Judul : Yang Menyublim di Sela Hujan
Penulis : Fawaz Al-Batawy
Penyunting : Makhfud Ikhwan
Penerbit : EA BOOKS
Cetakan : Kedua, Juni 2018
ISBN : 978-602-1318-49-2
Halaman : 313
“SETIAP ORANG MENJADI GURU, SETIAP RUMAH MENJADI SEKOLAH” –Ki Hadjar Dewantara
Kalimat di atas dikutip dari Ki Hadjar Dewantara. Sengaja saya kutip dari perkataan bapak pendidikan kita, karena buku “Yang Menyublim di Sela Hujan” karya Fawaz Al-Batawy sangat erat kaitannya dengan pendidikan khususnya konsep yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara.
Buku “Yang Menyublim di Sela Hujan” merupakan buku catatan yang ditulis oleh Fawaz saat dia bertugas di Mumugu Batas Batu, Kabupaten Asmat. Dalam catatan tersebut terdapat cerita menarik terkait pengalaman belajar mengajar bersama anak-anak murid Sokola Asmat, berinteraksi dengan murid-murid dan warga, permasalahan keseharaian di tanah timur sana yang patut untuk kita pelajari dari sisi positifnya.
Penulis membagi tiga bab dalam buku tersebut. Pertama, kisah menuju lokasi Mumugu Batas Batu. Kedua, sebuah catatan geografis di tanah Papua. Ketiga, memuat pegalaman belajar-mengajar murid atau sebut saja anak suku Asmat.
Akhir-akhir ini masih menjadi berita hangat kalau berbicara tentang anak Papua, khUsusnya kasus sparatisme dan rasisme. Selama ini sebagian besar masyarakat Indonesia di luar Papua mengalami slippery slope, yakni kesalahan berpikir. Mereka selama ini memandang Papua primitif, miskin, dan tidak berpendidikan. Justru hal tersebut berbalik arah, karena mereka tidak pernah memandang realita sebenarnya di tanah orang timur tersebut. Hanya saja mendengarkan isu yang tidak didukung oleh bukti yang ada.
Dari buku “Yang Menyublim di Sela Hujan” banyak poin penting tentang pendidikan dan kehidupan anak Papua yang mestinya bisa kita tiru.
Bincang-bincang tentang pendidikan Sokola Asmat di Mumugu Batas Batu dalam buku tersebut ada banyak hal yang dapat direnungkan kembali, bagaimana sebuah stereotip yang tidak asing lagi di dunia pendidikan. Marilah mulai dari tentang bapak pendidikan kita selama ini.
Ki Hajar Dewantara adalah bapak pendidikan, entah dari sisi mana kenapa beliau dikatakan bapak pendidikan, unek-unek tersebut diadaptasi dari tulisan Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto dalam buku “Sekolah Biasa Saja” yang penulisnya Toto Rahardjo. Pertanyaan tersebut begitu pantas untuk dipertanyakan kembali, dengan alasan karena konsep yang digagas Ki Hajar Dewantara prinsip Taman Siswa tidak pernah diterapkan dalam kurikulum pendidikan saat ini. Justru malah orang yang selama ini kita anggap pendidikannya tidak maju dan masyarakat primitif malah yang menerapkan konsep tersebut.
Tapi, walaupun demikian tidak semua seperti itu. Dengan kata lain, ada segelintir pendidikan yang dapat dikatakan menerapkan konsep Ki Hajar Deawantara, salah satunya seperti yang diterapakan Fawaz di Sokola Asmat.
Salah satu catatan Fawaz dalam bukunya tersebut, justru saya banyak menemui proses belajar anak-anak suku Asmat tidak menitikberatkan pada pendekatan perintah, sangsi, dan kurikulum bak model imperialisme. Karena, hal tersebut tidak sesuai dengan budaya masyarakat timur khususnya daerah Asmat di Papua. Mari perhatikan pendidikan saat ini di sudut kota sebagi pendidik layaknya seperti penjajah; membentak-bentak anak didiknya. Maka dari itu, konsep Ki Hajar Dewantara tersebut justru berjalan di Papua yakni kebebasan dalam belajar; menemukan sendiri karakteristiknya; kemerdekaan; dan tak lupa sebagai pendidik menerapkan humanisasi.
“Pendidikan Adalah Hak, Bukan Kewajiban” Itu adalahsalah satu sub judul dalam buku “Yang Menyublim di Sela Hujan”. Saya rasa sangat menarik, selama ini dalam pendidikan sangat dikenal dengan istilah “tanam pantat” karena di manapun sekolah didirikan menyediakan kuris, meja, dan sebagainya. Selain itu, aturannya siswa di belakang sedangkan guru pasti di depan.
