MENJADI guru, bagi sebagian orang mungkin sebuah keterpaksaan pilihan. Apalagi bagi mereka yang dengan terpaksa ikhlas menjadi guru honor. Dengan status tersebut, penghasilan mereka masih sangat jauh dari kata mencukupi dan memenuhi standar UMK.
Namun, profesi guru tetap menjadi primadona saat ini. Terlepas dari alasan begitu sulit menemukan pekerjaan yang layak di Indonesia, bisa jadi alasan lain karena demi sebuah status “berprofesi” di mata citizen dan netizen, dimana dengan profesi ini, pelakunya terlihat selalu mandi pagi dan berseragam rapi.
Atau, dalih untuk mencari kesibukan dengan penyesuaian background knowledge yang terlanjur dimiliki. Juga, bisa jadi karena wujud bakti ke orang tua. Bahkan, banyak pula guru yang sudah berstatus ASN atau Aparatur Sipil Negara, sejatinya memilih profesi ini sebagai pelarian saja. Ini terlihat dari passion–nya yang jauh dari standar pendidik sejati.
Terlepas dari segala alasan tersebut diatas, menjadi guru saat ini sungguh penuh dengan tantangan dan dilema, bahkan terkadang di luar nalar sehat. Bagaimana tidak, profesi guru saat ini lebih dituntut untuk tampil maksimal di dunia maya dibandingkan di kehidupan kelas yang sesungguhya, yang merupakan habitat asli mereka seharusnya.
Guru kini lebih fokus pada pencitraan diri di aplikasi, atau media sosial, dibanding di depan anak didiknya. Guru lebih intens berkomunikasi dengan perangkat teknologi, seperti computer, laptop, handphone, atau tablet, dibanding dengan siswa. Sungguh, definisi Guru kini telah mengalami perubahan makna. Guru, yang menurut Undang-Undang, adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu berinteraksi dengan siswa dengan balutan proses belajar mengajar yang bertatap muka, kini dipaksa regulasi untuk lebih memuaskan nafsu aplikasi dan kroninya.
Guru dituntut untuk sempurna secara laporan dan tunduk pada aplikasi, dibanding menuntun siswa memahami sebuah konsep maupun norma.
Telah terjadi perubahan point of view terhadap indikator keberhasilan proses pembelajaran saat ini. Stakeholders di dunia pendidikan, dari level pusat sampai sekolah, memandang bahwa tingkat keberhasilan pendidikan tercermin pada prosentase upload dan download pada aplikasi sakti yang dikeluarkan oleh kementrian terkait. Bahkan, mutu pendidikan kini lebih dilihat dari data jumlah pengguna dan transaksi-interaksi di aplikasi itu, dibandingkan dengan melihat fakta di lapangan, seperti pengetahuan siswa, ketrampilan, serta adab mereka.
Bahkan, guru kini tidak lagi mempunyai hak prerogative dan nilai tawar untuk memberi nilai siswa sesuai fakta yang di dapat dari alat ukur yang digunakan. Banyak tekanan dan intervensi eksternal yang memaksa guru mengingkari nuraninya. Data-data yang terunggah di dunia maya, sejatinya hanyalah adopsi dan adaptasi data untuk pemenuhan kepuasan aplikasi semata, dengan mengabaikam indikator kejujuran.
Juga, guru kini tidak memiliki hak untuk memberi sanksi siswa terhadap segala pelanggaran tata tertib dan etika yang terjadi di sekolah. Guru hanya diberi hak untuk memberi reward terhadap segala hal yang dilakukan siswa, baik terhadap prilaku positif maupun negatif. Padahal, konsep pemberian reward dan punishment dalam dunia pendidikan adalah hal yang tak terpisahkan dan sebuah keniscayaan. Menurut teori behavioristik, reward diberikan oleh guru kepada siswa dengan memberikan hadiah atas hal positif yang dilakukan oleh siswa. Pemberian reward dimaksudkan untuk membentuk anak lebih giat lagi usahanya untuk bekerja dan berbuat lebih baik lagi.
Sementara, punishment diberikan oleh guru kepada siswa karena siswa melakukan pelanggaran atau kesalahan. Punishment sering diterapkan untuk memberikan motivasi kepada siswa agar lebih disiplin terhadap segala peraturan yang diterapkan di sekolah.
