“SEBENARNYA, menanam durian ini sebagai alternatif lain, karena tanah ini kurang cocok untuk cengkeh,” kata lelaki paruh baya itu sembari mengayunkan cangkul, mengikis tanah yang berwana coklat itu secara perlahan. Ia di kebun siang itu. Banyaknya pohon durian dan cengkeh membuat panas siang itu tidak terasa sama sekali, padahal matahari tepat berada di atas kepala.
Di kebun dengan luas kurang lebih 2 hektar itu, selain pohon durian sebagai komoditas utama, juga ada beberapa pohon penghasil uang lainnya, seperti cengkeh, manggis, duku, dan vanili. Beragam memang, karena ia menerapkan konsep tumpang sari.
Siang itu ia sedang memberi makan tanah dengan pupuk organik. Aroma pupuk bercampur dengan aroma durian yang begitu menyengat, masuk menusuk hidung. Seolah tidak terpengaruh dengan baunya itu, ia, dengan semangat menyala, dibantu dua orang, menuangkan satu karung pupuk organik di sekeliling pohon durian itu.
Ia mengenakan baju lengan panjang hijau tua serta celana kain hitam. Kakinya terbungkus sepatu boots dan topi usang bertengger di kepalanya. Ialah Raka, lelaki paruh baya yang sedang mengayunkan cangkul itu, petani durian yang sukses dari Desa Pedawa.
I Made Rakanetra sedang menggemburkan tanah | Foto: Eka
Nama lengkapnya I Made Rakanetra, biasa dipanggil Raka. Lahir dari keluarga sederhana yang jauh dari kata mewah. Karena hal itulah membuatnya berprofesi sebagai petani. Dan dalam prosesnya, sampai pada titik ia dianggap menjadi petani durian yang sukses, itu tidak mudah. Banyak keringat yang telah ia keluarkan untuk bisa menjadi seperti sekarang ini.
Banjar Dinas Insakan, Desa Pedawa di Kecamatan Banjar, Buleleng, cukup cerah saat itu. Di bawah pohon durian jenis kane yang sedang berbuah itu, Raka bercerita bahwa tanah yang ia punya tidak cocok untuk cengkeh. “Ini ada beberapa pohon cengkeh, tapi tidak cocok dengan tanahnya, apalagi posisinya di sini telalu dingin, karena itu selalu tidak bisa maksimal saat berbuah,” tuturnya sambil tangannya bertumpu pada gagang cangkul.
Walapun secara geografis Desa Pedawa terletak di pegunungan dengan kesuburan tanahnya yang terkenal, namun di beberapa wilayahnya, ada tanah yang memiliki tingkat kesuburan rendah dan udara juga telalu dingin. Hal ini menyebabkan pohon primadona di desa itu, yaitu cengkeh, sulit untuk tumbuh dan menghasilkan buah yang maksimal.
Pria kelahiran 31 Desember 1973 itu terus becerita dengan penuh semangat. Bahwa sebelum fokus pada durian, ada beberapa komoditas yang pernah ia tanam, dari pohon coklat, kopi, cengkeh, sampai manggis. Namun, itu semua tidak bisa memberikan penghasilan yang cukup.
Pada tahun 2014, ketika saat itu cengkeh masih menjadi tanaman yang diistimewakan oleh masyarakat Desa Pedawa, dengan langkah berani, hanya bermodalkan pengalaman dan cerita-cerita orang lain, Raka nekat menghabiskan modal yang ia punya untuk mulai menaman pohon durian, yang pada saat itu masih dilirik sebelah mata oleh masyarakat Desa Pedawa.
“Awal menanam durian itu tahun 1995, jenisnya kane, namun itu hanya nyoba-nyoba saja. Saya menanam durian secara masif di tahun 2014,” tutur pria yang kini berusia 51 tahun itu.
Bisa dikatakan, Raka adalah pelopor masuknya durian ke Pedawa, desa yang terkenal dengan penghasil cengkeh. Kini, durian telah menjadi idola baru di Desa Pedawa. Seperti kacang lupa kulitnya, banyak pohon cengkeh yang ditebang hanya untuk menanam pohon durian.
Harga jual yang tinggi, seperti jenis kane perkilonya berkisar 30 ribu dan waktu panen pasca tanam hanya membutuhka waktu selama lima tahun, membuat durian kian digandrungi masyarakat Desa Pedawa.
Usaha tidak akan pernah menghianati hasilnya, begitu kira-kira kata-kata yang menggambarkan perjuangan Raka saat ini. Di usia senja, ia baru bisa memetik hasil dari keringat yang ia peras sejak dulu, banyak hal sudah dikorbankan untuk merawat durian ini, dari uang, tenaga, waktu, dan pikiran.
I Made Rakanetra sedang menggunting wadah pupuk | Foto: Eka
Raka kembali bercerita, bahwa sebenarnya ia menanam pohon durian hanya sebagai sampingan saja, karena memang saat itu cengkeh masih menjadi yang utama walaupun kurang menghasilkan.
“Cengkeh tidak mengalami peningkatan, saya lihat durian ini sepertinya mempunyai peluang yang besar,” tuturnya sambil sesekali mengibaskan tangan untuk mengusir nyamuk yang berkerumun mengitarinya.
“Total saat ini sudah ada 500 pohon durian dan 200 pohon sudah produktif berbuah, yang 300 masih proses berbunga,” ceritanya dengan bangga. Ia juga menambahkan mayoritas jenis durian yang ditanam adalah kane, tapi juga ada beberapa jenis musang king.
Hasil dari durian memang sangat menjanjikan, meski penuh dengan perawatan dan tantangan. “Lebih mudah merawat cengkeh dibandingkan durian. Durian perlu banyak perawatan, pemupukan, penyemprotan hama, pemberian vitamin. Tapi hasil durian lebih besar daripada cengkeh,” tutur pria yang sudah memiliki cucu itu.
Di tengah mencekiknya harga pupuk kimia, Raka melakukan penghematan dengan membuat pupuk organik sendiri, berupa pupuk kompos yang berasal dari kotoran kambing dan sapi yang ia dapatkan dari para peternak di Pedawa “Untuk pemupukan saya beli dan saya imbangi dengan membuat sendiri,” tuturnya sambil terus memberikan pohon durian makanan.
Sama seperti manusia, di samping membutuhkan makanan, pohon juga memerlukan air untuk tetap hidup. Raka sudah memikirkan hal itu. Dengan membuat beberapa titik bak penampungan air, ia mengatasi kekeringan pada musim kemarau tiba.
Usia yang sudah tidak muda lagi, bukan berarti menjadi sebab semangatnya bertani surut. Dibantu kedua anaknya, dan ia juga memperkerjakan dua orang tetangganya, Raka merawat pohon-pohon duriannya.
Dalam proses berkebun, tentu banyak rintangan yang ia hadapi, dari gagal panen akibat cuaca buruk, serangan hama, hingga dimakan tupai. Namun, itu semua dianggap Raka sebagai pelajaran untuk memahami secara mendalam seluk-beluk durian. Kini, Raka telah menikmati hasil duriannya dengan omset 200 juta per tahun.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
Reporter: Gede Agus Eka Pratama
Penulis: Gede Agus Eka Pratama
Editor: Jaswanto