SUASANA rapat dekanat itu terasa panas. Penyebab utamanya adalah topik sensitif yang sedang mereka bahas, yaitu terkait dana sumbangan pengembangan institusi (SPI). Sebab lainnya adalah cerita lama konflik perbedaan pandangan antarpejabat tinggi di lingkungan fakultas kedokteran tersebut.
“Saya rasa, SPI sudah punya dasar peraturan menteri dan rektor mengizinkan!” Seperti biasa, Pak Dekan bicara pelan dan hati-hati.
“Kira-kira, apa kekhawatiran Pak Wadek?” Dekan tersebut menatap Dokter Tulus, Wakil Dekan (Wadek) Keuangan, yang berada di samping kirinya.
Dokter Tulus duduk bersebelahan dengan seorang wanita yang adalah Kepala Biro (Karo) Keuangan di universitas itu. Di hadapannya, tampak dua orang Wakil Dekan lain menampilkan mimik kurang simpatik.
“Begini, Pak Dekan Prof Yoga. Saya bukan tidak mengetahui Peraturan Menteri maupun sikap Rektor seperti yang Prof sampaikan tadi!” Kata-kata Dokter Tulus diucapkan dengan nada yang kuat.
“Lalu masalahnya apa?” Salah seorang Wakil Dekan memotong, tak kuasa menahan perasaan antipatinya. Ia laki-laki yang jauh lebih muda dari Dokter Tulus, seorang dokter yang kelihatannya cerdas.
Dokter Tulus tampak kurang suka dan mengalihkan pandangannya kepada sejawatnya itu. Ia mengangkat tangannya, memberi kode kepada juniornya itu.
“Sebaiknya Anda diam dulu, kasi saya kesempatan bicara!” ucap Dokter Tulus hampir menghardik.
Prof Yoga tampak setuju dengan Dokter Tulus, dengan memberi kode kepada wakil yang duduk di samping kanannya agar diam dulu. Sementara yang dimaksud cuma mengangkat bahu, memalingkan muka dan tampak dari gesturnya sedang mengerak-gerakkan lututnya. Sebuah gestur meremehkan. Tentu saja ia merasa berada pada posisi yang kuat dan benar, bersama Dekan, Rektor maupun Menteri.
“Bagi saya, SPI ini adalah bentuk komersialisasi pendidikan. Itu kurang bermartabat Prof!” Intonasi bicara Dokter Tulus semakin gigih.
Kedua wakil dekan yang lain tersenyum mencibir.
Dr Tulus melanjutkan. “Yang saya pahami, penerapan Peraturan Menteri tersebut tidak harus demikian. Ini mirip seperti, meskipun sebagai pegawai negeri kita diberikan cuti sebanyak 12 hari dalam setahun, toh kita tidak harus mengambil semuanya. Demikian yang saya pahami Prof!” Dokter Tulus memberi sebuah ilustrasi.
Dekan lalu membalas. “Ya betul, saya setuju, Dok. Artinya, jika mengambil cuti penuh sebanyak 12 hari pun, tidak salah juga kan?” Pandangan guru besar tersebut menyapu mata seluruh yang hadir. Tersirat, ia meminta pendapat atau lebih tepatnya persetujuan.
Semuanya mengangguk, kecuali dr Tulus.
“Maaf Dokter Tulus, sebaiknya Anda tidak memakai urusan pribadi sebagai komparasi. Cuti itu urusan personal. SPI ini kepentingan fakultas. Kok sepertinya Anda kurang proporsional saat ini?” Sejawatnya yang lebih muda itu kembali mengkritisinya dengan sengit. Terkesan berani.
Rekan wadek satunya lagi pun menimpali. Ia satu-satunya wadek wanita, juga lebih muda dari dr Tulus. Tampak enerjik dan ambisius. Seorang dokter yang baru saja meraih gelar doktor.
“Kami menghargai sikap idealis Dokter Tulus. Tapi, pikirkan juga dong fakultas kita yang sedang berkembang ini. Semuanya juga melakukannya kok!” kata sejawatnya yang muda itu.
Akhir ucapannya diikuti tatapannya tepat ke wajah wanita di depannya, pejabat Kepala Biro keuangan universitas yang sedari tadi belum memberikan pendapat apa pun. Ia menyikapinya dengan kikuk.
Terbawa suasana diskusi yang agak panas tersebut. Pak Dekan seakan terpengaruh.
“Izin Bu Karo, mohon jika Ibu ada saran atau pesan bapak Rektor?”
Wanita itu memperbaiki posisi duduknya. Merapikan map dan sejumlah dokumen yang ia bawa serta. Namun tak membukanya.
