SEINGATKU, belum pernah aku merasakan kebahagiaan merayakan Galungan. Jangankan bisa memakai baju baru, bersenang-senang berwisata dengan orang tua dan teman-teman, asalkan tidak kena marah saja rasanya sudah untung. Itu sebabnya kalau Galungan aku tak pernah memiliki perasaan yang nyaman. Selalu gelisah, sedih ingin menangis, tapi tak bisa meneteskan air mata.
Aku tak tahu bagaimana asal mulanya. Yang selalu kuingat sampai sekarang, setiap Galungan, setiap hari raya, ibu selalu ketus, marah-marah. Salah sedikit aku dipukul.
Bapak juga begitu, bicaranya selalu keras, berteriak-teriak sambil memegang kartu judian, berjudi. Kalau sedah asyik main judi, ia tak bisa diganggu. Selalu minta dilayani. Apa pun permintaannya harus disediakan, harus cepat. Kalau tidak dituruti, makin keras teriakannya, Kadang-kadang disertai caci maki.
Setiap hari raya, apalagi Galungan, bapak ibuku selalu bertengkar, bahkan pernah sampai berkelahi.
Aku ingat saat itu. Pada Galungan tahun 2001. Aku sudah duduk di kelas dua SMP. Guru Agama mengajarkan aku, bahwa Hari Raya Galungan katanya momentum untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Bapak Guru juga mengatakan bahwa yang paling penting adalah mengalahkan adharma atau keburukan dalam diri sendiri. Itu yang selalu kuingat, yang membuatku tak pernah sedih kalau Galungan tak memiliki baju baru, tak memiliki makanan enak.
Tapi yang membuatku sedih adalah prilaku Bapak yang seperti sengaja mengganggu. Selalu membuat keributan. Kebenarannya hanya berjudi. Kalau sudah berjudi, berkumpul dengan teman-temannya sesama penjudi, ia bisa duduk seharian, sampai lupa mandi. Seperti Galungan kala itu.
“Buatkan kopi dua, teh tiga!” Bapak berteriak. Walau bapak tak menyebut nama, seketika aku menyiapkan kopi dan teh, agar dia berhenti teriak.
Pada saat menyiapkan kopi dan teh, aku kaget. Ibu menjewer telingaku.
“Selesaikan dulu pasucian-nya, jangan mengambil pekerjaan lain. Dari dulu I Luh sudah Ibu beritahu, jangan kamu layani bapakmu, agar tidak menjadi kebiasan. Galungan itu hari raya besar, banyak yang harus dikerjakan. Jangankan membantu istri, selalu asyik berjudi, minta dilayani!” Ibu marah.
Kuurungkan menuangkan air yang mendidih itu, kutinggalkan bahan kopi dan teh itu. Kembali aku menata dan merangkai pasucian, aku ingat pelajaran agama di sekolah. Pasucian itu katanya dipersembahkan kepada Bhatara sebagai sarana pembersihan, di saat menata pasucian seharusnya dilakukan dengan perasan yang tulus dan suci. Aku ingat pada nasehat guru agamaku, kutenangkan hati. Kubendung air mataku yang hendak menebes ke luar. Pelan-pelan, dalam situasi seperti itu kurapalkan mantra gayatri, barulah napasku terasa ringan, lapang.
Kulanjutkan pekerjaanku. Setiap kali hatiku terasa perih, kurapalkan lagi mantra gayatri. Akhirnya selesai juga banten-banten itu kutata.
Kembali kudengar teriakan Bapak. Kini namaku yang dipanggil disertai caci maki.
“Luh Karti, sialan kamu, anak setan, kenapa setahun membuat kopi, bikin malu saja, kubunuh kamu ya!” Bapak marah.
“Wehh, kok seenaknya minta kopi, kopi milik siapa? Memangnya pernah membeli?” Ibu menyahut, ikut marah.
Terdengar lagi Bapak marah, kemudian Ibu, Bapak lagi. Aku takut, gemetar, tak berani mendekat. Cepat-cepat kuambil canang dan banten, lari ke sanggah. Sambil menangis aku menghaturkan sesajen, memohon anugrah kepada Sanghyang Widhi.
