SYAHDAN, seorang alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja yang saya hormati, Suwardi Rasyid, suatu kali menciptakan lagu indah sekaligus menggetarkan berjudul “Lafran Pane”. Lagu dengan nada semangat dan lirik yang dalam dan representatif itu, semacam bentuk kekaguman dan rasa hormatnya kepada sosok, sebagaimana termaktub dalam lirik lagunya, “pribadi sederhana nan bersahaja” itu.
Saat pertama kali mendengar Bang Onang—panggilan akrab Suwardi Rasyid—menyanyikan lagu tersebut di rumahnya yang sederhana di balik bukit Pulaki yang angkuh itu, seperti ada yang menampar kesadaran intelektual saya.
Lagu ini, saya bayangkan, tidak mungkin lahir dari refleksi seseorang sehabis mendengarkan pengajian tentang kisah dan riwayat Lafran Pane, atau bahkan didapat dari sekadar membaca buku biografi tentangnya, tapi seolah lahir dari pergulatan intim batinnya yang tak terpisah dari laku-hidupnya. Sejak mendengar lagu itulah, saya mulai berburu literatur tentang sosok dan pemikiran Lafran Pane.
Sejauh ini, literatur tentang sosok-biografi Lafran Pane, sependek pengetahuan saya, selain tercecer sepotong-sepotong di media massa dan internet, tertuang dalam buku—yang seharusnya menjadi bacaan wajib kader-kader HMI—yang berjudul Lafran Pane: Jejak Hayat dan Pemikirannya (2011) karya Hariqo Wibawa Satria dan Merdeka Sejak Hati (2019) sebuah novel biografi karya A. Fuadi, penulis novel pop Negeri 5 Menara—yang terkenal itu. Sedangkan beberapa pemikirannya terhimpun dalam buku HMI Mengayuh di antara Cita dan Kritik (1997).
Lafran Pane tidak lahir dari keluarga sembarangan. Ia lahir dari keluarga kaum intelektual di zamannya—yang oleh Budi P Hatasuhut disebut “keluarga yang mampu melahirkan banyak penulis”. Jika di Pulau Jawa ada istilah “satu kampung tiga maestro”, tulis Hatasuhut, di Padang Sidimpuan justru “satu keluarga empat maestro”. Adalah keluarga Sutan Pangurabaan Pane dengan tiga anaknya: Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Lafran Pane. Artinya, dalam berpikir dan bertindak, barangkali Lafran Pane memang mendapat pengaruh dari keluarganya.
Sutan Pangurabaan Pane, sang ayah, merupakan sosok penulis yang produktif. Tak hanya menulis, tapi juga mendirikan penerbitan bernama Penerbit Partopaan di Sipirok. Tahun 1908, sebagaimana dituliskan Hutasuhut dalam esai “Pane, Keluarga Maestro dari Sipirok” (2022), saat Sanusi Pane lahir, Sutan Pangurabaan Pane mulai menulis novel berbahasa Batak.
Novel pertama yang Sutan Pangurabaan Pane tulis disiarkan tahun 1909 sebagai cerita bersambung di surat kabar berbahasa Batak milik Sutan Casayangan. Novel berjudul Toelbok Haleon itu kemudian dicetak menjadi buku sebanyak dua jilid pada 1911 oleh sebuah penerbit di Medan.
Sedangkan kedua kakaknya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, merupakan sastrawan yang ikut serta dalam pembangunan dan perkembangan bahasa, budaya, dan sastra Indonesia.
Sanusi Pane, misalnya, pada tahun 1930-an, berdebat serius, beradu argumen di media massa dengan Sutan Takdir Alisjahbana mengenai arah kebudayaan Indonesia. Perdebatan yang kemudian dikenal dengan “Polemik Kebudayaan” itu, sedikit-banyak telah memantik kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya suatu entitas bernama kebudayaan.