“Terimakasih Pak Dekan dan Bapak Ibu Wakil Dekan!” Wanita itu begitu formal.
“Saya hanya ingin menyampaikan pesan pak Rektor. Kampus kita dapat menerapkan pemungutan dana SPI. Beliau melihat memang ada realitas kebutuhan dana. Untuk rasionalisasi besarannya diserahkan kepada masing-masing fakultas!”
“Jika kita tidak menerapkan ini, menurut Dokter Tulus, bagaimana kita dapat melakukan pengembangan fakultas. Bagaimana skemanya?” Prof Yoga menodongnya.
Dokter Tulus segera menjawab. Seakan telah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. “Saya rasa masih ada begitu banyak opsi yang akan bisa kita ambil Pak Dekan!”
Dokter Tulus tampak bersemangat, menyapu wajah rekan-rekannya sesama Wadek, lalu tubuhnya agak serong ke arah Dekan. Sebelum Dokter Tulus melanjutkan pembicaraannya, Prof Yoga tiba-tiba menyela dan mempersilakan.
“Ayo Dok, ayo Bu Karo, disambil kudapannya!” Tangan Prof Yoga mempersilakan sambil tersenyum. Ia hendak meredakan ketegangan. Dan ketegangan itulah yang membuat kudapan di ruang rapat itu belum tersentuh.
Dokter Tulus kemudian memaparkan gagasannya.
“Pada dasarnya, pelaksanaan pendidikan tersebuat adalah kewajiban negara. Negara wajib mendukung pengembangan pendidikan, pada setiap aspeknya. Bukanlah hal yang elok, mengutip dana dari peserta didik dengan dalih pengembangan fakultas. Apalagi dalam jumlah sampai ratusan juta, bahkan miliaran. Mereka sudah dikenakan kewajiban membayar SPP, Pak Dekan. Yang dibutuhkan anak didik saat ini adalah kegiatan belajar mengajar dan praktek. Saya rasa, saat ini fakultas cukup memadai untuk itu. Jika untuk pengembangan, kita masih punya cukup waktu untuk mengatur upaya dan strategi!”
Prof Yoga menyimak dengan seksama gagasan yang diutarakan dengan begitu lugas oleh Dokter Tulus. Dalam hatinya salut.
Sementara kedua koleganya sesama Wadek, berusaha melawan hati kecil mereka yang sejujurnya mengakui gagasan Dokter Tulus logis dan benar, dengan memasang sikap tak memberi perhatian atau anggukan. Bagi mereka, ide-ide Dokter Tulus terlalu tradisional dan konservatif. Mereka berdua terus menekan Dekan untuk konsep pengembangan fakultas kedokteran yang cepat dan progresif.
Dr Tulus tak peduli.
“Untuk pengembangan, Prof, kita dapat mengajukan hibah. Itu bisa kita ajukan ke pemerintah pusat maupun daerah, swasta atau funding luar negeri. Hal apa yang kita ingin kembangkan? Apakah gedung, IT-nya atau yang lain. Mungkin beasiswa ke luar negeri. Seperti yang akan mulai berjalan di tahun ini. Proposal beasiswa kita yang telah di-approve oleh Universitas Cambridge. Kenapa tidak? Kita punya rekan-rekan hebat dan cakap yang bisa membantu membuatkan proposal. Rekan-rekan Wadek, saya juga yakin, jago membuat proposal.”
Pandangan Dokter Tulus bergeser ke arah para Wadek. Dokter Tulus, meskipun keras dalam memegang prisip, ia tak pernah medendam kepada siapa pun. Kedua Wadek yang dipujinya bersikap skeptis.
“Maaf Prof. Saya selaku pembantu Pak Dekan, dalam urusan keuangan, punya firasat kurang baik teerkait SPI ini. Entah sekarang atau nanti. Saya juga ingin mengingatkan rekan-rekan semua. Hal-hal yang mudah kita raih, biasanya mudah pula memberi kita masalah di kemudian hari.”
Ada nada cemas dalam ucapan Dokter Tulus.
***
Siang menjelang sore itu, Dokter Tulus sedang dalam perjalanan dari salah satu gedung perkuliahan menuju kantornya. Selaku Wakil Dekan, ia masih mendapat jadwal untuk memberi kuliah ilmu penyakit saraf. Langkahnya berhenti melihat salah seorang anak didiknya, Adelia, yang berjalan tergesa-gesa ke arahnya. Adelia adala salah seorang mahasiswi kandidat penerima beasiswa ke Cambridge.
