Tulisan ini merupakan tulisan terakhir dari laporan pandangan mata pelaksanaan semiloka dwiwindu ilmu pariwisata yang digelar di Kampus Poltekpar Bali, pada Senin 25 Maret 2024. Ada tiga pembicara yang hadir kala itu yakni Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt; Prof. Azril Azahari, Ph.D dan Prof. Dr. Diena Mutiara Lemy, A.Par., M.M., CHE. Berikut, ulasannya ditulis I Made Sarjana.
Daya saing pariwisata Indonesia masih sangat lemah baik di level dunia maupun regional Asean & Ocenia. Kondisinya sangat memprihatinkan peringkat pariwisata Indonesia di dua level geografis tersebut menurun dari tahun ke tahun. Di level dunia pariwisata Indonesia ada di peringkat 65 Tahun 2020, turun ke peringkat 80 (2021) dan 82 (2022); sedangkan di seputaran Asean & Ocenia ada di peringkat 10 Tahun 2020, 12 (2021) serta 13 (2022). Dari delapan negara di Asia Tenggara, Indonesia ada di urutan ke 6 atau diatas Kamboja dan Vietnam.
Situasi terpuruknya daya saing pariwisata Indonesia ini diuraikan Ketua Himpunan Lembaga Perguruan Tinggi Pariwisata Indonesia (Hildiktipari) Prof. Dr. Diena Mutiara Lemy, A.Par., M.M., CHE pada Semiloka Dwiwindu Ilmu Pariwisata Indonesia di Kampus Poltekpar Bali, Senin (25/3/2024). “Jadi sumber daya manusia (SDM) pariwisata Indonesia tidak cukup hanya menyandang gelar MSC,” seloroh Prof. Lemy begitu akademisi pariwisata asal Jakarta itu biasa dipanggil.
MSC, ulas Prof. Lemy, kependekan dari “malan, sapu, cuci” dengan kata lain pekerja pariwisata hanya bangga dengan keterampilan dasar yakni pelayanan kepada wisatawan di bidang penyediaan makanan seperti peramu saji, juru masak sedangkan sapu sebagai istilah sederhana dari houskeeping dan cuci untuk keterampilan fisik mencuci piring atau laundry.
Pada Tahun 2030 diproyeksikan terjadi pergeseran kompetensi SDM Pariwisata yang dibutuhkan pasar. Jika saat ini kompetensi yang diterima pasar masih sebatas SDM yang memiliki keterampilan fisik dan manual, ke depan persyaratan SDM Pariwisata memasuki pasar adalah memiliki pengetahuan tentang pariwisata yang lebih tinggi, keterampilan mengelola hubungan sosial dan emosional yang lebih baik, serta menguasai keterampilan dibidang teknologi.
Kondisi tersebut menyaratkan sebanyak 50% SDM Pariwisata termasuk di Indonesia membutuhkan penguasaan keterampilan baru (reskilling) pada tahun 2025 dengan memastikan penguasaan teknologi yang lebih mumpuni. SDM Pariwisata juga harus mampu berpikir kritis dan mencari solusi terhadap masalah (problem solving) yang sedang dihadapi.
“Yang terpenting SDM pariwisata Indonesia harus memiliki kemampuan self management secara baik yakni belajar secara aktif, mandiri, mampu mengelola stress, dan luwes/mampu menyesuaikan diri dengan perubahan situasi dan kondisi,” Ujar Dean of UPH School of Hospitality & Tourism itu. Diingatkan, sekitar 40% tenaga kerja perlu menyesuaikan keterampilannya selama enam bulan pada tempat kerjanya, sehingga sebelum terjun ke pasar kerja pariwisata, seorang calon naker sudah harus menyadari situasi tersebut.
Foto: Semiloka dwiwindu ilmu pariwisata yang digelar di Kampus Poltekpar Bali, pada Senin 25 Maret 2024. Ada tiga pembicara yang hadir kala itu yakni Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt; Prof. Azril Azahari, Ph.D dan Prof. Dr. Diena Mutiara Lemy, A.Par., M.M., CHE.