Namun, alih-alih menulis novel, puisi, cerpen, atau naskah drama, sebagaimana ayah dan kedua kakaknya, Lafran Pane justru memilih jalan lain. Jika Sanusi Pane menulis kumpulan saja Madah Kelana (1931) serta naskah drama Kertajaya (1932), Sandyakala Ning Majapahit (1933), Manusia Baru (1940), dan Armijn Pane menulis novel Belenggu (1940), banyak kumpulan sajak, drama, cerpen, dan menerjemahkan surat-surat Raden Ajeng Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang (1968), maka Lafran Pane lebih memilih bergulat dengan pemikiran keislaman dan keindonesiaan.
Pada tahun 1937, atas permintaan abang kandungnya Armijn Pane dan Sanusi Pane, Lafran pindah ke Batavia. Di kota yang dulu bernama Sunda Kelapa yang kemudian dirubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527 itu—yang oleh pemerintah Belanda diubah menjadi Batavia—Lafran memulai sekolah di kelas 7 di HIS Muhammadiyah, menyambung ke Mulo Muhammadiyah, ke AMS Muhammadiyah, kemudian ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II.
Desember 1945, ibukota Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Tidak lama berselang, pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta pindah ke Yogyakarta. Karena sebab itulah, Sekolah Tinggi Islam (STI) yang semula ada di Jakarta, sebagaimana tertulis dalam buku Setengah Abad UII: Sejarah Perkembangan Universitas Islam Indonesia (1994), juga ikut pindah ke Yogyakarta.
Sejak saat itulah, banyak mahasiswa yang “menyerbu” Yogyakarta untuk meneruskan kuliah, salah seorang di antaranya adalah Lafran Pane—yang usianya pada waktu itu sudah menginjak 23 tahun. Selain kuliah, menurut beberapa literatur, untuk memenuhi makan sehari-hari, Lafran bekerja sebagai Pegawai Negeri Departemen Sosial di Yogyakarta.
Di STI inilah, perkembangan wawasan intelektual Lafran Pane semakin berkembang. Dosen-dosennya, sebut saja Abdul Kahar Muzakir (anggota panitia sembilan), Hussein Yahya (pernah menjadi Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga—sekarang UIN), dan H.M Rasyidi (Menteri Agama Pertama dalam sejarah Republik Indonesia), adalah saksi perjalanan dan pergulatan intelektualnya.
Lafran Pane sangat tekun membaca berbagai buku tentang agama Islam dan Indonesia, sehingga apa yang dipikirkannya sebelum masa kesadarannya, telah ia dapatkan dengan pengamatan dan penyelidikannya sendiri. Ia bertambah yakin dan mempunyai pendirian, juga semakin teguh, bahwa Islam, selain merupakan pedoman hidup yang sempurna, juga merupakan satu-kesatuan dengan negara-bangsa bernama Indonesia.
Semasa berkuliah di STI, Lafran Pene menjadi ketua III Senat Mahasiwa STI di samping Janamar Azam dan Amin Syakhir. Di PMY (Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta) Lafran Pane juga ikut sebagai pengurus mewakili mahasiswa STI. Tidak mengherankan apabila Lafran Pane banyak bergaul dengan mahasiswa dan mengerti seluk-beluk kehidupan mereka sehari-hari.
Pada tanggal 5 Februari 1947, 77 tahun yang lalu, Lafran Pane memprakarsai dan mendirikan organisasi mahasiswa Islam yang dikenal dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Inilah bentuk pemikirannya yang konkret akan kebutuhan dan menjawab tantangan di tengah problematika kebangsaan dan keagamaan di Indonesia dulu dan kini.
Menurut Nurcholis Madjid (Cak Nur), saat itu mungkin Lafran Pane berpikir tentang dua hal yang sederhana saja. Pertama, sebagai seorang Muslim yang saleh, ia tampaknya merasa prihatin dengan tipisnya pengetahuan, pemahaman keagamaan di lingkungan perguruan tinggi.
Kedua, ia sangat merisaukan kurangnya pengetahuan umum di kalangan mahasiswa yang secara khusus ingin mendalami masalah-masalah keagamaan pada lembaga tinggi keagamaan Islam. Karena itu, hal yang segera tampak menurut Lafran adalah perlunya suatu kegiatan di mana kedua kelompok mahasiswa ini dapat saling bertemu untuk saling melengkapi.