Tapi, tidak dengan anak Papua khsusnya anak suku Asmat saat belajar bersama Fawaz. Mereka justru tidak betah dan tidak tenang duduk di kursi, melainkan mereka lebih suka duduk di hamparan tanah. Mereka dapat dikatakan belajar tanpa kursi, meja, dan bahkan ruang kelas. Sebenaranya itu yang menjadi bukti bahwa anak-anak Asmat di Papua tidak dapat ditaklukkan dengan label-label penghakiman kebiasaan setempat yang menganggap lebih buruk dan terbelakang.
Nah, sekarang dengan kejadian seperti demikian justru konsep “Taman Siswa” dijalankan di tanah Papua itu sendiri. Lantas sejenak berpikir ke mana mereka yang menganggap orang timur lebih terbelakang?
Jika pendidikan justru mengalir dalam tekanan setiap pertemuan belajar, maka jelas taman siswa sudah tidak lagi ada, bak sekolah rakyat yang tak tersentuh. Jika demikian, justru lebih cocok untuk mereka bapak pendidikanya adalah Herman Willem Deandels saja, dengan pertimbangan karena dia penguasa Nusantara pertama menciptakan sistem sekolah.
Dari buku “Yang Menyublim di Sela Hujan” banyak hal langka dan jarang kita temui selama ini. Hal inilah saya rasa menjadi keunggulan dari catatan yang ditulis oleh Fawaz. Dalam setiap tulisan yang diulas oleh Fawaz dalam buku tersebut asik untuk dibaca bagaimana kehidupan orang timur selama ini. Tapi, jika pembaca jeli dan berpikir kritis sebenarnya ada representasi yang dihadirkan dalam setiap catatan, semacam cerminan pendidikan di Sokola Asmat, dan menjadi kritik terhadap pendidikan yang monoton.
Pendidikan di Papua sangat kontekstual, berbeda dengan pendidikan yang ada di kota-kota maju pada umumnya yang kadang mengajarkan ilmu pergi. Setiap apa yang diajarkan Fawaz biasanya dia benar-benar mencontohkan secara langsung dari alam semisal berhitung dan sebagainya.
Setiap pelajaran yang diterima anak-anak Sokola Asmat pasti diterapakan dalam kehidupan mereka bersama keluarga. Satu yang unik dalam buku tersebut, yakni timbal balik antara anak-anak suku Asmat yang terkadang mengajarkan Fawaz beberapa ilmu berburu. Jika kita melihat realita saat ini mana ada guru yang meu belajar kepada siswa! Pada intinya dapat disimpulkan pendidikan Paulo Freire diprioritaskan oleh Fawaz di tanah Papua.
Hidup dalam Ketergantungan. “Yang Menyublim di Sela Hujan” membuka rekayasa sosial selama ini menjadi stereotip bahwasannya orang Papua miskin dan acap kali kelaparan melanda sungguh memuakkan. Mari kita perhatikan, di tanah timur tersebut terdapat hasil alam sangat melimpah yang memungkinkan jika dimakan tujuh tutunan tidak akan habis sepertihalnya sagu. Di sisi lain laut yang menyimpan macam-macam hasil laut.
Dari cerita yang diutarakan Fawaz dalam bukunya, saya rasa ada program pemerintah yang kurang tepat. Pertama, semisal masuknya sumbangsih beberapa barang dari pemerintah contoh skala kecilnya sabun. Dulu sebelum ada sabun mereka menggunakan minyak babi untuk melumuri tubuhnya, tapi sekarang tidak karena diiming-imingi kotor dan sebagainya.
Justru program pemerintah bebalik ke arah negataif. Karena dengan mereka setiap kali membersihkan tubuhnya menggunakan sabun justru saat berburu di hutan tidak lagi seperti dulu, karena bau yang biasa dicium oleh binatang buruan adalah minyak babi justru tidak seperti sedia kala. Kedua, masuknya sumbangsih sepatu yang diupayakan agar memakai sepatu apa lagi saat sekolah.
Hal tersebut menjadi ketergantungan ketika sepatu sudah mulai rusak. Biasanya kulit kaki tebal dan tidak mudah luka justru mereka pasca memakai sepatu mengganggu ketahanan kaki mereka yang semakin lemah dan mudah terluka. Ketiga, label kaya dan miskin.
Sebelum masuknya orang dari tanah luar Papua tidak ada kaya dan miskin melainkan stereotip tersebut dibuat oleh orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Dari beberapa contoh tadi, menjadikan masyarakat timur ketergantungan. Sehingga, mau tidak mau untuk memenuhi kebutuhannya mereka menjual SDA yang hanya ditukar dengan uang yang tidak seberapa.
***
Buku “Yang Menyublim di Sela Hujan” adalah membuka realita yang selama ini tidak banyak dikatahui orang, tentang kehidupan, tentang konsep pendidikan yang memang menerapkan pendidikan yang membebaskan; belajar tanpa batas waktu; tanpa ruang kelas; tanpa kursi dsb.
(Dalam tulisan ini hanya membahas beberapa bagian saja dalam buku “Yang Menyublim di Sela Hujan” masih banyak ada tentang budaya orang timur yang belum diulas dalam tulisan ini.)