“DALAM sehari, hampir 24 jam saya bergulat dengan sayur!” Begitu kata Kadek Merta dengan ditemani gerobak stainless steel silver-nya yang khas.
Iya betul, Kadek Merta bergulat dengan sayur dari subuh hingga tengah malam. Entah hanya berapa jam yang Merta butuhkan untuk merasakan kasur dan bantal guling di rumahnya. Pria kelahiran Desa Banjar itu hidupnya sudah sejak tahun 1990 bergantung pada berjualan jukut alias sayur.
Ia menjual jukut rambanan, semacam sayuran campur dengan bumbu khas, sehari-hari berjualan keliling di Kota Singaraja, Bali, terutama di kawasan Jalan Ahmad Yani.
“Saya menjual jukut rambanan. Dulu saat masih muda, saya berjualan jukut cantok di desa,” tutur Merta.
Kadek Merta sedang melayani pembeli | Foto: Pande
Keputusannya untuk menjual jukut rambanan ternyata ada sangkut-pautnya dengan kisah cinta Merta dan sang istri. Dulu istrinya memang berdagang jukut rambanan. Ia sendiri menjual jukut cantok. Setelah menikah, Merta memilih untuk menjual apa yang dijual istrinya, yakni jukut rambanan. Memilih untuk menjual jukut rambanan, ia seakan membuktikan cintanya pada sang istri.
“Kebetulan dulu jukut rambanan memang banyak peminatnya,” tutur Merta. Ia begitu romantis mengingat momen paling manis dalam hidupnya.
Umurnya yang setengah abad tak menghentikan geraknya untuk mendorong gerobak yang penuh dengan barang dagangannya. Masih membayangkan dari subuh hingga ke tengah malam lagi, itu bukanlah waktu yang singkat. Ia masih terlihat sehat dan bugar. Tubuhnya masih tegap tak tergoyahkan jaman.
“Subuh beli bahan dulu, di sini dekat rumah di Pasar Anyar,” tuturnya sembari menunjukkan letak pasar itu.
Pukul 04.00 WITA, ketika alarm berbunyi ia bangun dari mimpi. Siapa sangka, melawan dinginnya angin subuh. Ia harus bergegas menemani sang istri membeli segala keperluan berdagang mereka. Jaket setebal apapun yang dipakainya, masih kalah hangat dengan pelukan istrinya ketika berboncengan menuju Pasar Anyar.
Setelah istirahat sebentarm, sekira pukul 09.00 WITA, ia mulai bertempur dengan segala peralatan dapur di tangannya. Ia mulai mempersiapkan segala macam keperluan yang akan ia jajakan. Merta bertugas di bagian memasak sayur sementara istrinya sibuk mempersiapkan dagangan lainnya.
Tampilan jukut rambanan dengan baluran bumbu kuning | Foto: Pande
Cahaya matahari masih cukup terik, sengatan panasnya kian menukik masih terasa hangat merambat ke seluruh tubuh. Ia tetap bersiap dan bersemangat untuk kembali mendorong gerobak silver kesayangannya itu.
“Dulu saya pakai nampan bambu untuk berjualan. Kini pakai gerobak,” tutur Merta mencoba mengorek kembali ingatannya yang lampau.
Ternyata ada momen sedihnya ketika ia berjualan dengan menggunakan nampan. Bahkan momen sedih itu sampai terjadi tiga kali. Nampan yang tidak begitu kokoh menopang berbagai macam barang dagangannya, seringkali terjatuh, dan barang dagangannya berserakan di jalanan. Ia harus pulang lebih dulu karena musibah itu tidak ada yang tahu.
“Dulu kadang berjalan kaki, kadang memakai sepeda motor sambil membonceng istri, di situ sering jatuh dagangannya,” tambah Merta bercerita.
Dulu ada si hijau, sebuah gerobak kayu yang menemaninya berkeliling, sayangnya si hijau harus purnatugas tahun lalu. “Sudah terlalu tua, makanya perlu si silver menggantikan posisi itu!” kata Merta sembari memegang gerobak baru hasil kerja kerasnya selama ini.
***
Tin-tin-tin, riuh klakson kendaraan saling bersahutan, satu-persatu pengendara mulai memadati jalan di Kota Singaraja yang sering disebut sebagai kota pendidikan itu. Ada yang pulang dari tempat bekerja, ada yang pulang dari bangku sekolah, dan ada yang bergegas menjemput sang pujaan hati untuk sekadar menikmati sunset di pantai penimbangan.
Kadek Merta biasa dipanggil dengan nama Kadek Rambanan oleh pelanggannya. Tentu karena jukut rambanan seperti identik dengan lelaki itu.
Tepat pukul 15.00 WITA sudah dapat dipastikan ia mangkir dan menghentikan laju gerobaknya itu persis di depan Bank BTN di Jalan Ahmad Yani . Bak raja jalanan, setiap sudut Jalan A Yani Barat (depan Toko Hp Badilan) hingga depan Toko Warna Fuji, ia senantiasa dikenal orang.
“Sudah 30 tahun rasanya. Awal berdagang itu berkeliling di Jalan Kakaktua, sampai mencoba tantangan baru di A Yani,” katanya.
Ia tak memiliki niat sekalipun untuk membuka sebuah warung makan. Dengan keliling berjalan kaki baginya bisa lebih sehat untuk kesehatan tubuhnya, apalagi menggaet pembeli jadi lebih gampang.
