Sustainable Development Goals (SDGs) dan Potret Pembangunan Kita
Konsep Millennium Development Goals (MDGs) telah berakhir tahun 2015 lalu. Maka agenda ke depan untuk melanjutkan MDGs dikembangkan suatu konsep baru dalam konteks pembangunan pasca-2015 yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs).
Konsep SDGs ini dicetuskan sebagai agenda pembangunan baru yang mengakomodasi semua perubahan yang terjadi pasca-2015, terutama berkaitan dengan perubahan situasi dunia sejak tahun 2000 mengenai isu-isu, seperti penipisan sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perubahan iklim, perlindungan sosial, ketahanan pangan dan energi, dan pembangunan yang lebih berpihak pada kaum miskin. Sebagai kelanjutannya PBB mencanangkan Agenda SDGs 2030 yang merupakan komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat mencakup 17 tujuan dan sasaran global tahun 2030 yang dideklarasikan baik oleh negara maju maupun negara berkembang di Sidang Umum PBB pada September 2015 lalu.
SDGs 2030 merupakan agenda besar umat manusia untuk mencapai kemakmuran bersama di dunia pada tahun 2030, dan Indonesia pun sudah mulai memasukkannya dalam agenda pembangunan nasional. Visi Indonesia Emas 2045 memiliki empat pilar, khususnya terkait SDGs adalah pilar kedua, yaitu Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan. Bahkan Indonesia sudah memiliki dua dokumen penting, yaitu Peta Jalan SDGs Indonesia Menuju 2030, serta Pedoman Teknis Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan SDGs di Indonesia. Itulah sebabnya masyarakat harus turut aktif terlibat dalam SDGs ini karna Indonesia sangat serius menyikapi soal SDGs ini.
SDGs adalah program yang indikator-indikatornya ditentukan dan dinilai secara internasional, seperti misalnya, indeks demokrasi. Sebagai konsep yang kemudian dijadikan program kerja tentu bagus-bagus saja, tetapi sebagai kenyataan masih terbuka kemungkinan-kemungkinan terutama yang berkaitan dengan kebijakan langsung (tidak tertulis) atau keputusan politis yang membuat konsep dan program tersebut tidak lagi seindah pengertian dan indikator-indikator yang diharapkannya.
Permasalahan tersebut terjadi karena konsep dan program-program baik nasional maupun internasional masih diukur dengan standar kuantitatif (angka-angka statistik) dan tekstual belum sampai ke tahap yang kualitatif dan melampaui teks, artinya melihat kenyataan sebenarnya. Di sinilah menurut saya sastra berperan untuk menyuarakan yang kualitatif itu, menafsirkannya dan mengambil sikap kritis agar senantiasa keadilan bagi seluruh rakyat terus diperjuangkan dan tidak padam.
Konsep SDGs, sebenarnya ketika kita membaca dengan baik program itu, sungguh ada harapan yang mulia untuk kehidupan bersama. Tetapi siapa yang menjamin program itu benar-benar terjadi dan berhasil, ketika di sisi lain, seperti yang sudah saya singgung sedikit di atas, ada tangan-tangan besi dan perut-perut yang tidak pernah kenyang merampok kekayaan alam tanah air kita? Bahkan, kalau kita mau mengandalkan suara-suara kritis para guru besar atau tokoh-tokoh besar yang dulu turut menjadi aktor reformasi dan kini masih setia pada pemikiran demokrasi tetap tidak bisa menyentuh “telinga kekuasaan” itu, lalu kita bisa apa kecuali bersikap pesimis?
Kita boleh pesimis dan kita perlu khawatir bahkan harus terus cemas, bahwa kemungkinan program-program mulia itu tidak bisa sukses atau malah disabotese tangan-tangan politik yang tak bertanggung jawab dan masih tetap ada menunggu kapan “kue-kue kekuasaan” itu dibagi ke mereka atau dicurinya dengan paksa. Kita harus terus cemas agar semakin kreatif menyuarakan nilai-nilai yang baik untuk bangsa ini, apakah melalui sastra atau seni yang lain, apakah menggunakan pendekatan sosial ataukah psikologi, dan seterusnya.
Untuk mengawal sebuah program “mulia” yang tentu saja menyimpan potensi menjadi tidak semulia apa yang tertulis, kita membutuhkan jurnalisme yang kritis dan sastra yang terus mengajak agar kita memiliki kepekaan etis. Mengenai para jurnalis, tentu mereka rentan karena ada hubungan ekonomi politik dan kepentingan bisnis di sekitarnya, walaupun mereka bisa independen kemungkinan ketika kekuasaan merasa terancam bisa dilakukan “pembukaman” lagi.
