“Hari ini adalah Hari Kemenangan Dharma melawan Adharma! Kalahnya Kebatilan oleh Kebaikan!”
SEPERTI itulah tagline yang akan selalu muncul menjelang hari Rabu (Buddha) Kliwon, Wuku Dungulan. Cermin dari datangnya salah satu hari suci besar umat Hindu yang dikenal dengan sebutan Hari Suci Galungan.
Berbicara mengenai eksistensi, Galungan merupakan salah satu hari suci besar dalam keyakinan umat Hindu. Hari suci yang jatuh setiap 210 hari sekali ini, selalu berusaha disambut dengan meriah dan penuh suka cita oleh umat Hindu khususnya di Nusantara.
Bagaimana tidak? dengan mengingat tagline agungnya yang mengagung-agungkan Dharma,hari suci Galungan diharapkan dapat membawa semangat dan harapan baru untuk seluruh umat manusia. Namun, apakah yakin sudah mengenal Sang ‘Dharma’ dengan sepenuhnya?
Menelaah dari kamus Sansekerta-Indonesia (Tim, 2001: 223), kata Dharma (m) sesungguhnya memiliki beberapa definisi. Dharma dapat berarti kebenaran, hukum, adat kebiasaan, aturan kewajiban, keadilan, dan juga moral yang baik.
Semua pengertian tersebut pada dasarnya hal-hal luhur sebagai alat dan pedoman untuk mengarahkan umat manusia agar senantiasa menjalani kehidupan yang lebih baik dan mulia, baik secara jasmani maupun rohani. Hal ini dipertegas dalam kitab Sarasamuscaya 14 yang berbunyi sebagai berikut:
Dharma ewa plawo nanyah swargam samabhiwanchatam
Sa ca naurpwanijastatam jala dhen paramicchatah
Terjemahan:
“Dharma adalah jalan untuk mencapai alam kebahagiaan (Sorga), layaknya perahu laju yang merupakan alat bagi saudagar-saudagar untuk melintasi Samudra.” (Sudharta, 2019: 11)
Berdasarkan sloka Sarasamuscaya tersebut, dapat kita ketahui bersama keagungan Dharma sebagai suatu jalan atau cara yang dapat ditempuh oleh umat manusia dalam memperoleh kebahagiaan, layaknya sebuah perahu untuk melintasi samudra yang penuh penderitaan dan kesedihan.
Setelah mengetahui makna dan arti sesungguhnya kosakata Dharma, langkah selanjutnya adalah mengetahui asal dari Sang Dharma.Jika berdasar pada pustaka suci Weda sebagai sumber pengetahuan suci yang bersifat universal, sesungguhnya telah menjabarkan secara jelas apa dan dimana sesungguhnya kita dapat menemukan Dharma yang sesungguhnya. Hal ini tertuang di dalam kitab Manawa Dharmasastra II. 6 yang berbunyi sebagai berikut:
Idanim dharma pramananyaha
wedo’khilo dharmamulam
smrtiçile ca tadwidam acaraçcaiwa sadhunam
atmanastutirewa ca
Terjemahan:
“Seluruh pustaka suci Weda (Sruti dan Smrti) adalah sumber pertama daripada Dharma, kemudian Sila (tingkah laku yang terpuji), Acara (Adat Kebiasaan), dan Atmanastuti (tata cara perikehidupan orang-orang suci untuk mencapai kepuasan pribadi).” (Sudirga, dkk., 2007: 62 dalam Kemenuh, 2017: 41).
Berdasarkan kitab Manawa Dharmasastra tersebut, dapat diketahui bahwa secara umum, ada lima sumber Dharma valid yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan. Untuk lebih memahaminya, penjabarannya secara lebih lanjut yakni sebagai berikut:
Weda Sruti
Weda Sruti adalah bagian kodifikasi Weda yang berasal dari wahyu Tuhan secara langsung, yang didengarkan kemudian ditulis oleh para Maha Rsi sebagai pustaka suci. Secara umum, Weda Sruti sebagai Weda yang utama terbagi menjadi empat buah yang dikenal dengan Catur Weda Samhita.