Studi keagamaan bersama adalah suatu yang logis, tulis Hariqo dalam Lafran Pane: Jejak Hayat dan Pemikirannya (2011), yang notabene sudah ada contohnya pada kegiatan-kegiatan JIB (Jong Islamiten Bond) sebelumnya. Tetapi, berbeda dengan JIB, HMI yang dirintis oleh Lafran Pane bagaikan benih yang ditanam di ladang semangat kemerdekaan yang subur, sehingga cepat tumbuh dan berkembang, bahkan menjalar ke mana-mana.
Keislaman dan Keindonesiaan
Sebagai seorang intelektual, pemikiran Lafran Pane tak jauh dari kotak bernama keislaman dan keindonesiaan. Dua hal tersebut jugalah yang menjadi entitas penting dalam tujuan HMI, yakni “mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam”.
Dalam Intelektual Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia Muslim Abad Ke-20 (2002), Yudi Latif menilai tujuan HMI rumusan Lafran mengandung gagasan istimewa. Rumusan tersebut mengetengahkan dialektika gagasan kebangsaan dan keislaman yang serius—sebuah wacana panjang muslim Indonesia pada paruh pertama abad ke-20. Gagasan ini mulai didengungkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto, dimatangkan secara politik oleh M. Natsir, dan dibawa ke ranah kehidupan intelektual oleh Lafran Pane.
Sedangkan menurut penafsiran Agussalim Sitompul, sebagaimana tertulis dalam makalahnya yang berjudul “Memacu Peran HMI; Menghadapi Perubahan Zaman di Era Milenium Ketiga menuju Indonesia Baru”—yang dipresentasikan pada Latihan Kader III Tingkat Nasional HMI Badan Koordinasi Jawa Tengah-DIY pada 2009—rumusan tujuan ini mengandung tiga wawasan dengan sembilan pemikiran awal. Pertama, wawasan keindonesiaan; kedua, wawasan keislaman; dan ketiga, wawasan kemahasiswaan.
Rumusan tujuan HMI yang pertama, yaitu mempertahankan Negara Republik Indonesia, dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, memuat lima pemikiran: 1) Aspek politik, membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan; 2) Aspek pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa; 3) Aspek ekonomi, menyejahterakan kehidupan rakyat; 4) Aspek budaya, membangun budaya-budaya yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia; 5) Aspek hukum, membangun hukum yang sesuai dengan kepentingan pribumi.
Kedua, wawasan keislaman, memuat tiga pemikiran: 1) Pengamalan ajaran agama Islam secara utuh dan benar sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Hadits; 2) Keharusan pembaharuan pemikiran dalam Islam; 3) Pelaksanaan dan pengembangan dakwah Islam. Ketiga, wawasan kemahasiswaan, yang berorientasi keilmuan, dengan kewajiban menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kunci kemajuan bagi terwujudnya intelektual Islam.
Pembangunan Indonesia merdeka jauh lebih berat daripada sekadar merebut kemerdekaan. Karena itu, menurut Agussalim Sitompul, perlu dibina dan dikembangkan calon cendekiawan yang memiliki pengetahuan luas di segala bidang dengan dasar iman dan takwa kepada Allah Swt, bagi kepentingan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, untuk tercapainya masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah Swt.
Mengenai pemikiran keislaman dan keindonesiaan Lafran Pane, dapat dibaca dalam artikel panjang yang ia tulis, yang berjudul Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia dalam Pedoman Lengkap Kongres Muslimin Indonesia 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta. Artikel tersebut kemudian dihimpun Agussalim Sitompul bersama banyak tulisan tentang HMI lainnya dalam buku 50 Tahun HMI Mengayuh di antara Cita dan Kritik (1997).