Prof. Lemy memaparkan dalam upaya menguasai kemampuan berpikir kritis dan problem solving ada enam tingkatan proses pembelajaran yakni mengingat (remember), mengerti (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analysis), mengevaluasi (evaluate) dan menciptakan (create). Saat ini kemampuan SDM Pariwisata Indonesia baru berada di level tiga yakni mengaplikasikan, sehingga kedepannya perlu ditingkatkan agar memiliki kemampuan menganalisis, mengevaluasi ataupun menciptakan.
Peringatan tersebut disampaikan mengingat jumlah tenaga kerja pariwisata Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tahun 2021jumlah tenaga kerja pariwisata Indonesia mencapai 21,26 Juta atau 16,22% dari angkatan kerja Indonesia. Hal ini berarti dari 100 penduduk yang bekerja ada 16 orang pekerja pariwisata. Berdasarkan jenis pekerjaan di sektor pariwisata yang paling banyak digeluti perdagangan barang-barang pariwisata (41,75%), diikuti penyedia makanan dan minuman (39,75%) dan penyedia jasa angkutan darat (9,64%).
Meningkatkan kinerja sektor pariwisata dalam menopang perekonomian Indonesia, mengingat pariwisata berkontribusi 10% lapangan kerja di seluruh dunia, menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di banyak negara, serta dapat membuka akses dan jaringan yang luas. Ilmu yang dipelajari saat menempuh pendidikan pariwisata mencakup beberapa bidang yakni produksi makanan/kuliner, resto dan café, manajemen hotel, event tourism planning, dan kolaborasi proyek.
Masalah utama kualitas SDM pariwisata belum mampu mendongkrak daya saing pariwisata, pada tahun ditemukan sebanyak 50,82% hanya lulusan sekolah dasar, 41,43% lulusan SMA/sedrajat serta lulusan pendidikan tinggi (PT) hanya 7,75 persen. “Kebanyakan dari lulusan PT adalah jenjang diploma yang memiliki keterampilan mumpuni dibidang makan, sapu, cuci (MSC), untuk meningkatkan daya saing pariwisata dibutuhkan kualitas yang lebih dari sekedar aplikasi tetapi mampu menciptakan sekaligus memberikan solusi terhadap permasalahan,” papar Prof. Lemy.
Untuk mendorong peningkatan SDM Pariwisata Indonesia yang unggul, Prof. Lemy mengajak semua pihak terutama pengelola PT pariwisata untuk memperkokoh eksistensi ilmu pariwisata sebagai ilmu mandiri. Caranya yaitu menyusun filsafat dan kerangka ilmu pariwisata, memastikan ilmu pariwisata diterapkan dengan tepat, dan PT yang berkualitas mengawal ilmu pariwisata.
Ilmu pariwisata, katanya, harus memiliki kurikulum dengan muatan cognitive ability atau kemampuan tinggi secara rasional dan logis bidang pariwisata, the ability to understand system (kemampuan memahami sistem kepariwisataan secara tepat), dan ability to solve complex problem (kemampuan mengatasi masalah yang sangat rumit dalam pengelolaan pariwisata). Kemampuan lain yang harus dimiliki pekerja pariwisata adalah mengelola emosi dan hubungan sosial maupun life skill. Life skill yang dimaksud kemampuan komunikasi dan berpikir kritis.
Bagi Prof. Lemy, meningkatkan kualitas SDM Pariwisata adalah sebuah keharusan dalam menobang keberlanjutan sektor pariwisata yang telah menjadi sektor andalan di Indonesia. Dia menekankan sangat setuju dengan lima pilar pembangunan pariwisata berkelanjutan yakni sumber daya alam, perencanaan, masalah ekonomi, kebutuhan pendidikan, dan kesadaran akan pariwisata.”Jadi mari kita jaga dan rawat Indonesia melalui pariwisata,” pesan Prof. Lemy saat memungkasi presentasinya di depan peserta semiloka yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. [T]