“Saat semua semakin cepat, Bali berani berhenti dan menyepi.”
Seperti itulah salah satu kutipan lirik lagu Navicula yang di bulan Maret akan selalu bergema. Lirik sederhana yang menjadi simbolis curhatan keagungan, curhatan keistimewaan, dan curhatan kedamaian. Segala curhatan untuk Bali sebagai pulau suci yang dikenal sebagai The Last Paradise. Bukan semata-mata karena alamnya, bukan semata-mata karena pariwisatanya, bukan juga soal budaya, adat, dan tradisinya. Hal ini tentang Nyepi, hakikat yang diyakini bisa merangkul segalanya.
Menimbang sifatnya yang bisa merangkul semua, tak pelak menjadikan Nyepi juga menggaet hitam dan putih. Di satu sisi, Nyepi begitu dikagumi karena menjadi hakikat pemberi kedamaian dalam satu hari. Ia mampu menghemat listrik, menahan adanya Sang Bhuta Polusi, serta mampu memberikan ruang bagi alam untuk tertawa kembali. Namun di sisi lain, Nyepi ternyata juga mampu mengundang ketidaknyamanan dan ketidaktahanan bagi beberapa oknum, sang pembuat keriuhan.
Tidak lepas dari ingatan, beberapa kasus keriuhan muncul menyertai hari suci Nyepi. Dari oknum fans sepak bola yang menghina Nyepi karena layanan televisi dan internet dihentikan sementara, kasus bule yang adu mulut dengan Pecalang karena mengalami kemacetan saat prosesi Nyepi yaitu Melasti, bahkan yang paling populis adalah oknum warga di Desa Sumberklampok yang membuka portal secara paksa untuk dapat pergi ke Pantai Segara Rupek di hari H Nyepi (Adnyana, 2023).
Tidak jauh berbeda dengan dunia nyata, dunia maya bahkan jauh lebih mengerikan. Tidak lepas dari ingatan ketika Pawai Ogoh-ogoh serangkaian Nyepi di Jakarta pada tahun 2023 lalu dikaitkan dengan festival penyembah setan di Brazil. Lebih lanjut di platform media sosial “X”, juga menampilkan oknum yang bercuit menggiring opini, bahwa Nyepi sebagai suatu budaya telah melarang umat Muslim menjalankan ajaran agamanya, yaitu Shalat Tarawih. Padahal berkaca dari sisi kesepakatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali dan yang sudah biasa berlaku di Bali, umat Muslim saat Nyepi tetap diperkenankan menjalankan Shalat Tarawih ke Masjid dengan himbauan berjalan kaki, serta diharapkan tidak memakai pengeras suara.
Jadi dari semua keriuhan tersebut, apakah memang benar Nyepiadalah sekedar budaya yang tidak boleh melangkahi agama? Dan Apakah seruan antara Nyepi dan toleransi hanya sekedar basa-basi?
Nyepi adalah Relasi Agama dan Budaya itu Sendiri
Menurut Clyde Kluckhohn, sistem religi yang dalam hal ini agama, merupakan salah satu bagian dari tujuh (7) unsur kebudayaan secara universal. Budaya adalah hakikat kompleks yang menyangkut tentang hasil olah budi-daya manusia berupa cipta, rasa, dan karsa. Sementara agama, lahir sebagai bagian dari dimensi budaya yang secara khusus memberikan pedoman keyakinan serta sistem pengatur tata cara peribadatan umat manusia di dunia (Sutarji, 2007).
Dari sisi landasan teologis, Nyepi secara konkret didasarkan pada sumber-sumber pustaka suci yang diyakini oleh umat Hindu. Hal ini dibuktikan dengan adanya Lontar Sri Jaya Kasunu, Lontar Sundarigama, dan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala yang memberikan pedoman umat Hindu untuk melaksanakan Nyepi beserta rangkaiannya (Gateri, 2021). Sehingga sudah jelas bahwa Nyepi bukan hanya sekedar budaya yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Melainkan Ia adalah hakikat dari relasi antara agama dan budaya, yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Sebagai contoh tentang tujuan Upacara Melasti sebagai awalan dari rangkaian hari suci Nyepi. Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala tertuang kutipan suci sebagai berikut: “Melasti ngarania ngiring prawatek Dewata anganyut aken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana.” yang terjemahannya: Melasti merupakan aktivitas mengiringi Para Dewata, guna menumbuhkembangkan sraddha dan bhakti kepada Tuhan, menghanyutkan segala kenestapaan dunia, penderitaan masyarakat, serta kotoran alam semesta (Gaduh & Ambarnuari, 2020).
