SENGANAN kuyup pagi itu, termasuk di wilayah Banjar Pagi. Aspal basah mengilat dan tampak licin. Seekor anjing jalanan melingkarkan tubuh di teras warung klontong yang sepi. Sedang ekornya tak berhenti bergerak, mengusir lalat nakal yang hinggap di borok dekat pinggangnya.
Musim memang nyaris tak bisa ditebak. Tiba-tiba panas, sekelebat hujan deras. Dan tak jarang itu terjadi secara berbarengan. “Hujan seperti ini bisa bikin sakit,” ujar Made, pemuda setempat, yang mengantarkan kami (saya dan Tim Tatkala) ke Pura Subak Ganggangan, Banjar Pagi, Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, pagi itu.
Gerimis kembali mendaulat Banjar Pagi. Sekejap datang, selintas pergi. Tapi di tengah gerimis yang penuh dengan ketidakpastian itu, para perempuan tua, paruh baya, dan setengah baya, berbondong-bondong mengular di jalan menuju Pura Subak Ganggangan.
Mereka menyembul dari balik tanjakan, kelokan setapak, dan dari ujung jalan yang jauh. Dengan pakaian adat dan banten yang disunggi di kepala, mereka berjalan kaki. Sedang beberapa lainnya memilih mengendarai motor bergigi bikinan Jepang yang sudah tua.
Pura Subak Ganggangan teronggok sederhana dan kecil saja, tak megah dan jauh dari kata mewah. Tapi lumut hijau yang menyelimuti pagar temboknya, membuat kesan tua dan kemagisannya tak bisa disembunyikan.
Sepertinya anggota Subak Ganggangan tak terlalu peduli dengan bentuk, tapi esensi yang lebih penting. Padahal, umumnya hari ini, tempat-tempat ibadah—nyaris di agama apa pun—dipermak mewah dan megah. Tak apa kehilangan esensi, yang penting tampilan tak boleh diabaikan. Yang miris, demi mendapat kesan mewah, pembangunan tempat ibadah sampai membuat umatnya susah.
Di depan pintu dan di samping kanan pagar Pura Ganggangan, sawah terhampar, lengkap dengan padi yang baru saja hidup setelah dipindah-tanamkan, parit yang deras mengalir, pohon kelapa yang melambai, setapak berkelok, dan bunga-bunga mekar basah berembun, bagaikan lukisan di kanvas maestro naturalis.
Bak negeri impian, di sekitar Pura Ganggangan tentu saja juga ada kicau burung, capung, gubuk kecil di pertigaan pematang, dan keramah-tamahan manusianya yang tulus—bukan jenis keramah-tamahan sebagaimana yang sering kita jumpai di berbagai tempat elit di kota-kota.
Di sana lah, di pura kecil yang magis itu, sedang berlangsung upacara Pamungkah—upacara pertama yang dilakukan petani Banjar Pagi setelah 42 hari (abulan pitung dina) padi dipindah-tanamkan dari persemaian ke lahan yang lebih luas.
“Untuk memohon berkah, agar padi yang telah ditanam di subak kami tumbuh subur. Kami juga memohon doa di Pura Ulun Siwi Batu Lumbung,” ujar seorang lelaki tua yang menunggu sang istri di luar pura—istri bapak tua itu sedang menghaturkan doa dan menunggu air suci yang akan dibagikan oleh pemangku agama di Pura Ganggangan.
Desa Adat Pagi sebagai krama Subak Ganggangan, masih memiliki hubungan dengan Pura Batu Lumbung yang berdiri diDesa Adat Soka. Secara fisik, sampai saat ini, orang-orang Pagi masih mengakui bahwa salah satu bangunan palinggih yang ada di Pura Batu Lumbung adalah milik krama Ganggangan.
Tapi terlepas dari itu semua, sebagaimana telah diketahui banyak orang, Tabanan merupakan rumah subur bagi padi. Di beberapa wilayahnya, termasuk di Banjar Pagi, padi tak hanya dianggap sebagai tanaman pokok yang menyuplai hampir seluruh perut manusia Indonesia, tapi juga dihormati sebagai manifestasi Dewi Sri, sang dewi kesuburan.
Tak jauh dari Senganan, di Subak Aya Pemanis, misalnya, petani menganggap sawah sebagai tempat yang tak main-main. Di sana sawah sangat dijaga. Tak sembarang orang dapat mendirikan bangunan apa pun di atasnya. Begitu pula di Subak Ganggangan di Banjar Pagi, para petani berusaha untuk tidak mengalihfungsikan lahan-lahan pertanian mereka menjadi hunian atau bagunan lainnya.
***
Di Tabanan, lumbung adalah identitas. Tabanan menempati peringkat pertama dalam produksi padi dibandingkan wilayah lain di Provinsi Bali. Orang-orang BPS Bali tahun 2021 mencatat, Tabanan menghasilkan 169.562 ton padi. Sedangkan produktivitasnya mencapai 5,76 ton per ha. Sampai tahun 2023, Tabanan masih menempati podium pertama dengan 171.023 ton, meningkat daripada tahun sebelumnya.
