SETELAH sukses dengan dua film dokumenter sebelumnya, Diam dan Dengarkan (2020) dan Atas Nama Daun (2022), Mahatma Putra kembali menelurkan sebuah film dokumenter yang berjudul Terpejam untuk Melihat yang dikerjakannya dari September 2023 sampai Februari 2024.
Berbeda dengan dua film sebelumnya, Terpejam untuk Melihat merupakan film dokumenter politik yang dirilis untuk menyambut Pemilu 2024. Angle-nya adalah politik personal. Ini cukup mengherankan sebab setahu saya Mahatma Putra tidak suka membuat atau memproduksi film tentang politik. Dia lebih suka memilih tema lingkungan dan sosial—seperti dua film dokumenternya terdahulu. Dan bukankah tema politik telah habis dikupas media lain?
Saya menemukan alasannya saat membaca hasil wawancaranya di Koran Tempo (15 Februari 2024). Salah seorang pendiri Anatman Pictures, rumah produksi yang banyak membuat iklan, itu belakangan menyadari bahwa semua hal tidak bisa lepas dari politik. Dalam wawancara tersebut, Putra mengatakan, “Apa pun yang kita lakukan, pasti berdampak politik, termasuk soal lingkungan. Bukan politik praktis, melainkan lebih ke apa yang bisa kita lakukan dibanding menggantungkan semua hal ke politik praktis.”
Terpejam untuk Melihat, meski berbeda dengan dua filmnya terdahulu, benang merahnya sama, yaitu tentang kesadaran lingkungan. Film dokumenter yang berdurasi 1 jam 17 menit ini dibuka dengan alunan musik sendu yang langsung membuat penonton terhanyut pada hijau hutan di layar lebar. Setidaknya demikian yang saya rasakan saat menonton film ini di Rumah Belajar Komunitas Mahima dalam “Pemutaran dan Diskusi Film Terpejam untuk Melihat” yang diselenggarakan komunitas mikro cinema Singaraja Menonton, Jumat malam, 23 Februari kemarin.
Seperti halnya dua film dokumenter sebelumnya, film ini juga dibagi menjadi lima babak dengan latar belakang yang berbeda. Babak pertama membahas tentang apa pun, segala sesuatu, di dunia ini saling terkoneksi. Bahasan ini mengingatkan saya kepada teori ekosentrisme deep ecology Arne Naess—yang memandang bahwa seluruh makhluk biotik maupun abiotik di alam semesta ini memiliki hubungan yang saling terkait sehingga harus dihargai. Pada babak ini, kita banyak mendapat ceramah dari Pemimpin Pondok Pesantren Ekologi Ath Thariq, Jawa Barat, Nyai Nissa Wargadipura.
Selain berbicara tentang koneksi segala sesuatu di alam raya, Terpejam untuk Melihat juga membahas bagaimana sikap politik terhadap pemilu, tentang mereka yang termarjinalkan dan hanya digaungkan keberadaannya saat pemilu seperti kelompok transpuan yang bermukim di Duri, Jakarta Barat, misalnya.
Mengenai soratan kehidupan kaum marjinal kelompok transpuan ini, Muttaqiena Imaamaa, Produser Terpejam untuk Melihat, mengatakan—sebagaimana dikatakannya di Koran Tempo—“Saya baru tahu mereka memiliki kegelisahan. Mereka takut saat tua tidak ada yang mengurus. Akhirnya mereka berjejaring dan sedang mengupayakan panti jompo untuk transpuan.”
Tak berhenti di situ, film dokumenter yang dibuat sebagai perwujudan sertifikat B Corp—perusahaan yang berkomitmen peduli sosial dan lingkungan—yang mereka miliki itu, juga membahas orang-orang yang menolak standar mapan dari sistem yang diadopsi pasar. Ada bagian menarik di babak V, saat film menampilkan sosok bernama Maharlikha—ia memaknainya sebagai “merdeka”—memilih keluar dari kemapanannya sebagai pekerja kantoran di Jakarta dan memilih menjadi petani di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Melihat Maharlikha—atau Mahardika—saya teringat sosok Christopher Johnson McCandless dalam film Into the Wild (2007). Bedanya, setelah lulus dari Universitas Emory di Georgia pada tahun 1990 McCandless melakukan perjalanan (meninggalkan kemapanan) melintasi Amerika Utara dan akhirnya menumpang ke Alaska pada bulan April 1992, Maharlikha cukup hidup sederhana di kampung halamannya.
Namun, keduanya sama-sama membongkar paradigma kesuksesan dan kemerdekaan dengan mulai hidup baru tanpa uang sepeser pun serta sepenuhnya bersandar pada alam atau lingkungan—meski hal ini berakibat fatal kepada Christopher, ia meninggal karena keracunan. Menurut Maharlikha, alamlah yang membuatnya tetap hidup. “Kalau enggak ada hujan, kita enggak bisa hidup,” katanya.