Dokter ahli saraf itu sangat peka. Gadis berkaca mata itu tampak resah. Meskipun Dokter Tulus begitu low profile dan dikenal sangat mudah menerima mahasiswa, Adelia tetap merasa sungkan. Ia takut menganggu gurunya yang baru habis mengajar itu.
“Hai, Adel, ada apa? Kok kamu tegang?”
Bahkan guru itu telah menyapa Adelia lebih dulu, sebelum Adelia yang gugup itu menyapanya.
“Oh, anu, Dok… Maaf sekali saya mengganggu Dokter. Eh, anu Dok…” Adelia tak mampu menyelesaikan ucapannya.
Tiba-tiba Dokter Tulus mengusap bahunya.
“Hai, tenang. Tidak apa-apa. Ayo kita ngobrol di kantin saja yuk. Biar lebih santai. Kebetulan ini jam saya ngopi!” Dokter Tulus menghibur sambil menunjuk kantin kampus, beberapa meter dari mereka. Kantin itu sangat bersih, dengan interior gaya minimalis kantin itu dilengkapi perpustakaan mini dan tentu saja wifi gratis. Mereka duduk berhadapan. Adelia melepaskan tas ranselnya.
“Bagaiman Adel? Kapan tes jadi dilakukan?”
“Itu yang menjadi masalah, Dok.”
“Masalah?”
”Iya, Dok. Yang rencananya dilakukan secara digital, hari ini kami dengar dari Ibu Wadek, tes akan dilakukan secara manual dan porsi nilai wawancaranya dinaikkan sampai 50 persen.”
“Apa-apaan ini? Itu akan membuat tes menjadi sangat subyektif!”
Nada suara Dokter Tulus meninggi.
“Model tes itu sudah sesuai dengan aturan yang dikeluarkan pihak universitas penerima. Kok seperti main-main ya? Ini urusan sangat serius lho!”
Dokter Tulus selalu tampak gusar jika terjadi hal-hal yang tak semestinya.
“Betul, Dok. Menurut informasi teman-teman, model tes diubah memang karena ada kandidat titipan!”
Nada bicara Adelia terasa sedih. Dokter Tulus menggeleng kecewa. Ia mencicipi kopi hitam kegemarannya, tanpa gula dan tak mau diaduk dengan sendok. Ia meyakini, dengan begitu cita rasa kopi yang asli akan tetap ia peroleh.
“Saya sedih, kampus ini mulai dijangkiti gejala pragmatisme yang kian menular.” keresahan mengenai isu SPI masih menggelayuti hati dan pikirannya. Adelia hanya bisa menatap dosennya yang sangat bersih itu dengan perasaan kagum.
“Jika dimaksudkan untuk tes psikologis, kalian toh sudah menjalaninya dan dari catatan akademik, semua kandidat tidak punya catatan apa pun. Jika untuk tes bahasa, nilai TOFEL pun sudah valid. Lalu apa?”
Dokter Tulus kembali menggeleng, pandangannya menerawang ke gedung tempatnya baru saja memberi kuliah. Gedung penjaga harapan bagi lahirnya para dokter berkualitas dan berintegritas. Lalu ia menunduk. Gestur yang seakan telah menyerah.
“Adel, terima kasih informasinya ya. Besok pagi saya langsung bertemu Pak Dekan. Kamu jangan gentar, jalani saja tesnya. Apapun model yang nanti diputuskan, hadapi saja. Kamu pasti bisa!”
Dokter Tulus mengusap bahu mahasiswi yang masih ragu-ragu itu.
***
Sudah beberapa kali Dokter Tulus hendak bertemu Dekan, namun belum juga dapat diterima. Dekan lebih sering rapat di rektorat dan anehnya hanya bersama dua orang rekannya, Wadek yang lain. Ia pun tak sekali dua kali mendengar isu, jabatan dirinya bakal segera dicopot. Dengan dalih, sikapnya yang terlampau kaku dan sulit mengakomodasi berbagai kepentingan. Terutama di era yang semakin pragmatis ini.
Namun demikian, Dokter Tulus tetap mengisi jadwal perkuliahannya dengan antusias dan semua tugasnya sebagai Wadek Keuangan seperti biasa. Kalau toh ia harus berhenti sebagai Wadek, dirinya sudah senang karena telah meninggalkan berbagai legacy untuk institusinya. Selain program beasiswa prestisius, ia telah mengajak pakar dari berbagai kampus ternama di luar negeri berbagi ilmu ke kampusnya dan hibah sarana laboratorium dari pihak swasta maupun diaspora.