Tentu saja ini senada dengan frasa terkenal yang pernah dicetuskan Seno Gumira Adjidarma sebagai judul buku, “ketika jurnalisme dibungkam sastra bicara”. Memang salah satu agen pemantau utama dari dalam dan juga luar adalah para jurnalis. Itulah sebenarnya yang pertama harus kita jaga, selagi kita juga bersuara lewat kanal-kanal sastra. Sebab, jika jurnalisme dipadamkan, sastra mungkin saja akan turut “diburu”, dan lagipula “suara sastra” seringkali lebih lama terdengar daripada suara berita. Meski begitu, kita tahu penyair WS Rendra pernah melakukan kritik habis-habisan kepada Orde Baru lewat pembacaan puisi langsung di pangungg dan lewat teater, tetapi pun Rendra pernah dicekal dan dilarang tampil.
Berita dan sastra sudah berbicara, tetapi seringkali kebijakan-kebijakan mengabaikan fakta-fakta yang telah ditangkap oleh jurnalis dan rasa yang ditangkap oleh para sastrawan. Alih-alih menerima masukan, kekuasaan seringkali menggunakan tangan besinya untuk membungkam para jurnalis, dengan berbagai cara. Bahkan, sering dengan “halus” membuat UU atau peraturan yang menygandung tentang “pembatasan kebebasan berekspresi” yang di permukaan terkesan “berwajah baik”. Inilah dilema cita-cita untuk rakyat yang berhadapan dengan kekuasaan yang tidak pernah kenyang, yang pejabatnya tidak selalu memedulikan nasib rakyat. Sungguh miris.
Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) dalam salah satu misinya ingin menjadikan sastra (salah satunya puisi) sebagai pengawal pembangunan serta peradaban, termasuk mengajak para penyair dan pecinta puisi ikut serta mengawal SDGs 2030 melalui puisi. Puisi memiliki peran besar menggugah dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang sejalan dengan SDGs 2030.
Pembangunan Berkelanjutan dalam Puisi
Mari lupakan sejenak pengantar yang agak berbau politik tadi, dan kita berbicara sedikit tentang pentingnya sastra dalam mengawal pembangunan SDGs. Tentu, tidak bisa dibayangkan, saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana kita hendak pengawal sesuatu yang kita tidak ada di dalamnya. Tapi, baiklah saya refleksikan sedikit, barangkali ada beberapa hal yang masih bisa membuat kita tetap optimis.
Kalau menengok ke belakang, sebenarnya sudah cukup banyak sastra, khususnya puisi, yang berbicara kritis tentang lingkungan. Sebutlah, misalnya, puisi-puisi Taufiq Ismail. Ada sajak beliau yang berjudul Membaca Tanda-Tanda, sajak itu jelas menggambarkan tentang alam yang rusak oleh kelakuan serakah manusia, atau sajak Air Kopi Menyiram Hutan, yang menceritakan tentang kebakaran hutan yang terus saja terjadi hingga kini.
Di tempat berbeda, ada WS Rendra yang menyuarakan masalah-masalah sosial-ekonomi menggunakan sajak-sajak pamfletnya, terutama yang terkenal kumpulan sajaknya Potret Pembangunan dalam Puisi. Walaupun mengalami banyak kritik dari rekan-rekan sastrawan, Rendra tetap yakin bahwa suara sajaknya penting untuk zaman itu. Sumber sajak-sajak pamflet WS Rendra banyak dari berita di koran-koran, artinya ada jurnalisme di balik sajak-sajaknya yang membimbing suaranya menjadi lantang.
Pada prosa kita mengenal ada Seno Gumira Adjidarma, yang dengan kumpulan cerpennya yang terkenal yaitu Penembak Misterius, mencoba mengungkapkan apa yang tidak dapat terungkap melalui berita. Dalam novel pun ada, misalnya, novel-novel Pramoedya Ananta Toer, atau yang terkini seperti Laila S. Chudlori, dan lainnya. Efek sastra itu tentu saja tidak terlihat secara kuantitatif, tetapi bisa jadi secara kualitatif membentuk mental pembacanya agar tetap kritis dan peka malah awas terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh kekuasaan.
Kembali ke SDGs, bagaimana kita turut membangun agar program ini bisa didukung dengan perilaku bukan hanya dengan kata-kata di atas kertas? Ke depan tentu saja kita perlu melakukan “kampanye sastra” agar karya-karya yang memiliki “suara kritis” baik terhadap kekuasaan, atau yang mengangkat masalah sosial-ekonomi, lingkungan, atau yang lainnya, kembali dibaca sehingga dapat memperkaya pengetahuan “rasa” kita dalam mengiringi perkembangan bangsa Indonesia menuju tahun emasnya. Karena hanya melalui jiwa-jiwa yang telah hiduplah (dihidupkan salah satunya melalui sastra), kemajuan Indonesia di masa depan bisa dikatakan berkualitas.
Tetapi, tentu saja kita harus insyaf, bahwa kita tidak perlu membebani sastra dengan tugas-tugas yang terlalu berat, sebab para pengarang untuk bertahan hidup saja sudah cukup susah di zaman digital seperti sekarang. Maka, untuk memperingan mengawal atau mengiring program SDGs, dalam rangka menyongsong kemajuan di depan, seperti disinggung di muka bahwa JSM mengajak kawan-kawan untuk berkarya, menuliskan puisinya tentang lingkungan dan seputar SDGs agar bisa dibukukan dan dibuatkan acara oleh kami. Tentu hal yang dilakukan ini masih tergolong usaha kecil-kecilan, tapi meski begitu menurut saya ini tetaplah penting.