Dengan laku hidup yang jauh dari kaca pembesar orang kebanyakan, Maharlikha mengkritik sistem kemapanan meski jalan hidup yang ia tempuh dianggap absurd oleh banyak orang. Namun, justru dengan berperilaku hidup seperti itu ia merasakan kemerdekaan dalam arti yang sebenar-benarnya. Lelaki yang memakan laron hidup-hidup itu mempraktikkan permakultur, konsep hidup yang berdasarkan ekosistem lingkungan.
Perihal perlawanan terhadap kemapanan, Henry David Thoreau juga melakukannya. Ia memilih tinggal di hutan sebagai bentuk perlawanan kepada industrialisasi yang membuat muak. Sastrawan dan filsuf Amerika Serikat, penulis buku Walden (1854) yang fenomenal, itu bahkan mengaitkan fase-fase spiritualnya dengan tanda-tanda alam.
Hutan, bagi Thoreau, “tempat bagiku untuk hidup bebas.” Kejumudan spiritualnya digambarkan lewat air danau yang membeku. Dan, pagi serta sinar matahari adalah “sebuah undangan menyenangkan untuk bisa menjalani hidup yang jauh dari kerakusan.”
Suara Marjinal
Dari beberapa yang telah disampaikan di atas, dari suara-suara yang ditayangkan dalam kelima babak film Terpejam untuk Melihat, sebenarnya sama-sama lahir dari mereka yang “termarjinalkan”—atau mereka yang memilih jalan berbeda dari orang kebanyakan—yang dikaitkan dengan lingkungan dan relasi kuasa atau politik—pihak Anatman Pictures meberi judul “Dokumenter Meditasi Politik & Lingkungan (2024): Terpejam untuk Melihat” di kanal Youtube mereka.
Dikenal sebagai salah satu rumah film dengan misi menghadirkan suara-suara yang belum terdengar di ruang diskusi masif, Anatman Pictures sejauh ini memang konsisten di rel dokumenter yang menyorot mereka yang memilih “berbeda” dan berjuang menuntut hak yang semestinya didapatkan sebagai warga negara; mereka yang suaranya terhempas dari hingar-bingar politik praktis—suara-suara yang lahir dari tepian wacana dan hitung-hitungan kalkulasi politik.
Meski banyak rumah produksi film yang menyuarakan hal-hal demikian, menurut saya Anatman Pictures tetap memiliki cirinya sendiri. Dalam setiap film dokumenter yang diproduksi—dalam hal ini film-film Mahatma Putra—selain menyajikan data, wacana kritis, informasi, rumah produksi ini juga menghadirkan narasi-narasi yang kontemplatif—membangkitkan renungan dan sebagainya.
Dengan cara demikian, suara-suara merjinal yang dihadirkan tidak hanya sekadar menarik simpati penonton, tapi sedikit-banyak juga menyadarkan dan membuat penonton berpikir ulang akan hidup yang selama ini dijalani. Narasi-narasi yang menenangkan itu, bukan saja membuat kita merenung, tapi mungkin juga dapat menjadi pengantara tidur kita—untuk tidur yang lebih nyenyak.
Di negara kita, masih banyak suara marjinal yang terabaikan. Misalnya hak-hak kaum penyandang disabilitas yang belum mendapat ruang infrastruktur yang aksesibel. Atau kedudukan kaum transpuan dalam sosial masyarakat kita.
Namun, di belahan bumi yang jauh di sana, segala sesuatu yang marjinal, pinggir, unik, dan berbeda sepertinya justru sedang bergerak mendesak sekarang ini. Sebaliknya, pada saat bersamaan semuanya yang berdimensi universal, mayoritas, dan homogen memang lagi mengalami fase keterdesakan.
Lihat saja bagaimana Bollywood, industri film dari India, sedang mendesak dan bisa jadi mengancam Hollywood, atau bagaimana musik-musik Amerika Latin dan Afrika lebih mendominasi World Space Radio—sebuah radio yang memuat siaran-siaran manca negara. Tetapi, mungkin semua ini memang hanya fenomena kultural yang kelihatannya sedang beralih paradigma. Peralihan paradigma yang tidak terlepas juga dari peranan teori perbedaan yang didengungkan Derrida, seorang filsuf mutakhir yang banyak mempengaruhi pemikiran postmodern.
Dalam Terpejam untuk Melihat, mereka yang terpinggirkan tampak kesulitan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Tidak jarang suara mereka disisihkan karena dianggap tidak cukup kuat. Suara-suara itu terbentur seperti kata Rendra dalam puisi Sajak Sebatang Lisong—“membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.”
Film Terpejam untuk Melihat adalah corong sekaligus etalase yang menampilkan mereka-mereka yang berjuang dengan cara berbeda dan mereka yang, sebagaimana dikatakan Anis Sholeh Ba’asyin, merasa selalu ditinggal sendirian menghadapi tumpukan masalahnya. Celakanya, dalam persepsi rakyat, sebagian besar masalah ini justru merupakan akibat kebijakan dari pihak yang mestinya menyelesaikan masalah mereka.[T]