TAK ada kekuasaan yang gratis, terlebih di tengah-tengah masyarakat bermental komersil seperti saat ini. Setiap orang yang ingin mendapat kekuasaan mesti melakukan berbagai pengorbanan baik material maupun mental sebagai tumbal atas keinginan mengatur masyarakat. Modal wacana pengabdian dengan jargon sutindih, subakti, dan sujati saja sudah pasti tak akan membuat satu banjar menyatakan kebulatan tekad. Uang harus mengalir ke liang-liang kecil di saku calon pemilih.
Meski uang telah melayang, jaminan akan dipilih belum pula bisa dipastikan. Sebab, yang mendekati pemilih bukan hanya pemain tunggal. Di arena itu, banyak calon penguasa yang juga berkompetisi dengan iming-iming salaksa janji. Mental calon penguasa yang kelas teri dan hiu akan terlihat dalam menghadapi tipe masyarakat yang solid atau hanya basa-basi saat calon penguasa berorasi.
Yang memprihatinkan, entah berapa orang di negeri ini terkena serangan jantung kala “serangan fajar” tak membuahkan hasil. Meski tahu berbagai resiko tersebut, para politikus seperti laron yang mudah tertarik dengan cahaya, walaupun tubuhnya akan terbakar oleh nyala api sumber cahaya itu sendiri. Itulah konsekuensi percaturan di bidak perebutan kekuasaan. Tidak akan ada musuh yang abadi, atau sahabat yang langgeng. Semua berputar dinamis seirama dengan kepentingan masing-masing.
Kepentingan membela kebenaran seperti yang dinarasikan Kakawin Ramayana misalnya menjadi muasal yang menyebabkan Wibhisana rela memutus hubungan geneologis dengan saudaranya sendiri yaitu Rawana. Wibhisana lebih memilih Rama karena ia adalah representasi kebenaran di dunia. Sementara itu, dengan kepentingan negara, seorang Kumbakarna tetap membela kakaknya. Meski ia tahu pembelaannya akan berakhir pada kematian. Berbeda pilihan hidup, berbeda pula arah ayunan langkah dengan berbagai resikonya sebagai hadiah.
Pilihan hidup menyebabkan Wibhisana meninggalkan kerajaan Alengka. Di negerinya sendiri, berbagai caci maki, hujatan, dan cap sebagai seorang penghianat sudah pasti mengirisnya lebih perih tinimbang berbagai senjata. Itu baru tantangan pertama. Tantangan berikutnya adalah meyakinkan Rama bahwa ia akan berkoalisi hanya dengan satu tujuan yaitu menegakkan pilar kebenaran di dunia.
Lantas apa yang menyebabkan Rama harus mempercayai Wibhisana? Rekam jejak [track record]! Itupun tidak keluar dari mulut Wibhisana, tetapi testimoni Hanoman yang pernah diselamatkannya ketika hampir dibunuh oleh Rawana. Di titik inilah ungkapan eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin mesti diletakkan. Kekuatan testimoni dari orang lain lebih kuat dibandingkan keterangan sendiri. Sebab, pikiran manusia punya kekuatan meninggikan pemiliknya, sekaligus kelemahan menilai diri sendiri apa adanya.
Berbekal keterangan Hanoman, seorang Wibhisana mendapatkan kepercayaan yang akan ia pertaruhkan sampai hembusan nafas terakhirnya. Hal itu dibuktikan dari berbagai perang yang dilewatinya bersama Rama. Tanpa Wibhisana, Rama bersama seluruh pasukan kera pasti kalah, baik dalam perang melawan amukan Rawana dan terutama ketika Indrajit memasang ajian Adresia Tantra [ilmu tak terlihat] seraya melepaskan panah wimohana [panah pembuat bingung]. Kekalahan Indrajit dan Rawana menjadi penanda tegaknya kebenaran di dunia.
Pasca kemenangan berhasil diraih, rekonsiliasi untuk memulihkan keadaan di Alengka Pura sangat diperlukan. Bangunan-bangunan fisik yang hancur akibat perang mesti segera diperbaiki. Anak-anak raksasa yang kehilangan orang tuanya karena kalah berperang harus mendapatkan penanganan. Demikian pula tatanan sosial yang terbelah karena masyarakat harus mengikuti pemimpinnya harus segera disatukan. Di pusaran masalah itulah masyarakat Alengka memerlukan figur pemimpin.
Lalu apa kriteria Rama menetapkan raja baru Alengka yang dapat melakukan rekonsiliasi itu dengan cantik? Barangkali ada tiga hal yang bisa dijadikan landasan untuk memilih pemimpin yang tepat yaitu guna, gina, dan yasa. Kata guna berarti kompetensi internal dalam diri. Dari guna atau kompetensi diri itu lahirlah gina yang bermakna keterampilan. Dengan keterampilan itu maka banyak yasa dengan makna jasa yang dapat dipersembahkan kepada masyarakat. Bertitik tolak dari ketiga kriteria itu maka Wibhisana ditetapkan menjadi raja yang baru di Alengka.
Dari aspek guna ‘kompetensi diri’ seorang Wibhisana telah dibuktikan dengan lulus melakukan brata menyerupai patung selama seribu tahun sehingga ia mendapatkan anugerah kebijaksaan dari Brahma. Berbekal guna tersebut, ia dengan gina ‘terampil’ memberikan berbagai kunci rahasia untuk mengalahkan Rawana bersama pasukan elitnya. Berpegang pada gina itulah Wibhisana berjasa pada kemenangan Rama atas Rawana.
Jelaslah Wibhisana menjadi pilihan Rama untuk mengisi kekosongan kerajaan Alengka Pura. Akan tetapi sebelum itu, Rama memberikan dasar-dasar kepemimpinan kepada Wibhisana yang dikenal dengan sebutan Asta Brata. Astra brata adalah proses membadankan laku para dewata dalam sarira seorang pemimpin mulai dari kesejahteraan yang diusahakan Indra, kesabaran Dewa Surya, keadilan Yama, kecepatan Bayu, kesederhanaan Hyang Kuwera, dan kekuatan Baruna dalam mengikat semua penjahat.
Menyimak rekonsiliasi politik di negeri ini yang begitu tertatih-tatih dan sarat perebutan jabatan, penting rasanya membaca ulang Kakawin Ramayana yang mencerminkan alam pikiran Nusantara di masa lampau. Tiga dasar yaitu guna, gina, dan yasa bisa menjadi landasan untuk menentukan figur-figur menteri jajaran kabinet yang akan memutar roda pemerintahan di masa depan. Berpegang pada delapan perilaku yang meneladani sikap dewata itu, pemimpin menempatkan dirinya di tengah sehingga lengkaplah isi sembilan penjuru mata angin. Pemimpin yang berada di tengah-tengah ibarat payung yang dapat meneduhi semua penjuru dengan sama rata dari terik matahari yang membakar maupun hujan badai yang menghanyutkan.
Tanpa menjalankan peran itu, seorang pemimpin tak layak dianggap sebagai catraning rat ‘payungnya dunia’! [T]
Klik untukBACAartikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA