KEHIDUPAN memang sesuatu yang unik. Hari ini kita bisa tergelitik, di lain hari kita bisa saja tercekik. Suatu saat kita bisa tersenyum, suatu masa kita bisa termenung. Di sebuah fase kita bisa mengalir dengan tenang, namun tiba-tiba kita bisa terhempas dan tertendang.
“Ya mau gimana lagi, namanya juga hidup!” Seperti itulah ujar seorang sahabat, ketika mendengar curhat diri ini tentang kekalutan. Ia juga menerangkan, akan ada Pelangi setelah pekatnya badai. “Kehidupan memang demikian adanya cuy, suka dan duka akan selalu ada. Bukannya dirimu yang biasa mengatakan dan menasehati tentang hal seperti itu?” Tegas ia sambil mengunyah kerupuk.
Memang benar, setiap manusia pasti selalu sulit untuk belajar melepaskan sebuah rasa dalam hidupnya. Tidak peduli seberapa kali ia mendapat pencerahan, seberapa sering membaca buku bernuansa kesucian, dan seberapa rutin menulis tentang arti kehidupan. Pada akhirnya, semua rasa bisa terkecap dengan sendirinya, entah itu rasa takut, khawatir, gusar, dan gelisah yang membuat diri merana.
Setelah selesai menyantap tipat santok bersama sahabat, langkah diri memutuskan untuk pergi ke Sanur beriringan dengan acara yang diadakan oleh organisasi. Akibat kekeliruan panitia dalam mengirimkan link lokasi, diri ini harus berjalan kaki dari Pantai Matahari Terbit menuju Pantai Bangsal yang menjadi lokasi sesungguhnya acara. “Adehhhhhh, satu lagi rasa tidak enak muncul,” ujar sanubari.
Langkah demi langkah jejak kaki menemani diri ini dalam menyusuri jalan di tepian pantai. Terlihat juga beragam dinamika hidup sebagai pemandangan yang bisa diri nikmati. Di antara banyaknya hal yang dilihat oleh indria, perhatian tiba-tiba stagnan pada suasana di bibir pantai yang sedang surut. Dimana terlihat, suasana anak-anak kecil yang sedang menikmati suasana pantai tanpa kondisi kalut.
Meskipun terlihat sederhana, pemandangan itu secara tidak langsung mampu menarik rasa dalam sanubari. Anak-anak kecil itu serasa mengajarkan bagaimana cara menikmati surutnya air larut dengan perasaan harmoni. Keharmonisan yang semacam mengisyaratkan, surutnya kehidupan juga bisa dihadapi dengan berseri.
Pasang-Surut Air Laut adalah Cermin Kehidupan
Air laut adalah sesuatu yang fluktuatif. Terkadang ia bisa berdebur naik dengan kerasnya sampai menuju warung UMKM. Pada suatu saat, ia juga bisa tertarik turun dengan tenang sampai membuat kapal-kapal seperti karam di atas hamparan karang.
Seperti itulah juga kehidupan, jika pasang-surut air laut bisa direfleksikan. Kehidupan tidak hanya menghadirkan deburan rasa yang menyakitkan. Kehidupan juga tidak hanya bisa memberi kesan ombak yang menakutkan. Di sisi lain, ia bisa hadir sebagai obat ketenangan yang mampu menyembuhkan. Ia juga mampu menghadirkan hamparan kesan memeluk, yang bisa menjadi perlindungan.
Nikmati Pasang-Surut Dinamika!
Jadi bagaimana cara paling elok dalam menghadapi pasang-surutnya dinamika kehidupan? Jawabannya sesungguhnya sederhana. Biarkan mengalir apa adanya dan cukup nikmati saja.
Diri bisa belajar banyak dari anak-anak kecil yang bermain riang di tepian pantai. Disaat air laut surut, mereka bisa menikmatinya sambil memungut umang-umang dengan riang. Bahkan tidak hanya mereka, orang-orang disekitar pun bisa tersihir untuk turut tersenyum dan memancarkan kebahagiaan.
Bak anak kecil yang menikmati surutnya air laut di tepian pantai, begitulah eloknya manusia dalam menghadapi naik-turunnya fase kehidupan. Selalu berusaha memungut sisi positif dari sebuah rasa yang menyakitkan, juga bisa dijadikan opsi yang menyenangkan. Penerimaan untuk menikmati, menjadi sebuah kunci dalam membuka koper kebebasan bernama kebahagiaan dan ketenangan.
Sambil melanjutkan perjalanan menuju pantai Bangsal, diri ini akhirnya menemukan titik terang dari semua rasa yang menyelubungi selama ini. Semua kekalutan dan keraguan secara ajaib juga memudar dalam sanubari. Sehingga ketika sampai di tempat acara, manah diri ini bisa disambut dengan berseri tanpa adanya alibi. [T]
BACA artikel lain dari penulisDEWA GEDE DARMA PERMANA