SENJA menuju malam, jalanan di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng, seperti lautan api. Api bergerak-gerak, kadang cepat kadang lambat, disertai percik dengan asap tipis membubung ke langit.
Senja itu tepat Hari Pengerupukan, sehari sebelum Hari Nyepi, Senin, 10 Maret 2024. Desa Padangbulia memang memiliki tradisi unik yang digelar setelah umat Hindu di desa itu menggelar tawur agung.
Senja terus bergerak hingga malam. Lautan api makin terasa terangnya, makin terasa panasnya. Warga desa, saat itu, secara serentak tumpah ke jalan, membawa api, lalu diadu, lalu dipadukan, lalu dimainkan, bersama sesama warga, bersama sesama teman.
Tradisi itu mereka warisi dari para leluhur mereka, dan dengan setia dilakukan setiap tahun. Tradisi itu disebut meamuk-amukan. Ada juga yang menyebut tradisi meputput.
Meamuk-amukan memiliki arti ngamuk atau pergerakan tak terkontrol, sementara meputput memiliki arti saling serang menggunakan alat tertentu.
Meamuk-amukan, tradisi perang api di Desa Padangbulia Buleleng | Foto: Dek Uka
Di Desa Padangbulia, sarana “saling serang” yang digunakan warga adalah sarana berupa daun, kelapa kering yang disebut danyuh. Daun kelapa kering itu diikat sedemikian rupa hingga menyerupai sapu lidi.
Daun kelapa kering atau danyuh yang dipakai meamuk-amukan itu sesungguhnya sudah tersedia di depan rumah masing-masing warga, atau di lebuh, di sepanjang jalanan desa. Daun kepala yang sudah diikat sedemikian rupa itu adalah bekas dari ritual mebuu-buu atau meobor obor.
Mebuu-buu atau meobor-obor adalah bagian dari rangkaian upacara tawur yang digelar pada setiap pengerupukan, sehari sebelum Nyepi. Ritual itu sebagai proses simbol pengusiran kekuatan jahat yang ada di setiap pekarangan dan rumah rumah warga. Pada ritual mebuu-buu biasaya orang daun kelapa kering yang diujungnya sudah dibakar, dan membawa obor. Mereka berkeliling pekarangan rumah sambil melantunkan nyanyian sederhana.
“Mekaon mekaon, mangkin tilem kesange sampun kekaryanin bakti pecaruan gede ring tanggun desa, mekaon mekaon, ane nengkleng gandong ane buta dandan, mekaon mekaon”
Meamuk-amukan, tradisi perang api di Desa Padangbulia Buleleng | Foto: Dek Uka
Danyuh atau daun kelapa kering bekas ritual mebuu-buu lantas ditaruh di depan rumah. Lalu, setelah senja menuju malam, tanpa arahan para warga, mulai dari yang muda-muda, anak anak, hingga orang tua, satu persatu mengabil danyuh dan saling serang satu sama lain di jalanan. Danyuh dengan nyala apai itu diadu di udara. Satu sama lain saling berusaha untuk memadamkan nyala api pada danyuh lawan.
Mereka memilih lawan yang sebanding. Tidak ada aturan khusus yang tertulis di dalam melaksanakn tradisi ini. Semua bergerak berdasarkan kehendaknya masing-masing.
Meskipun begitu, setiap warga yang terlibat seperti sudah memahami bahwa yang boleh diserang atau diajak tanding adalah mereka yang danyuh-nya dalam keadaan memiliki nyala api, dan diacungkan ke atas.
Begitu juga, pada saat sudah beradu, bila salah satu dari mereka ternyata api danyuh-nya sudah padam, tak miliki nyala api lagi, maka pertarungan disudahi dan diganti oleh peserta yang lain.
Setiap atraksi meamuk-amukan selalu diiringi oleh tatabuhan ngoncang yang dilakukan oleh ibu-ibu maupun laki-laki.
Ngoncang sendiri adalah sebuah tradisi memukul ketungan atau alat menumbuk padi yang terbuat dari kayu yang berukuran cukup besar, juga biasanya memiliki panjang sekitar 3meter atau lebih. Pemukul kentungan atau penabuh ngoncang itu terdiri dari beberapa orang menggunakan luu atau tongkat kayu yang memiliki cekingan di bagian tengah tengahnya, sehingga dari pukulan-pukulan itu dapat menghasilkan suara yang saling bersahutan. Iramanya sangat sederhana dan terdengar sakral.
Selain ngoncang, tetabuhan yang mengiringi tradisi meamuk-amukan juga berasal dari suara-suara pukulan benda lain yang sekiranya bisa menghasilkan suara yang keras, seperti memukul gelinding.
Apa itu gelinding? Nanti saya akan ceritakan lebih rinci tentang gelinding itu.
Jadi dapat dibayangkan betapa riuh dan ramainya suasana malam itu di sepanjang jalan desa.
Meamuk-amukan, tradisi perang api di Desa Padangbulia Buleleng | Foto: Dek Uka
Secara filosofis meamuk-amukan memiliki makna sebuah usaha untuk melepaskan dan membakar segala perasaan yang selama ini terkekang dalam diri manusia, seperti rasa marah, benci, sedih, gembira, dan senang. Sehingga hanya akan menyisakan ketenangan batin untuk besoknya, saat kita secara bersama-sama melaksanakan catur berata di Hari Suci Nyepi. [T]
Penulis: Gede Dedy Arya Sandy
Editor: Adnyana Ole