Dalam artikel tersebut, Lafran menulis: “pembaharuan pemikiran keislaman harus dimulai dengan meniadakan kesenjangan dalam kehidupan umat Islam, terutama dalam soal pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan Islam.” Kemudian Lafran membagi umat Islam ke dalam 4 golongan, yaitu: golongan awam, golongan mistik, golongan alim-ulama, dan golongan terpelajar.
Golongan awam merupakan bagian terbesar, yaitu mereka yang mengamalkan ajaran Islam sebagai kewajiban yang diadatkan, seperti upacara kawin, mati, dan selamatan. Sedangkan golongan alim-ulama dan pengikut-pengikutnya adalah mereka yang mengenal dan mempraktikkan agama Islam sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad seperti tersebut di dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat.
Golongan ini tidak hanya mencontoh Nabi sebagai Rasul, tetapi juga sifat dan kebiasaannya, yang tidak bisa lepas dari masyarakat Arab, yang mempunyai sifat-sifat khusus dan berlainan dengan masyarakat Indonesia. Mereka masih menganggap masyarakat Arab lebih tinggi derajatnya (daripada masyarakat lain).
Lalu golongan alim-ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Menurut Lafran, pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat semata. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan), apalagi untuk memperhatikan pengaruh perubahan sosial yang ada dalam masyarakat dan dunia sekarang. Mereka ini berpendirian, bahwa kemiskinan dan penderitaan adalah satu jalan untuk bersatu dengan Tuhan.
Dan terakhir, golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dari keempat golongan di atas, golongan pertama dan kedualah yang paling besar pengaruhnya dalam masyarakat Islam. Lafran berkeyakinan bahwa golongan I dan II belum benar-benar memahami agama Islam lebih dalam. Mereka menolak kemodernan.
Mereka umumnya mempelajari agama Islam melalui doktrin tanpa ditindaklanjuti dengan bacaan dan diskusi kebudayaan. Padahal, agama Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga antara manusia dengan manusia lainnya, satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dari yang paling kecil, yaitu keluarga, sampai kepada masyarakat besar seperti negara.
Lafran Pane menyadari, jika kesenjangan pemahaman keislaman tersebut dibiarkan—sebagaimana ditulis Agussalim Sitompul dalam Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa (2002)—maka akan membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi perkembangan agama Islam di Indonesia. Karena itu, pembaharuan pemikiran merupakan satu keharusan bagi umat Islam.
Lafran meyakini pemahaman yang baik tentang Islam akan mempercepat kemajuan Indonesia sebagaimana dia meyakini bahwa Islam merupakan ajaran yang sempurna. Inilah latar belakang dari perumusan 4 golongan dalam umat Islam sebagaimana termaktub di atas.
Kesempurnaan Islam akan semakin tampak ketika ia mampu memasuki ruang-ruang masyarakat Indonesia yang telah terbentuk dari sejarah yang panjang, bahkan sebelum kehadiran Islam itu sendiri. Bagi Lafran Pane, lapangan kebudayaan adalah medan kajian yang terhampar luas untuk dipelajari oleh calon-calon intelektual Muslim Indonesia.
Lafran mengatakan: “Jika sebuah ajaran tidak mau memperhatikan budaya masyarakat setempat dan masih menjalankan peraturan‐peraturan dan tuntutan‐tuntutan yang tidak sesuai dengan keadaan, dapatlah dinamakan ajaran itu adalah ajaran yang kolot. Adat istiadat yang berlaku sekarang belum tentu akan dituruti oleh orang‐orang beberapa tahun kemudian, begitu pula dengan peraturan-peraturan yang diancam dengan hukuman sekarang, akan tetapi kebenaran (tauhid) tidak bergantung kepada ruang dan waktu.”
Sampai di sini, saya merasa bahwa apa yang digagas oleh Lafran Pane mengenai keindonesiaan dan keislaman adalah dua hal yang padu itu selaras dengan apa yang dikatakan Bung Karno, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
Meski menginginkan ajaran Islam yang berlandaskan kebudayaan Indonesia, kerangka pemikiran Lafran Pane dalam menafsirkan kebangsaan dan keindonesiaan selalu bersemangatkan asas modernisme, yang kerap minus dari nilai tasawuf dan kalam Asy’ariah.
