ENTAH mengapa, seorang kawan memasukkan saya dalam WhatsApp Group (WAG) yang berisi alumni sebuah faultas di sebuah universitas di Bali. Padahal saya bukan termasuk alumnus universitas tersebut. Bisa jadi, kawan saya bermaksud agar saya tahu tentang apa dan bagaimana kehidupannya dulu sebagai mahasiswa yang aktif bergiat di organisasi kampus, menjadi aktivis, berikut kisah dan cerita yang menyertai itu semua.
Karena dari obrolan dalam WAG itu, saya tahu sebagian besar alumnus itu dulunya aktif bergiat di organisasi kampus, menjadi aktivis,
Selang beberapa minggu berlalu, saya tidak lantas keluar dari WAG itu, memilih menjadi penyimak percakapan mereka. Beberapa kali ada yang mengirim foto-foto saat mereka menjadi mahasiswa, seperti sebuah nostalgia; dilanjutkan dengan obrolan tentang si A yang dulu begini, atau si B yang dulu begitu. Mereka kini telah berkeluarga, punya 2-3 anak, sementara kenangan masa lalu menyeruak menjadi hiburan di kala senggang di malam hari saat grup menjadi ramai.
Satu-dua anggota yang dulu dikenal sebagai ‘macan’ kampus, sebutan untuk ‘aktivis’, jika dulu banyak berdiskusi tentang kondisi negeri dengan teori-teori filsafat dari buku-buku ‘kiri’, sekarang obrolan lebih banyak tentang pekerjaan atau bisnis yang digeluti. Obrolan tentang pemikiran Karl Marx, Nietzsche, atau Tan Malaka pun berubah menjadi percakapan tentang ternak ikan lele yang punya prospek bagus, seiring menjamurnya warung lalapan yang makin digemari warga kota karena harganya terjangkau.
Mereka yang dulu yang dikenal ‘garang’, protes ini-itu, setelah tamat kuliah dan berkeluarga, aktivitas pun berubah—lebih memikirkan keluarga yang kebutuhannya bertambah banyak seiring waktu. Idealisme pun mesti bergeser menjadi pragmatisme; gaji atau penghasilan untuk menghidupi keluarga. Tidak ada lagi pertemuan rutin untuk berdiskusi atau sekadar ngopi dan ketawa-ketiwi, karena waktu dihabiskan untuk bekerja pada perusahaan atau membangun usaha sendiri dalam berbagai bidang. Kehidupan telah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu.
Ada lagu bagus dari Iksan Skuter, musisi Indonesia yang sedang naik daun yang cocok menggambarkan keadaan ini. Lagu itu berjudul ‘Pending Dulu’, bercerita tentang tokoh ‘aku’ yang digambarkan sebagai ‘aktivis’ dan mengajak teman-temannya untuk merapat, karena melihat keadaan yang ‘genting dan membuat pusing’. Ia pun bertemu teman-temannya, hingga handphone-nya berbunyi–ada telepon dari istrinya yang menyuruhnya pulang karena hari sudah cukup malam. Tidak lupa sang istri menitip beli martabak kesayangan. Sang ‘aktivis’ pun dengan berat hati mengatakan kepada teman-temannya bahwa ia mesti pamit dulu.
Revolusinya tidak jadi
Karena belum dikasih izin istri
Revolusinya di-pending dulu
Istri bilang bisa lain waktu
Lagu ini dengan sangat baik menggambarkan kehidupan para mantan mahasiswa yang juga (mantan) aktivis yang kini telah berkeluarga, dengan dinamika masing-masing. ‘Revolusi’ yang menjadi kata ‘sakral’ kini mesti di-pending, ditunda dulu hanya karena istri (yang) mengharuskan pulang. Bisa lain waktu, oleh banyak sebab —salah satunya, babak kehidupan yang berbeda dari apa yang dulu digeluti sewaktu menjadi mahasiswa dan ‘macan kampus’.
Reuni atau apalah namanya, pun bisa menjadi (hanya) sekadar nostalgia tentang kebesaran dan kejayaan masa lalu. Kenangan yang diulang kembali sebagai bagian dari masa kini yang nyata dan mesti dihadapi. Bisa jadi sama, atau sebaliknya sangat berbeda dari teori dan pengalaman di kampus. Pencapaian orang kini hanya dilihat dari materi semata; rumah, mobil, gaji bulanan dengan besaran tertentu. Kita telah menjadi begitu materialis dan amat pragmatis.
Mungkin itu juga yang dirasakan Soe Hok-Gie, mahasiswa dan aktivis pada masa Orde Lama. Saat pemerintahan berganti, beberapa kawan-kawannya semasa kuliah dulu lalu terpilih menjadi anggota DPR. Berpakaian necis, rapi, dan wangi. Soe Hok-Gie sendiri memilih menjadi dosen di almamaternya, jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dalam film GIE (2005) tergambar bagaimana ia merasa terasing dan kesepian; mahasiswa tidak lagi sama dengan sewaktu ia kuliah dulu,. Kehilangan daya kritis, datang ke kampus hanya untuk mengikuti pelajaran demi memenuhi standar agar bisa mendapat nilai bagus agar cepat lulus.
Soe Hok-Gie menjadi amat frustrasi melihat itu semua. Mendaki gunung menjadi hiburan, untuk tidak menyebutnya sebagai sebuah pelarian, dari krisis jiwa yang ia alami dan rasakan. Hingga dirinya meninggal saat mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur pada 16 Desember 1969 dalam usia yang teramat muda, 26 tahun.
Kisah hidup Soe Hok-Gie bisa menjadi gambaran bagaimana kehidupan mahasiswa-aktivis: mesti siap kecewa dengan keadaan dimana idealisme yang dulu dipegang erat kini menjadi berubah seiring waktu berjalan. Terlebih saat para aktivis kemudian menjadi pejabat yang tidak jarang melakukan apa yang dulu mereka anggap ‘kotor’ dan ‘menjijikkan’: korupsi atau penyalahgunaan jabatan. Wallahualam.
Berikut adalah lirik lagu “Pending Dulu” karya Iksan Skuter. Anda bisa mencarinya di kanal YouTube jika ingin mendengarkan lagu tersebut. Semoga Anda suka. Salam,
PENDING DULU
Keadaan sudah genting
Makin kacau bikin pusing
Marabahaya makin mendekat
Kawan-kawan kuajak merapat
Handphone berbunyi, telepon dari sang istri
Dia berkata harus cepat pulang
Karena hari sudah cukup malam
Sekalian juga titip beli martabak kesayangan
Maafkan aku kawan
Kurasa aku harus pamit dulu
Revolusinya tidak jadi
Karena belum dikasih izin istri
Revolusinya di-pending dulu
Istri bilang bisa lain waktu
Revolusinya tidak jadi
Karena belum dikasih izin istri
Revolusinya di-pending dulu
Istri bilang bisa lain waktu
BACA artikel lain dari penulisANGGA WIJAYA