Lebih lanjut tentang Tawur Agung Kesanga dan Nyepi yang terlaksana di Sasih Kadasa, dalam Lontar Seri Aji Kasanu disebutkan: ”….ring tileming sasih kesanga, patut maprakerti caru tawur wastanya, sadulur Nyepi awengi…” yang terjemahannya bahwa pada hari Tilem Sasih Kesanga, umat manusia wajib melaksanakan upacara Bhuta Yadnya, yaitu persembahan Caru yang dikenal dengan istilah Tawur. Disambung dengan perayaan Nyepi satu malam, dimana umat manusia diarahkan untuk melaksanakan Catur Bratha Penyepian yang terdiri atas: Amati Gni (Tidak menyalakan api, Amati Karya (Tidak boleh bekerja), Amati Lelanguan (Tidak boleh berhura-hura), dan Amati Lelungan (Tidak boleh bepergian).
Kemudian terakhir dari sisi praktis, pelaksanaan waktu dan sistematika rangkaian hari suci Nyepi tetap disesuaikan dengan adat, tradiri, dan budaya masyarakat setempat. Pelaksanaan prosesi Nyepi senantiasa bersifat fleksibel dengan tetap bersandar pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dikenal dengan Desa Mawicara, dimana umat Hindu dalam melaksanakan Penyepian selalu taat pada aturan tanah yang sedang mereka pijak, dan langit yang sedang mereka sedang junjung. Relasi agama dan budaya inilah yang pada hakikatnya menjadikan Nyepi istimewa.
Wajah Asli Nyepi adalah Ruang Harmoni
Disamping kasus-kasus dan berita miring tentang keriuhan, Nyepi pada hakikatnya merupakan ruang yang harmoni untuk menbar kedamaian. Sebagai bagian dari keluarga besar pulau Dewata, Nyepi beserta rangkaiannya sesungguhnya sudah lumrah dirasakan oleh semua pihak tanpa memandang latar belakang. Bahkan dengan kekhasan budayanya, Bali melalui Nyepi memberikan pandangan bahwa inilah hakikat Toleransi yang sesungguhnya. Bukan hanya sekedar riuk dari teori-teori belaka.
Dalam prosesi Nyepi, tidak jarang ditemukan pemandangan ibu-ibu berhijab yang memberikan minuman gratis pada umat Hindu yang sedang berjalan kaki menuju pantai saat Melasti. Terlihat juga pemandangan suara gong dan suara rebab yang saling bersahutan di penyambutan Hari Suci Nyepi yang berbarengan dengan Bulan Suci Ramadhan. Serta hal paling lumrah, pemandangan Pecalang (Pihak keamanan dari sisi adat) yang turut memberikan jaminan keamanan saat umat Muslim melaksanakan Shalat Tarawih di Hari Suci Nyepi.
Di dunia maya juga tidak mau kalah. Tidak jarang ada cuitan dari warganet yang mengagumi budaya Nyepi akan prosesinya yang beragam. Banyak warganet juga bersiul ingin melihat pawai Ogoh-ogoh dan turut merasakan sensasi Nyepi satu hari di Bali. Hal ini juga ditambah, dengan mulai munculnya daerah-daerah luar Bali yang berkenan memberikan ruang terbuka bagi umat Hindu untuk melaksanakan proses Melasti, pawai Ogoh-ogoh, hingga Nyepi.
Jadi dapat disimpulkan, entah keriuhan atau kedamaian adalah sisi yang pasti akan selalu mengiringi Nyepi di setiap eksistensi. Sekarang kembali lagi pada pilihan masing-masing Citta untuk apakah lebih fokus di keriuhannya? atau kedamaiannya? Terlebih ketika sudah mengenal baik Nyepi sebagai hakikat yang merangkul semua. Terlebih tahu bahwa Nyepi lahir dari relasi agama dan budaya yang begitu istimewa. Pilihan terbaik tentunya adalah memancarkan wajah Nyepi, sebagai relasi agama dan budaya untuk harmoni. [T]
Sumber Referensi:
Gaduh, A. W. & Ambarnuari, M. (2020). Perayaan Hari Suci Nyepi sebagai Implementasi Ajaran Yoga. Jurnal Yoga dan Kesehatan, 3(1): 22-37.
Gateri, N. W. (2021). Makna Hari Raya Nyepi sebagai Peningkatan Spiritual. Jurnal Ilmu Agama dan Budaya Hindu, 19(2): 150-162.
Sutardi, Tedi. 2007. Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Program Bahasa. Bandung: PT Setia Purna Inves.
BACA artikel lain tentang HARI NYEPI atau esai/opini lain dari penulis DEWA GEDE DARMA PERMANA