DEWI Sri atau sering juga disebut Bhatari Sri, Sanghyang Sri adalah sakti dari Dewa Wisnu atau Bhatara Wisnu, Sanghyang Wisnu.
Umat Hindu percaya Dewa Wisnu dan dan saktinya merupakan salah satu manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai pelihara, penjaga, dan pelindungi dunia.
Sebutan Dewa/Dewi bermakna sinar atau cahaya sedangkan sebutan Bhatara/Bhatari bermakna perbuatan sedangkan Sanghyang bermakna esensi/suksma. Kalau disamakan dengan seorang manusia, maka Dewi Sri adalah cahaya antah karana sarira, tubuh penyebab, Bhatari Sri adalah Stula Sarira, tubuh fisik, dan Sanghyang Sri adalah Suksma Sarira, tubuh nafas.
Pada saat Dewi Uma ditugaskan turun ke dunia, sebagai orang bhuta dan suaminya Dewa Iswara ditugaskan turun sebagai gajah, maka konon kahyangan menjadi gempar. Para Dewa banyak yang tak setuju untuk turun ke bumi menitis menjadi manusia biasa.
Diantara para Dewa dan Dewi disertai para Apsara-Apsari yang ikut turun ke bumi adalah Dewa Wisnu, tapi sayangnya selama berada di bumi Dewa Wisnu tak bisa melaksanakan tugasnya sebagai penjaga, pelindung dan pemelihara bumi, karena saktinya Dewi Sri diturunkan ke bumi dalam kondisi tidur. Ya Dewi Sri, yang bermakna cemerlang, bersih itu telah lama tertidur, jiwa raga dan pikirannya dipenuhi oleh mimpi-mimpi.
“Mahadewa memang aneh, selalu tak terduga dan penuh kejutan, ” desir lembut Dewa Wisnu dari bibirnya yang selalu mengungging senyum itu.
Walaupun nyaris merasa dirinya sebagai pengangguran Dewa Wisnu tak kehabisan akal. Agar bisa menjalankan peran sebagai penjaga, pemelihara pelindung bumi, Dewa Wisnu bekerja sebagai petani. Berbagai macam tananam ditanamnya.
Saat menanam Padi dan melihat bulir-bulir pada yang berma, Dewa Wisnu ingat jadi ingat pada saktinya Dewi Sri, yang juga disebut sebagai Dewi Padi. Bulir-bulir padi itu terlihat seperti kelopak bola mata Dewi Sri yang terpejam. Pada saat-saat seperti itu Dewa Wisnu hadir dalam mimpi Dewi Sri sebagai anak petani yang memandikan kerbau, duduk di atas punggungnya sambil meniup seruling yang mengungkap kerinduan hatinya.
Suara seruling yang mendayu-dayu justru membuat Dewi Sri semakin masuk ke dalam mimpi-mimpinya.
“Batang-batang padi itu terkecap manis. Padi-padi yang menguning seperti emas, dan teriakan para pengusir burung, seperti panggilan sorga yang sangat jauh, ” Dewi Sri terharu, dua titik air bening menetes dari kedua sudut matanya.
“Sttt junjungan kita akan segera terbangun, jangan berisik, ” bisik-bisik Apsara-Apsari penjaga.
“Tanah tanpa air, tak bisa menumbuhkan pohon-pohon. Air tak dialirkan tergenang, tempat bersarang bakteri penyakit. Air tanpa dijaga, dikelola, akan diperebutkan, mendatangkan perselisihan, keributan, ” Dewa Wisnu petani tercenung. Mengajak para petani berkumpul, berdiskusi, mencari solusi.
“Biasanya saya menanam padi perlu waktu tiga hari. Sekarang dibantu dua orang, menanam padi bisa sehari,” ucap seorang petani.
“Kalau dibantu 5 orang, setengah bisa selesai, ” tambah yang lain.
“Membangun rumah juga jadi cepat karena dibantu banyak orang. Pasti seru jika kita bisa selalu bersama, ‘” yang lain menyimpulkan.
Para petani membuat perkumpulan, membagi air dengan adil, mengatur jenis tananam sesuai musim.
Bekerja bersama, dengan gembira, sambil menyanyi, menari atau membuat cerita lucu. Para istri petani tak mau kalah, berlomba membuat makanan enak, aneka kue, berbagai jenis anyaman juga tenunan. Dewa Wisnu, petani bersemangat memberi insprirasi, Apsara-Apsari membantu mengajarkan seni, teknologi, dan strategi.
Dewi Sri masih bermimpi, dua sejoli, suami istri, dipuja-puji, dibuatkan cili.
Di Bali, sorga diturunkan ke bumi. Dewi Sri dibuatkan candi, diperbesar karena sumbangan politisi, dengan upacara berbiaya tinggi, seolah anugrah bisa dibeli, lupa karma menanti, tanpa terkecuali.
Dewi Sri gelisah, mimpi sorga dalam kobaran api. Musuh pikiran yang tak bertepi, semakin menjadi-jadi. Beritual untuk agar dianggap paling berpunya, paling benar, paling suci, paling mulia, paling baik, paling berjasa, dan paling alami. Menipu diri, membohongi nurani demi gengsi.
Tubuh Dewi Sri makin beku serupa Gunung Emas tinggi berkilau hanya membuat silau.
Apsara-Apsari panik manggil-manggil Dewa Wisnu, memujanya.
Tapi Dewi Sri tertidur lagi
tanpa mimpi. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, hampir seribu tahun.
Hampir seribu tahun di bumi, Dewa Wisnu juga hampir melupakan tujuannya ke Bumi. Sebagai manusia bumi biasa, Dewa Wisnu hampir melupakan hakekatnya yang sejati, sebagai Dewa, Bhatara dan Sanghyang, Dewa Wisnu juga lupa bahwa tanpa Dewi Sri sebagai tubuh fisik, Kedewaan dan Kebhataraan Wisnu tidak akan terlihat.
Mahadewa tersenyum di angkasa, Dewa Wisnu tersadar akan kemahadewaan yang ada pada dirinya. Saatnya dia meniupkan nafas pada Dewi Sri, tubuh emas berkilau yang lama tertidur.
Sangkakala bergema, Dewi Sri terbangun dari tidur panjangnya. Saatnya Dewa Sri Sedana, kembali memutar kala cakra. [T]
[][][]