KAMIS, 21 Februari 2024, untuk pertama kalinya saya berkunjung ke daerah Subang, Jawa Barat. Saya ke sana untuk menemani dan menyusun perjalanan seseorang untuk bertemu pengrajin.
Kami berangkat dari sebuah hotel di kawasan Jakarta Barat. Semua sudah di atur, rombongan pun meluncur tepat pukul 9 pagi waktu setempat.
Perjalanan ke Subang akan di tempuh kurang lebih selama 5 jam perjalanan. Membayangkan perjalanan ini sama seperti bolak-balik dari dan menuju Bali Selatan kembali lagi ke Bali Utara.
Tepat jam 2 sore kami memasuki Kota Subang. Beberapa tugu tampak mengadopsi bentuk buah nanas. Dan, ya, nanas adalah komoditi melimpah di sini. Dan benar, tujuan kami di Subang juga adalah bertemu dengan pengarajin Serat Nanas Subang. Tepatnya di Desa Cikadu, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Setelah menyusuri jalan desa di tengah hutan, akhirnya kami sampai di tujuan. Di sana sudah ada Pak Hendi. Laki-Laki 55 tahun itu sedang menjemur beberapa serat daun nanas. Pak Hendi adalah bapak dari Pak Alan Sahroni, founder Serat Nanas Subang.
Proses penggilingan daun nanas | Foto: Nadiana
Saya pun diajak berkeliling dan mencoba untuk melihat dan merasakan bagaimana serat nanas bisa menjadi komoditi yang bernilai ekonomi tinggi.
Semenjak tahun 2013, Pak Sahroni sudah mengembangkan serat daun nanas. “Melihat potensi pohon nanas yang sangat banyak di daerah subang, ini menjadi potensi untuk dikembangkan,” ungkap Pak Hendi.
Serat nanas produksi Pak Sahroni sudah pernah dipasarkan dan dikirim sampai Singapura dan beberapa daerah di Indonesia. Daun nanas yang dibeli dari petani dengan harga Rp. 1.000/kg menjadi nilai tambah bagi petani ketika masa panen. Dalam sehari, Serat Nanas Subang mampu memproduksi 2 kuintal serat nanas.
Daun nanas yang sudah digiling | Foto: Nadiana
Ditemui di rumahnya—ia baru datang dari sebuah acara di kawasan Kuningan Jawa Barat—Pak Sahroni mengatakan bahwa ide membuat usaha serat nanas adalah berawal dari project business plan di kampusnya. “Wah, keren, sederhana, dan tepat guna,” celoteh saya dalam hati.
Setelah berbincang dengan Pak Sahroni, saya (kita) bisa mendapat satu hal yang berharga. Dari desa tempat kita tinggal, kita dapat melihat dan menggali potensi apa yang bisa di kembangkan.
Dan, sekali lagi, seperti Pak Sahroni, dari kampus kita belajar bagaimana jurusan yang kita ambil mampu mendukung potensi lokal desa dan berusaha tanpa menunggu hal yang gratis datang. Terima kasih, Pak Sahroni.[T]
- BACA artikel tentangTUALANGlainnya