Antologi yang mengangkat tema lingkungan bukanlah hal yang baru, dulu juga banyak dilakukan, meskipun tidak terpaku pada pengertian konsep SDGs, tetapi sudah cukup banyak. Para penyair yang menulis laut, hutan, gunung, kota yang kumuh, dst, itu membuktikan bahwa sebenarnya secara bawah sadar apa yang digagas dalam program SDGs sudah banyak ditangkap oleh para sastrawan dan penyair yang peka itu.
Memang di luar negeri tren mengumpulkan puisi atau prosa dalam tema-tema aktual terjadi hingga hari ini, bahkan yang berasal dari sumber lama. Contohnya sperti yang disampaikan oleh Riri Satria dalam kuliah umum yang beliau sampaikan bertajuk “Mengawal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dengan Puisi”, terdapat dua antologi terbaru yang bertema SDGs, satu adalah kumpulan haiku bertema SDGs yang terbit di Australia dan kedua antologi puisi bertema perubahan iklim terbit di India yang juga relevan dnegan SDGs. Dan telah diadakan pula even khusus mengawal SDGs, yaitu Slam Poetry di Australia, serta Young Poets di India, keduanya acara pembacaan sajak langsung di panggung. Artinya, SDGs sudah menjadi gerakan masal di dunia, baik melalui pendidikan, kebudayaan, kesenian, kesusastraan dan sebagainya.
Riri Satria menyampaikan kuliah umum dengan topik “Mengawal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dengan Puisi” dalam rangka menjalanka tradisi pribadi beliau yaitu memberikan kuliah gratis kepada publik – dalam hal ini para penyair – dalam rangka mentambut Hari Ulang Tahun beliau, yang tahun 2024 ini adalah yang ke-54.
Kuliah umum ini juga berujuan untuk menjelaskan kaitan SDGs dan puisi supaya para penyair mendapatkan wawasan mengenai buku antologi puisi dengan judul yang sama yang digagas oleh Komunitas Jagat Sastra Milenia atau JSM, di mana Riri Satria adalah Ketua Komunitas JSM itu sendiri. Ternyata di samping seorang pakar teknologi dan transformasi digital yang akhir-akhir ini sering membahas kecerdasan buatan dan keamanan dunia siber, Riri Satria yang menabat sebagai Komisaris Utama PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PLD) serta Dosen Fakultas Ilmu Komputer Univrsitas Indonesia ini juga mendalami perilah pembangunan ekonomi berkelanjuan atau sustainable economic development.
Riri Satria juga menjelaskan bahwa berdasarkan berbagai riset, ternyata puisi dapat dijadikan sebagai salah satu “pengawal” gerakan SDGs yang baik melalui edukasi. Sebuah jurnal berjudul Poetry As A Valuable Tool For Climate Change Education For Global Sustainability meneelaskan hal itu. Ini berarti puisi bisa berperan aktif dan efektif jika didengarkan oleh para pemangku kebijakan, dan tentu jika turut didorong oleh kesadaran rakyat banyak, akan mendatangkan manfaat yang baik dalam menyukseskan program SDGs di Indonesia, bahkan mungkin dunia.
Ini jugalah yang ingin dilakukan oleh komunitas kami, yaitu membuat buku antologi puisi, dan kemudian nanti dibuatkan acara yang mana para penyair bisa membacakan sajak-sajaknya yang telah termuat dalam buku tersebut. Program yang dilakukan komunitas JSM salah satu misinya adalah ingin menjadikan sastra (salah satunya puisi) sebagai pengawal Pembangungan Berkelanjutan atau SDGs. Ini adalah suatu bentuk kepedulian kami agar “suara” tentang keadilan dan moral tetap terjaga, agar nilai-nilai berbangsa kita tidak mudah dirusak oleh mereka yang tidak pernah berpihak kepada kesejahteraan rakyat.
Kita harus optimis membangun dari dalam, dari jiwa, dalam puisi dan dengan puisi turut berperan menumbuhkan mental-mental berani “bersuara” yang akan tidak hanya berkata-kata, tetapi mewujudkannya dalam keseharian baik itu dengan hal-hal kecil, seperti peduli lingkungan, menjaga kebersihan, sampai aktivisme lingkungan yang berbasis komunitas. Walaupun di sisi lain, kita tahu, potret pembangunan kita selalu masih saja terancam berbuat “tidak adil” kepada rakyat, tapi kita (penyair) harus terus bersuara (terutama dengan puisi) bersama para jurnalis sampai kekuasaan sebagai wakil bangsa Indonesia bisa insyaf dan seterusnya melaksanakan program-program mulia sepenuh hati dan jiwa. Salam. [T]
BACA artikel lain dari penulisEMI SUY