Namun, di balik melimpahnya produksi padi dan beras di Tabanan, alih fungsi lahan juga cukup masif di sini. Aktivitas manusia yang mengancam luas area persawahan itu, sejak 2008 telah menggerogoti Tabanan sampai hari ini. Selama tiga tahun terakhir, periode tahun 2019 sampai dengan tahun 2022, luas alih fungsi lahan pertanian di Tabanan mencapai 322,15 hektar.
Di Kecamatan Kediri, misalnya, alih fungsi lahan sawah sebagian besar masuk kategori terbangun (sektor perumahan) dengan luas mencapai 11,64 hektar. Ini diprediksi akan terus bertambah di tahun-tahun yang akan datang.
Pada 2019, menurut catatan Kementerian Pertanian, Bali memiliki luas baku sawah (LBS) 70.996 ha. Sedangkan kebutuhan lahan untuk pangan masyarakat Bali pada tahun tersebut idealnya 81.195 ha. Dan angka ini diperhitungkan meningkat menjadi 87.639 ha pada 2025; naik lagi menjadi 93.541 ha pada 2030; dan menjadi 99.981 ha pada tahun 2035.
Dengan perhitungan seperti ini, neraca kebutuhan lahan pangan di Bali mulai tahun 2019 sudah mengalami defisit. Untuk mengatasi hal ini, sekaligus tak hanya menggantungkan perekonomian kepada sektor pariwisata, pemerintah Bali berkomitmen untuk meningkatkan luas baku sawah (LBS) untuk LP2B dengan mencetak sawah baru di Buleleng dan Karangasem seiring selesainya pembangunan bendungan di kedua kabupaten tersebut.
Namun, pada kenyataannya, nyaris setiap tahun, 600 hingga 1000 hektar lahan pertanian Bali beralih fungsi menjadi perumahan, hotel, restoran maupun bangunan lain yang menopang industri pariwisata dan industri lainnya. Dampak dari itu, tak banyak petani di Bali memiliki lahan yang luas.
“Tapi di subak ini, kami berusaha untuk tidak membangun apa-apa di sawah. Kalau satu sudah membangun, nanti bakal merembet, yang lain akan ikut-ikutan,” kata lelaki tua yang mengaku pensiunan kepala sekolah dasar itu.
Gerimis belum beranjak. Parit di sisi setapak deras mengalir. Airnya keruh, tak sejernih zaman dulu, kata Made. Mahasiswa Universitas Udayana itu berusaha mengingat-ingat masa kecilnya, saat parit-parit di Banjar Pagi masih bisa digunakan membersihkan badan. Saat ini, katanya, air yang deras mengalir itu sudah tercemar banyak hal, termasuk kotoran yang dikirim dari peternakan ayam yang berjibun di sana. “Kalau mandi di situ gatal-gatal sekarang,” kata Made.
Meski demikian, petani Banjar Pagi sebenarnya masih dapat mengontrol penggunaan pupuk maupun pestisida kimia. Mereka lebih banyak menggunakan pupuk organik berupa kotoran sapi, kambing, atau kompos. Oleh karena itulah, masih banyak serangga sawah yang dapat ditemui di Banjar Pagi.
Capung masih banyak di sana. Begitu pula dengan kumbang air—orang Bali menyebutnya klipes. Ada juga belut, belalang, keong sawah, dan serangga lainnya. Hewan-hewan kecil ini adalah tanda bahwa lingkungan Banjar Pagi masih bisa dibilang layak huni. Artinya, ekosistem di sana masih terjaga.
Ritual di Pura Subak Ganggangan masih berlangsung. Setiap ibu-ibu yang datang, sebelum masuk ke dalam pura atau sebelum pulang meninggalkan pura, tak lupa memetik ranting bambu tali—orang setempat menyebutnya tiying buluh—yang berisi daun barang tiga atau empat lembar yang tumbuh tepat di depan pintu masuk pura. “Ini sudah dilakukan dari dulu,” ujar seorang bapak lainnya yang juga sedang menunggu istrinya yang sembahyang.
Setelah ritual Pamungkah selesai, ranting tiying buluh itu akan diikat kasah merajah di sanggah badeng yang berdiri di sawah masing-masing petani anggota Subak Ganggangan. Para petani itu, selain meletakkan tiying buluh, juga akan menyiramkan air suci yang sudah didoakan di Pura Subak Ganggangan ke petak sawah masing-masing.
Tetapi, selama upacara Pamungkah berlangsung, tak satu pun saya melihat anak muda yang berpartisipasi. Entah laki-laki maupun perempuan. Saya tidak tahu, apakah upacara ini memang hanya dilakukan orang tua atau justru, dan ini yang mengkhawatirkan, di Banjar Pagi tak banyak pemuda yang menjadi petani?
Entahlah. Saya tak menanyakan hal tersebut kepada bapak tua pensiunan kepala sekolah itu. Mungkin lain kali, atau malah tidak sama sekali. Saya belum memikirkannya lagi.[T]