Ramayana dan terus direproduksi pada manuskrip-manuskrip tradisional. Selain Asta Brata, ada juga filsafat Panca Dasa Pramiteng Prabhu yang menyebutkan 15 karakteristik pemimpin yang dikaitkan dengan Patih Gajah Mada era Majapahit.
Sebagai catatan, filsafat tradisional Bali yang dimaksudkan di sini bukanlah ekslusif tentang pemikiran yang tumbuh original di Bali saja, tetapi merupakan kelanjutan dari filsafat Hindu Jawa abad Pertengahan (abad ke-5 hingga ke-15 Masehi) hingga buah pemikiran Hindu yang tumbuh di India dan menyebar hingga ke Nusantara sekitar satu milenial sebelumnya.
Bersyukurnya guru Sugi Lanus memiliki latar belakang akademik dan profesional yang berfokus pada pembacaan manuskrip-manuskrip tradisional Bali. Sehingga otoritasnya terhadap penafsiran filsafat tradisional tidak perlu diragukan lagi validitasnya. Sebagai keterangan, latar belakang akademik saya adalah bidang kedokteran. Oleh karena itu, saya akan mengutip analisis dari Sugi Lanus yang memberikan penekanan kepada dua karakter yang telah disebutkan sebelumnya, yakni ketegasan dan wawasan (visi) sebagai pengejawantahan dari filsafat-filsafat tradisional tentang kepemimpinan.
Tentu masih ada banyak kajian dan pemikiran selain filsafat tradisional Bali, seperti kajian-kajian yang mengadopsi alam pikiran Yunani, Asia Timur, Jazirah Arab, hingga filsafat modern pasca Renaisans di Eropa. Pembatasnya adalah dimensi ruang. Saya hendak menggunakan karakter tegas dan visioner untuk kemudian menerjemahkannya dalam dua dimensi ruang. Pembaca bisa saja mengganti keduanya dengan delapan dimensi utuh Asta Brata, atau 15 dimensi dari Panca Dasa Pramiténg Prabhu, atau filsafat-filsafat lain yang tak lebih dari 25 dimensi.
Bali defisit pemimpin tegas dan visioner
Gambar 1. Perubahan karakter penguasa di Bali era kolonial dan saat ini ditinjau dari penyelenggaran pertunjukan jogéd
Bisa kita perhatikan dengan saksama ilustrasi di atas. Titik koordinat pada sumbu y menilai ketegasan dari penguasa. Garis kuning menggambarkan nilai dari penguasa Belanda tahun 1891, sedangkan garis merah menggambarkan nilai dari pemerintah provinsi Bali saat ini. Oleh karenanya, poin ketegasan untuk pemerintah Bali sekarang jauh lebih rendah nilainya jika dibandingkan dengan penguasa kolonial karena saat ini tidak ada peraturan serta sanksi tegas dari pemerintah kabupaten/kota atau provinsi yang mengatur pementasan jogéd.
Adapun sumbu x menggambarkan visi dua penguasa yang sedang dibandingkan. Sekali lagi kuning menggambarkan kompeni, sedangkan merah adalah ilustrasi untuk pemerintah Bali saat ini. Nilai pemerintah Bali era sekarang lebih rendah dari zaman penjajahan karena gubernur Bali atau bupati/wali kota saat ini tidak melihat adanya urgensi untuk mengatur pementasan jogéd. Sedangkan pemerintah kolonial mengatur pementasan jogéd yang bertujuan untuk mencegah konflik sosial berskala kecil. Adapun perbedaan waktu antara tahun 1891 sebagai referensi awal (sehingga nilainya adalah nol), dengan Bali saat ini yang disimbolkan dengan garis merah pada sumbu z.
Lingkaran jingga adalah representasi dari jogéd kolonial tahun 1891, sedangkan lingkaran merah adalah gambaran dari jogéd jaruh yang marak belakangan ini. Jika ditarik garis dari lingkaran jingga ke lingkaran merah, maka terlihat jelas arah garisnya adalah menurun. Hilangnya ketegasan dan visi dari para pemimpin di Bali saat ini mengakibatkan dekadensi (kemerosotan) pertunjukan jogéd, entah dari segi estetika maupun etika, jika dibandingkan dengan pementasan jogéd abad ke-20. Oleh karena itu, saya sepakat dengan simpulan dari Sugi Lanus bahwasannya sikap acuh tak acuh pemerintah berkontribusi signifikan terhadap fenomena jogéd jaruh yang sedang terjadi.
Pertanyaan lanjutannya kemudian, apakah krisis kepemimpinan bisa digambarkan hanya dari sudut pandang pementasan jogéd saja?
Besar harapan saya para pembaca menganalisis keterkaitan antara permasalahan yang sedang dipikirkan dengan karakteristik dari pemimpin Bali dewasa ini. Anda bisa menggunakan referensi waktu yang relevan dengan dengan problematika yang sedang dipikirkan. Entah dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun terakhir, Orde baru atau Orde Lama, zaman kolonial, ataukah mundur jauh lebih ke belakang saat era kerajaan pra/pasca penaklukan Majapahit, dst. Sehingga anda pun memiliki pendapat pribadi: apakah Bali mengalami paceklik pemimpin yang tegas dan visioner? Benarkah Bali kehilangan sosok panutan, selayaknya anak yang kehilangan teladan dari orang tuanya? [T]