Berbagai hal yang telah diwujudkannya tersebut telah membuatnya yakin bahwa SPI itu belum mendesak saat ini. Bahkan mungkin juga untuk selanjutnya. Jabatan baginya sudah menjadi tak penting, jika bukan untuk menciptakan yang terbaik bagi institusi.
Sampai akhirnya ia mendapat informasi valid, telah diputuskan SPI tetap berjalan dan sebuah lagi gangguan lain baginya, tes beasiswa Cambridge telah dilakukan dan tidak sesuai dengan ketentuan awal. Maka ia bertekad untuk bisa bertemu Dekan. Namun untuk kesekian kalinya, hal itu tak dapat terwujud.
Lalu ia menempuh jalan lain, jalan yang lebih jauh. Dokter Tulus membuat surat pengunduran dirinya sebagai Wadek kepada Rektor. Pun telah menyiapkan dirinya untuk mengajukan pensiun dini sebagai ASN. Ia memutuskan semua itu bukanlah atas kemarahan dan kekecewaan. Perasaan-perasaan seperti itu baginya bersifat sesaat. Ia mengambil keputusan dengan sadar dan bahagia. Karena setelah memberi hal-hal baik kepada institusinya, ia pun undur pamit saat integritas dirinya masih terjaga utuh. Lebih bahagia lagi, menedengar anak didiknya Adelia lulus tes dan dalam beberapa minggu akan belajar di Universitas Cambridge selama setahun ke depan.
***
Enam bulan kemudian.
Hati dan perasaan Adelia begitu menggebu. Dengan langkah cepat, ia memasuki halaman kampus. Saat itu hari Jumat, ia perlu terburu-buru karena hari pendek. Ia harus bertemu Dokter Tulus di kantornya untuk memberinya oleh-oleh yang dibawanya dari Inggris. Mahasiswi peraih beasiswa itu mendapat liburan semester selama dua minggu. Ia harus bertemu Dokter Tulus sebelum gurunya itu meninggalkan kampus. Ia merasa sangat bersalah, gara-gara program di kampus barunya yang sangat padat membuatnya tak sempat menanyakan atau mengirim kabar kepada wakil dekan yang begitu sering membantu dan memberinya perhatian.
“Maaf, Dik, Dokter Tulus sudah tidak bertugas di sini lagi.”
Seseorang di meja front office memberinya informasi.
Adelia perlu mengulangi pertanyaanya karena mengira pendengarannya salah.
“Maaf, Mbak, dr Tulus, Pak Wakil Dekan Keuangan, apakah hari ini ada di kantornya?”
“Saya memang kebetulan staf baru di sini. Namun Dokter Tulus memang sudah tidak di sini lagi.” Petugas itu menoleh ke rekan yang duduk disampingnya. Rekannya memahami. Lalu menegaskan keterangan rekannya tersebut. “Betul, Dik, Doter Tulus sudah tidak bertugas di kampus ini!” katanya datar.
Adelia kaget, hatinya tak karuan. Pikiranya berkecamuk dengan berbagai spekulasi. Tanpa disadari, tangannya telah meremas bingkisan yang dibawanya. Untunglah ia segera menyadarinya. Lalu cepat-cepat mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang timbul dari harapan yang merayap dari alam bawah sadarnya.
“Tapi beliau masih mengajar di sini kan?” tanya Adelia penuh harap.
Kedua petugas itu menggeleng. Suasana terasa begitu lengang. Adelia merasakan perih ulu hatinya dan dadanya sesak. Genangan air mata yang memenuhi sudut matanya sudah hampir menetes dan sesak dadanya sudah nyaris mendorong tenggorokannya untuk terisak. Ia buru-buru berbalik, dalam kebingungan satu-satunya tempat terdekat yang ia masih ingat adalah kantin. Sembari melangkah, ia terus mengusap air matanya yang kian deras mengalir, ia medorong tubuhnya yang digerogoti kesedihan mendekati kantin yang cozy itu.
Sampai di sana, ia telah mengendalikan perasaanya. Adelia langsung menyerbu ke dapur ibu kantin. Hampir semua mahasiswa akrab dengan ibu kantin yang sabar itu. Karena anak-anak paling sering nongkrong mengisi waktu mereka di sana. Entah buat makan, cuma mencari kudapan, memanfaatkan wifi gratis, berdiskusi, membuat tugas dan tentu saja juga buat bertemu pacar.
“Ehhh, Adel! Kapan kamu datang?” Ibu kantin surprise mendapati Adelia di hadapannya.
“Baru kemarin, Bik!” Adelia berusaha ceria.
“Kok bibik kayak lesmes?”
“Sini Adel, kita duduk di dalam!” Ibu kantin menariknya ke dalam. “Sejak kamu berangkat, banyak yang tak baik terjadi, Adel.”