Ia menjadi pengetahuan suci yang selalu didengar oleh guru-guru suci sebagai pedoman kerohanian. Keempat bagian Weda tersebut secara umum terdiri dari (Sandika, 2014: 192):
- Rg Veda; berisi ayat-ayat yang memuat kidung pujian,
- Sama Veda; berisi kumpulan mantram yang dilagukan untuk pemujaan,
- Yajur Veda; berisi kumpulan mantram tentang karma dan seluk beluk Yadnya.
- Atharva Veda; kumpulan mantram yang bersifat magis-religius.
Weda Smrti
Weda Smrti adalah kodifikasi Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan para Maharsi. Sehingga dalam hal ini, Smrti menjadi bagian integral dalam sumber Hukum Hindu yang memuat berbagai penjelasan ulang secara lebih sederhana dari kitab Sruti.
Untuk itulah, Smrti lebih bersifat praktis yang bagiannya terdiri atas Upaveda, kemudian dibagi lagi menjadi Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan Purana (gambaran historis masa lampau). Selain itu, bagian Smrti juga mencakup kitab kepemimpinan (Artha Sastra), kitab kesehatan (Ayur Weda), dan lain sebagainya (Sandika, 2014: 195-196).
Sila
Sila merupakan tingkah laku orang-orang suci yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sebagai manusia.
Acara
Acara adalah adat kebiasaan lokal sebagai wujud bakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya yang telah diturunkan dari turun-temurun.
Atmanastuti
Atmanastuti adalah kepuasan kebenaran yang berada dalam diri ketika telah berhasil mengetahui dan menjalankan hakikat Dharma. Hal inilah yang pada akhirnya mengembangkan Wiweka untuk mengenali hal yang baik dan juga hal yang buruk.
Dengan mengetahui sumber valid dari Dharma, tahap akhir untuk mengetahui keagungan Dharma adalah melalui mengilhami, merenungi, dan mengimplementasikan setiap hakikat Dharma di dalam kehidupan. Terlebih dengan datangnya kembali hari suci Galungan, sesungguhnya menjadi hari pengingat dan momentum yang tepat untuk menanami diri dengan segala hal yang kita sebut sebagai Dharma.
Baik dalam wujud mematuhi segala aturan, bersikap adil dengan sesama, menghormati segala kebenaran yang ada di dunia, menjadi masyarakat yang bermoral, dan melaksanakan segala kewajiban yang memang patut kita lakukan. Dengan cara tersebutlah, Dharma akan dapat tegak dan senantiasa menang dalam kehidupan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dharma bukanlah kosakata yang semata-mata hanya memiliki pengertian kebaikan. Dharma memiliki beberapa arti luhur sebagai suatu hukum, aturan moral, kewajiban, dan pedoman dalam menjalani kehidupan.
Dari sisi sumber, Dharma yang valid dapat ditemukan dalam lima sumber utama, yaitu: Weda Sruti, Weda Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Atas dasar tersebut, di momentum hari suci Galungan ini,sudah sepantasnya keagungan Dharma tersebut senantiasa kita resapi, renungi, dan implementasikan bersama dalam kehidupan. Hal ini penting, agar Dharma benar-benar bisa kita menangkan di hari peringatan kemenangannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Tim Penyusun. 2001. Kamus Sansekerta-Indonesia. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
- Kemenuh, I. A. A. 2017. Sumber Hukum Hindu dalam Manawa Dharmasastra. Jurnal Agama dan Budaya 1(2),37-43.
- Sandika, I Ketut. 2014. Membentuk Siswa Berkarakter Mulia melalui Pola Pembelajaran Pendidikan Agama Hindu, Telaah Kitab Chandogya Upanisad. Surabaya: Paramita.
- Sudharta, Tjok Rai. 2019. Sarasamuccaya Sanskerta dan Bahasa Indonesia. Denpasar: ESBE.