KEGIATAN kepemiluan termasuk Pilkada Gubenur, Bupati dan Walikota pada hakikatnya ditujukan untuk memilih para wakil rakyat yang diberi mandat rakyat (setempat) untuk mengelola segenap sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan rakyat secara periodik tiap lima tahun sekali.
Jadi, titik tekannya adalah : memilih para wakil rakyat yang berkompeten dalam mengelola sumber daya guna pencapaian kesejahteraan rakyat secara bertahap tiap lima tahun sekali.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi partai politik dan kita semua, memastikan mereka yang potensial akan dinominasikan menjadi wakil rakyat dalam memimpin sebuah provinsi, kabupaten dan kota, memiliki wawasan dan kompetensi dalam mengelola dan menterjemahkan sumber daya lokal yang diubah menjadi program kerja kongkret untuk penyelesaian persoalan lokal guna pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat. Bukan sekadar popularitas, elektabilitas apalagi cuma sekadar isi tas, padahal tokoh tersebut tak memiliki wawasan dan konsep memecahkan persoalan daerahnya.
Bagi saya proses seleksi yang sedang berlangsung saat ini, sebelum dipinang parpol untuk diusung, mesti mampu mengelaborasi isi kepala si calon apakah mampu menjadi pemecah masalah problem di daerahnya, bukan malah menjadi sumber masalah baru. Bagi saya, indikatornya sebetulnya relatif sederhana. Cukup dengan menjawab pertanyaan di bawah ini dalam konsep dan gagasannya.
Pertama, bagaimana proses kreatif calon pemimpin dalam peningkatan pendapatan asli daerah dan pendapat lainnya, agar penyelesaian masalah Pembangunan di wilayah itu tersedia anggaran yang cukup. Harus ada target terukur peningkatan PAD selama lima tahun.
Kedua, bagaimana skala prioritas dan komposisi pemanfaatan anggaran daerah yang tercantum dalam APBD. Skala prioritas penggunaan anggaran akan terbaca dalam skala penyelesaian persoalan pembangunan di daerah itu.
Terhadap dua indikator ini, kepemimpinan Mangku Pastika selama 10 tahun bisa menjadi teladan. Saat 2008, PAD Bali hanya Rp 1 trilyun, lalu setelah 10 tahun (2018) naik tajam menjadi Rp 3,7 trilyun. Artinya selama 10 tahun Mangku Pastika berhasil melipatgandakan PAD sebesar 370 persen atau 37 persen per tahun. APBD Bali tahun 2008 hanya Rp 1,6 trilyun, dan 2018 menjadi Rp 6.3 trilyun (naik hampir 400 persen).
Lantas alokasi anggaran yang besar itu, digunakan untuk memecahkan persoalan nyata Masyarakat di bidang Kesehatan, pendidikan, pertanian dan adat budaya. Program pro rakyat semacam JKBM, Simantri, Pembangunan SMA Bali Mandara adalah salah sedikit program pro rakyat. Yang saya mau tegaskan: duit rakyat itu digelontorkan ke bawah untuk menyelaikan masalah real rakyat, bukan dihambur-hamburkan untuk bansos sana sini.
Oleh karena itu, menjadi penting saat ini mengevaluasi semua bupati atau walikota di Bali yang akan maju lagi jika dia petahana, atau orang per orang yang ingin jadi bupati jika tak ada petahana. Apa konsepnya secara terukur soal proses kreatif peningkatan PAD dan APBD. Lalu, diproyeksikan untuk apa anggaran itu per tahun anggaran. Jika calon itu tak bisa menyampaikan secara terukur potensi keuangan daerah ini, dapat dipastikan ia tak paham ruang lingkup masalah, kewenangan dan skala prioritas program yang akan dibuat.
Saat ini kita semua terjebak pada pragmatisme sangat parah dalam hajatan politik. Konsep, gagasan, ide kreatif dan integritas calon kalah dengan ‘’isi tas’’ kandidat (celakanya krama Ikhlas dibohongi bahwa isi tas calon dalam bentuk tebaran bansos sana-sini sebetulnya : uang negara yang dihamburkan tidak produktif). Kita terjebak pada pengelompokan atas nama calon partai politik dan soroh.
Oleh karena itu, kita semua yang peduli terhadap masa depan Bali serta Buleleng khususnya, harus terus menggiatkan acara semacam ini secara lebih spesifik dan dipublikasikan meluas di media sosial. Ini memang kerja luar biasa untuk mengubah perilaku pemilih.
Namun pembiaran situasi semacam itu tanpa kepedulian para kelompok kritis, akademisi dan intelektual, sama saja membiarkan orang sakit tak bisa berobat, orang miskin tak bisa makan, orang pintar tak bisa sekolah dan orang sakit terancam meninggal. Betapa jahatnya kita yang diberi kecerdasan, hanya untuk peduli saja harus berhitung. Karena sejatinya: hakikat intelektualitas adalah sebuah tanggung jawab sosial, bukan hura-hura apalagi menjadi pelacur. [T]