Muka ibu kantin sedih.
“Dokter Tulus telah mengundurkan diri. Sampai hari ini belum ada yang menggantikannya. Lalu baru minggu lalu, Pak Rektor dan Pak Dekan, bolak-balik didatangi aparat!”
“Lho, ada apa rupanya, Bik? Kok ada aparat yang datang ke kampus kita?” Adelia tiba-tiba ingat dengan suasana lengang dan suram di meja front office tadi.
“Bibik dengar, desas-desusnya soal dana sumbangan mahasiswa baru!”
Dalam pikirannya yang masih kacau, Adelia mulai menata puzzle yang segera membentuk bangunan utuh kejadian yang sedang dihadapinya.
***
Adelia menunggu dengan sabar, sampai pasien terakhir Dokter Tulus keluar ruang prakteknya.
“Hai Adel!”
Adelia kaget, karena Dokter Tulus menyambutya ke luar. Meski sudah merupakan hal biasa bagi gurunya yang ahli saraf itu, menyambut dengan hangat semua anak didiknya, Adelia selalu surprise dan kagum. Adelia cuma bisa tersenyum dan mengangguk penuh rasa hormat.
“Ayo kita ngobrol di dalam. Ruang praktek saya kayak kantin kampus juga kok, hehehe.” Dokter Tulus berkelakar.
Dokter Tulus memegang bahu Adelia dan mengajakanya ke dalam ruang prakteknya. Faktanya, ruang praktek itu memang apik. Ada sofa kecil, disiapkan kalau-kalau ada tamu atau kawan yang perlu bertemu mendesak saat Dokter Tulus berpraktek. Ada beberapa tanaman indoor dan tentu saja koleksi buku memenuhi rak mini di sudut ruangan. Seorang suster asisten tampak sedang merapikan meja praktek dokter neurolog itu.
“Keren ya, sudah jadi orang Inggris kamu sekarang. Ayo dong bagi ceritanya!”
Adelia tersipu malu.
“Dok, saya sedih Dokter mengundurkan diri. Saya merasa bersalah karena pasti salah satunya karena perubahan model tes beasiswa itu.”
Dokter Tulus membelalakkan bola matanya sambil tersenyum. Sedikitpun tak tampak bekas rasa kecewa dari sinar matanya.
“Lho, toh kamu tetap lulus juga kan, Adel. Kalau misalnya gara-gara itu kamu dan teman-temanmu yang bukan titipan tidak lulus, barulah saya punya alasan untuk kesal.” Jelas Dokter berusaha mengibur anak didiknya itu.
“Ada kok, Dok, yang akhirnya gak lulus.” Adelia cepat membalas. Dokter Tulus berusaha tak menanggapi.
“Saya juga minta maaf ya, karena saat mengundurkan diri saya tidak berkabar. Takut mengganggu studimu.”
“Ya, Dok!”
“Akhirnya, inilah tempat terbaik saya sekarang.’ sambil tersenyum, matanya menyapu seluruh ruang prakteknya yang cukup luas.
“Yang selama ini sering saya tinggalkan untuk urusan fakultas. Juga yayasan sosial yang saya dirikan. Sekarang, saya bisa lebih sering bergabung dalam melayani orang-orang kurang mampu.”
Adelia tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.
“Dok, izin nanti saya ikut melayani ya?”
“Ayo, harus! Dokter-dokter muda harus menjadi solusi buat bangsa!”
Adelia mengangguk yakin. Lalu ia menyampaikan… “Dok. Saya dengar, Pak Rektor dan Pak Dekan didatangi aparat terkait dana sumbangan mahasiswa. Para Wadek pun telah dipanggil!” Adelia menunduk setelah menyelesaikan ucapannya.
Dokter Tulus begitu kaget. Apa yang selama ini ia takutkan, akhirnya menjadi kenyataan. Adelia sudah menduga respon gurunya itu, salah satu orang terbaik dan paling tulus yang ia kenal.
Dengan suara terbata-bata Dokter Tulus berkata. “Sedikitpun saya tak merasakan kesedihan saat melangkah meninggalkan kampus tercinta saya. Tapi, saat sejawat-sejawat saya kini mengalami masalah, saya sangat sedih. Saya merasa egois karena kini saya tidak bersama mereka lagi…”
Ia belum bisa menyelesaikan kata-katanya. Adelia menyadari genangan air mata di kedua sudut mata guru terbaiknya itu. [T]
Editor: Adnyana Ole
BACA cerpen-cerpan lain di rubrik CERPEN atau baca tulisan lain dari PUTU ARYA NUGRAHA