Di samping itu, guru kini telah kehilangan kekuasaan dan wibawanya akibat intervensi kekuataan politik. Tak jarang, masyarakat biasa yang awam dunia pendidikan, memiliki akses ke penguasa atau orang berpengaruh di dunia politik, juga ikut tampil terdepan mengatur sekolah dan guru dengan berbagai arogansi kepentingannya, bahkan mampu memutasi guru.
Dunia pendidikan tidak lagi murni menjadi ranah guru mendidik siswa, tetapi telah disusupi kepentingan profesi lain di luar pendidikan. Bahkan warga sekolah telah menjadi followers yang patuh pada penguasa daerah dan kekuatan politiknya.
Tugas pokok dan fungsi guru kini tidak melulu berkutat mengurus siswa. Guru sekarang lebih sibuk beradaptasi dan memenuhi target aplikasi dan pencitraan di sosial media. Lebih banyak menghabiskan waktu untuk meng-upgrade kompetensi diri, walaupun secara semu, dibanding meningkatkan kompetensi siswanya. Guru sering menjadi abai dengan tanggungjawabnya terhadap siswa, karena tuntutan aplikasi yang tidak bisa ditunda dan diabaikan.
Guru kini lebih banyak menjalankan tugas sebagai pembelajar, dibanding sebagai pengajar. Ilmu yang telah didapat di kampus selama menjadi mahasiswa keguruan serasa tak cukup, sekalipun kini sudah menyandang gelar Sarjana Pendidikan bahkan Master.
Guru dituntut mengikuti berbagai bentuk kegiatan peningkatan kompetensi diri atau pembelajaran, baik secara daring atau luring, seperti workshop, seminar, pelatihan, atau coaching, dimana kegiatan tersebut berimplikasi besar pada berkurangnya waktu, perhatian, energi, konsentrasi, dan interaksi dengan siswa.
Sementara, organisasi guru yang menaungi guru, lebih fokus pada klaim diri atas keberhasilan organisasi memperjuangkan kesejahteraan guru melalui sertifikasi, dan lebih menyibukan diri pada iuran bulanan, daripada memperjuangkan dan berpihak pada guru menuntaskan masalah-masalah serta dilema yang terjadi di dunia pendidikan saat ini. Bahkan, sangat jarang terdengar kalau organisasi guru telah berbuat maksimal membela guru saat tersandung masalah hukum yang dialami ketika menjalankan tugasnya. Organisasi ini justru sering cuci tangan dan tak mau tahu akan situasi mengapa guru sampai pada persoalan itu. Yang lebih parah, justru ikut menyalahkan daripada melindungi dan membela anggotanya. Sangat miris memang.
Berkaca pada latar belakang seseorang memilih profesi guru, dan problematika tuntutan aplikasi pada sistem pendidikan saat ini, serta intervensi kekuatan politik dan penguasa, berimbas pada terlantarnya hak siswa untuk mendapatkan perlakuan yang semestinya.
Guru tersudut di posisi dilematis, tanpa mampu berontak dan menampilkan jati diri seperti apa yang digariskan Undang-Undang: Fungsi guru, yaitu untuk mendidik, mengajar, membimbing, melatih, dan mengevaluasi, serta peran guru, yaitu sebagai pendidik, guru sebagai manajer dan leader, guru sebagai fasilitator, guru sebagai administrator, guru sebagai inovator, guru sebagai motivator, guru sebagai dinamisator, guru sebagai evaluator, dan guru sebagai supervisor, kini telah tergerus dan diambilalih oleh aplikasi.
Guru benar-benar telah menjadi budak dan pemuas nafsu aplikasi. Harapan yang tersisa kini hanyalah pada hasil pemilu tahun 2024 yang baru saja selesai digelar. Semoga pemimpin Indonesia terpilih lebih memperhatikan dan mampu menyelesaikan segala persoalan dunia pendidikan yang ada, lebih punya waktu untuk turun ke sekolah melihat dan mendengarkan langsung dari warga sekolah, daripada mendengarkan laporan bawahan yang cenderung ABS atau Asal Bapak Senang. Dan yang terpenting, dengan sungguh-sungguh mewujudnyatakan semua janji politik yang luar biasa saat kampanye, khususnya di bidang pendidikan. [T]