Pariwisata, menurut Pendit (1994), adalah kegiatan orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek, ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggalnya dan tempat bekerjanya, serta di luar kegiatan-kagiatan mereka, dan selama di tempat tujuan mempunyai berbagai maksud, termasuk kunjungan wisata.
Setelah 15 tahun saya menamatkan pendidikan di salah satu kampus negeri di Bali, saya kembali mengingat salah satu tugas mata kuliah “Pariwisata 1” tentang “rumusan masalah dan solusinya”.
Sebagai anak dari sebuah desa terpencil dan berjarak lumayan jauh, kurang lebih 3 jam dari Bandara I Gusti Ngurah Rai, saya membuat rumusan masalah tentang “Bagaimana pariwisata memberi dampak bagi masyarakat desa?”
Dalam hal itu, tentu saya merujuk pada desa tempat tinggal dan asal saya, yaitu Desa Les di Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali. Orang Bali yang mengenal Desa Les tentu saja jumlahnya tidak banyak pada medio tahun 2000-an.
Penulis bersama anak berwisata di daerah Tegallalang, Gianyar
Tetapi beberapa tamu luar negeri sudah beberapa memasuki air terjun “Yeh Mampeh” di Desa Les kala itu. Mungkin karena fenomena seperti itu, pariwisata sangat sulit dipisahkan dengan orang dari luar negeri. Seakan jika orang Bali berwisata ke desa lain, atau orang luar pulau datang ke Bali dianggap bukan wisatawan.
Setidaknya itu yang sangat sering saya lihat dan saya rasakan jika berkunjung ke beberapa tempat wisata di seantero Bali. Senyumnya beda, suaranya beda meskipun memang kita berbeda.
Tetapi memang begitulah adanya, sangat sulit memang memahami bahwa pariwisata adalah sebuah kegiatan, yang disadari atau tidak, yang sudah kita lakukan bahkan setiap hari. Mengunjungi teman di luar rumah kita, di luar desa, luar kota, bahkan di luar pulau itu adalah Pariwisata. Setidaknya menurut Pendit, 1994.
Jumat, 24 Mei 2024 saya menginap di salah satu desa di Kecamatan Tegallalang, Gianyar Bali. Tepatnya di Desa Kenderan.
Sawah, telabah (selokan) menjadi daya tarik wisatawan, baik dalam maupun luar negeri. . Setidaknya sawah masih terlihat lebih banyak dibandingkan penginapan.
Menginap di tempat yang dikelola oleh penduduk lokal adalah salah satu cara saya untuk membelajarkan diri untuk bisa diketoktularkan di Desa Les, desa saya sendiri. Jika di Desa Les tidak ada padi, setidaknya kita punya tanaman lain, begitulah kira-kira.
Bergelantungan di atas persawahan di Tegallalang
Yang menarik adalah di tengah semua hal digaungkan atas nama “Pariwisata Hijau”, tempat di wilayah Tegallalang ini mungkin menjadi salah satu yang sudah melakukannya. Sawah masih terjaga, beberapa bangunan kayu dan sistem irigasi masih mengalir.
Kamar-kamar kayu hanya menjadi bonus saja. Suara kodok dan semua penghuni sawah hidup berdampingan dengan pengunjung.
Sebelum petang menyambut, saya berkeliling jalan kaki beberapa kilometer menyusuri jalan desa yang masih kanan dan kirinya sawah. Warga desanya masih menjadi tuan desa dan bisa bersenang-senang. Tidak ada berdesak-desakan antara pejalan kaki dan kendaraan.
Setidaknya suasana setahun lalu masih tetap sama. Terbesit pertanyaan bagaimana 5 tahun lagi? Semoga saja tetap sama.
Tetapi teringat obrolan bersama seorang kawan sambil ngopi di pusat daerah Tegallalang itu. “Pasti akan berubah karena uang adalah tuan rumah dan nikmati saja,” katanya.
Ada benarnya meski itu dilema. Kebetulan saja teman saya ini adalah seorang pelantun lagu “Sebelum Bali Hilang”. Waduh. Sudah terjadi atau akan terjadi atau sudah terjadi berulang-ulang kali?
Persawahan Tegallalang
Dan saya masih tetap percaya selama ada manusia, selama itu ada pariwisata. Nikmatilah sebisanya, berjuanglah sekuatnya dan berwisatalah, setidaknya pergi ke kebun, ke pantai, ke bukit , ke sungai, ke danau atau merenung. Karena itu semua perkara story telling saja.
Jika ke kebun dan langsung memasak disebut farm to table, ke bukit atau ke hutan disebut forest healing, merenung itu disebut semacam retreat. Tinggal pilih saja, selamat berakhir pekan kawan-kawan. [T]