Ketika pertama kali melihatnya, barangkali orang-orang akan bingung. Sebenarnya Kadek Merta sedang berjualan apa? Di gerobaknya tak ada tulisan yang berisi daftar menu atau nama dagangan yang dijual. Bisa dibilang sangat jauh berbeda dengan pedagang gerobak keliling lainnya yang selalu mencantumkan berbagai macam menu di dagangan mereka.
“Gampang, ada nomor handphone catat saja tinggal dihubungi!” Begitu ucap Merta dengan tertawa khasnya menawarkan dengan cara yang lebih praktis.
Gerobaknya bisa dibilang hampir tidak dapat terdeteksi. Ramainya bak pasar malam, di sudut kiri hadir berbagai macam jenis kerupuk bergelayutan, sedangkan bagian depannya dipenuhi rentengan es serbuk yang bergelantungan. Semua tertata dengan rapi, hampir setiap celah ia isi dengan berbagai macam barang dagangannya, termasuk lumpia goreng dan jajanan khas bali buatan langsung dari istri tercinta.
“Ada jukut rambanan dan jukut plecing kables!” Begitu jawabnya ketika ditanya.
Apa sesungguhnya jukut ramabanan itu, dan apa bedanya dengan jukut plecing kables?
Sambil mengambil selembar kertas minyak di laci atas gerobaknya, Kadek Merta coba menjelaskan perlahan. Rambanan itu sayur dengan bumbu kuning yang khas, lebih banyak ditemukan di wilayah Bali Utara, namun semakin berganti tahun, semakin sedikit pula yang menjualnya.
Sekilas dilihat, isiannya seperti sayur pecel, ada kangkung, toge dan juga kacang panjang, tapi di rambanan, ada tambahan sedikit ketimun yang sepertinya sudah direbus terlebih dahulu.
“Jukut rambanan favorit para pembeli di sini,” seru Merta dengan senyumnya yang khas.
Rambanan menjadi salah satu sayur yang saya putuskan untuk dibeli. “Bumbu kuningnya dari basa genep (bumbu khas bali dengan bahan-bahan seperti lengkuas, kencur, jahe, cabai merah, bawang merah dan putih, kunyit, serai, ketumbar, kemiri, serta cabai rawit) tapi jahenya itu jangan terlalu banyak, nanti agak terlalu pahit,” kata Kadek Merta.
Potret gerobak si hijau yang dulu pernah dipakai Kadek Merta untuk berjualan | Foto: Dok
Bumbu kuning itu terlihat lebih kental. “Ada tambahan beras yang dihaluskan, dicampur dengan basa genep, kemudian direbus sampai agak mengental,” tutur Merta. Tambahan pedasnya bukan sembarangan sambal, langsung ditambahkan dengan sambal embe, salah satu sambal khas bali terbuat dari cabai, bawang putih dan merah, di goreng dengan minyak kelapa.
Oh iya, plecing kables, isian sayurnya masih sama dengan sayur rambanan, hanya saja yang membedakan di bumbunya. Kelapa yang telah diparut ditaruh di atas sayur kemudian disirami kuah bumbu plecing yang nampak merah menyala.
“Kalau bumbu kables berbeda lagi, lebih mirip bumbu plecing, ada cabai rawitnya, tomat, ditambah sedikit perasan jeruk limo penambah cita rasa,” jelas Merta membagikan ilmu memasaknya sembari memperagakan tangannya.
Keduanya menu itu dihargai Rp. 5,000 saja sebungkus. Harga itu tentu saja sangat terjangkau, apalagi dengan porsinya yang lumayan banyak.
Perpaduan campuran sayur dan bumbu kuning memang sangat ciamik. Rempah-rempah yang khas sangat memanjakan lidah ketikadisantap. Pantas saja orang-orang ketagihan dengan jukut rambanan ini. Pedasnya jangan ditanya, sambal embe memang tidak ada duanya lagi. Tiga sampai empat gelas air, acap kali diminum pelanggan untuk menghilangkan rasa terbakar di mulut. Nasi hangat sudah menjadi teman yang paling pas untuk menenangkannya.
“Sayur itu pahit, sayur itu jelek, padahal khasiatnya sangatlah banyak,” kata Merta menjelaskan kenyataan yang ada saat ini.
Dulu sayur masih menjadi primadona namun kenyataan saat ini jauh berbeda. Sangat jarang ditemui anak-anak jaman sekarang nasinya beratapkan lauk yang lebih umum berwarna hijau itu. Biasanya anak zaman sekarang nasinya lebih banyak beratapkan daging atau makanan-makanan modern yang datang dari luar.
“Dulu jam 6 sore sudah di rumah, sekarang jauh berbeda, kadang sampai jam 12 malam pun masih tersisa sedikit,” tutur Merta.
Dulu, baru setengah jam berjualan, dagangannya sudah ludes dikerumuni pembeli. Namun kenyataan saat ini jauh berubah.
Sayur kini menjadi bahan makanan yang kian hari makin dilupakan. Serba praktis saja, sampai makanan pun harus berlabel siap saji.
“Padahal sayur itu sumber serat terbaik untuk tubuh tapi mulai dilupakan,” ucap Merta dengan serius. [T]
Reporter: Pande Putu Jana Wijnyana
Penulis: Pande Putu Jana Wijnyana
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) ditatkala.co.