Sekitar satu jam aku menghaturkan sesajen, pelan-pelan aku berjalan pulang. Aku kaget semua alat-alat dapur berserakan, piring dan gelar pecah berantakan. Kulihat ada tetesan darah.
“Ibu… Ibu…!” Aku panik mencari-cari ibu. “Ibu… Ibu…!” teriakku lagi.
“Plung… ” Hampir saja kepalaku terkena kursi yang dilemparkan Bapak. Aku bingung, sesak. Bapak memanggil, matanya merah. Aku semakin ketakutan.
Untung sekali banyak sanak saudara yang berdatangan, yang menghalangi Bapak. Kalau seandainya tak ada yang tahu, pasti aku terluka, atau bahkan bisa terbunuh. Aku ingat saat itu aku ditarik oleh paman yang tinggal di kota. Mungkin memang takdir, ia pas pulang dan melihat peristiwa itu.
Sejak saat itu diajaknya aku tinggal di kota, tinggal di rumahnya. Aku disekolahkan, sampai tamat SMA. Sekarang aku sudah bekerja sebagai kasir pada salah satu swalayan.
Sudah lima tahun aku tak pernah pulang, tak pernah bertemu Bapak dan Ibu. Pamanku bilang Bapak kini sakit-sakitan. Semenjak Bapak sakit-sakitan, ibuku pulang ke rumah agar ada yang merawat Bapak.
Aku kagum pada cinta kasih Ibu kepada Bapak. Rindu sekali aku pada Ibu, juga ingin bertemu Bapak, tetapi dalam hati aku tidak suka pada perilakunya. Itu sebabnya aku merasa diri tidak berhak merayakan Galungan. Sudah sepuluh kali Galungan aku tak pulang. Lama sekali aku berusaha menaklukkan perasaan benciku pada Bapak. Kini rasanya aku bisa, kutekadkan hati untuk pulang.
Turun dari bis, kakiku gemetar. Ingin bertemu Ibu dan Bapak, tetapi merasa takut. Kuletakkan bawaanku di atas trotoar. Kuperiksa lagi. Ada buah-buahan, kue, ada baju kebaya untuk ibu, ada kain sarung untuk Bapak, ada juga lauk daging urutan kesenangan Bapak.
Sesudah di depan kamar, kembali aku diam. Merasa tak berani masuk.
“Ibu, Bapak, aku Luh Karti pulang!” Ingin sekali aku berseru seperti itu, tapi lidahku kelu. Air mataku mengalir deras. Lama aku terdiam, bengong dengan perasaan kosong. Sampai aku tak tahu ada yang datang. Ibu, ibu sudah ada di hadapanku, lalu memelukku erat, sangat erat seperti tak ingin kutinggalkan.
“I Luh, I Luh, benar ini I Luh? Bapak, Bapak, I Luh pulang, I Luh sudah pulang!” Ibu berseru. Bapak datang menyambut dan bersimpuh di kakiku.
“Bapak…!” Aku kaget. Wajah Bapak terlihat sangat tua. Kuangkat tubuh Bapak. Kuajak Ibu dan Bapak ke kamar dan kududukkan di balai.
“Luh, Bapak menyangka kamu tak akan mau pulang lagi. Bapak selalu mengatakan kamu tak sudi mempunyai bapak yang buruk sepertinya. Ibu tak percaya, Ibu yakin kamu pasti pulang. Setiap Galungan, Ibu berdoa memohon agar I Luh mau pulang!” Ibu menangis. Tangis ibu adalah tangis suka cita, tangis bahagia.
Mataku juga berair, aku bahagia, karena pada Galungan ini aku merasa merayakan Galungan. Sudah mampu mengalahkan kebencianku pada Bapak, mengalahkan rasa benci dengan kasih sayang. [T]
- Catatan: Cerpen ini adalah terjemahan dari cerpen berbahasa Bali yang berjudul Galungan, diambil dari buku berjudul Luh Jalir yang diterbitkan Pustaka Tarukan Agung (2008). Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia olehMade Adnyana Ole
[][][]