Dari berbagai catatan pemikiran yang dikumpulkan Agussalim Sitompul, dapat terlihat bahwa Lafran Pane benar-benar mencitakan HMI sebagai wajah Islam yang mampu bergelut dengan tantangan zaman, khususnya dalam ruang kemahasiswaan. Namun, ia tak hanya memandang Islam sesuai dengan semangat modern, tapi sekaligus menjadi pengobat dari penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh modernitas, seperti kekeringan rohaniah masyarakat.
Sebagai orang yang pernah menimba ilmu di HMI, tentu saja sedikit banyak pikiran saya akan kebangsaan dan keislaman dipengaruhi oleh Lafran Pane—walaupun pada saat saya masih aktif di HMI kesadaran akan identitas antara keislaman dan kejawaan belum saya sadari.
Untuk itulah, sebagaimana telah saya tuliskan dalam esai Mulat Sarira: Jawa-Islam dan Arus Balik Kebudayaan (2023), pada akhirnya saya dapat menyingkap sedikit tabir bahwa Islam dan Jawa (Indonesia) sebenarnya adalah dua hal yang padu, serasi, saling menopang satu sama lain, hingga setelah peristiwa besar itu terjadi, Perang Jawa (1825-1830), atau kemenangan kompeni atas Pangeran Diponegoro. Sejak saat itulah, identitas Islam dan Jawa sebagai penyatuan, secara perlahan, mulai dipisahkan, terpecah-belah.
Menggugat Eksistensi HMI
Tiga bulan sebelum meninggal, Lafran Pane menulis artikel di Jawa Pos edisi 18 September 1990 dengan judul “Menggugat Eksistensi HMI”. Artikel terakhir yang ditulisnya ini seolah mengingatkan kader dan alumni HMI untuk kembali ketujuan awal didirikannya HMI pada 5 Februari 1947. Sesuai dengan judulnya, tulisan tersebut mempertanyakan posisi HMI dalam situasi dan kondisi politik saat itu.
Atau, mungkin, pernyataan itu juga dapat diartikan bahwa Lafran Pane saat itu telah melihat HMI sudah tidak lagi memainkan fungsinya sebagai intelektual Muslim dalam pengertian yang hakiki. Saya merasa, ini adalah puncak keprihatinan—jika bukan kemarahan—Lafran Pane terhadap kader-kader HMI.
Saya mengatakan hal demikian bukan sedang melebih-lebihkan atau mengada-ada, mengingat, semasa hidupnya, Lafran Pane dikenal sebagai sosok yang sangat pendiam, tidak pernah mencampuri urusan internal HMI kecuali memberikan materi dalam pelatihan-pelatihan HMI, dan merupakan orang yang jarang—untuk tidak mengatakan tidak pernah—menulis di media-media nasional. Maka, ketika seorang Lafran Pane menulis tentang HMI di sebuah media nasional, tentunya layak untuk direnungkan dan dijadikan sebagai kritik diri.
Dalam artikel tersebut, Lafran Pane menilai intelektual-intelektual Muslim sudah mulai kehilangan kepekaan sosial-politiknya. Ia menulis: “Dalam situasi politik apa pun, usaha‐usaha untuk menciptakan (1) Insan akademis yang (2) Islami dan (3) memiliki kepekaan sosial‐politik ini belum berhasil. Maka, tidak ada alasan untuk meniadakan HMI. Paling tidak, itulah keinginan saya sebagai pendiri organisasi ini.” Mengenai komitmen perjuangan intelektual Muslim untuk kejayaan bangsa Indonesia, Lafran menegaskan: “Kalau tekad tersebut belum tercapai, apa pun tantangannya harus dihadapi.”
Ia juga mengatakan: “HMI menginginkan semua mahasiswa yang beragama Islam (1) mengenal dan (2) menghayati agamanya serta (3) mengamalkannya di mana pun dia berada. Ketiga hal tersebut harus disesuaikan dengan atribut kemahasiswaan yang lebih menekankan pada etos kecendekiawanan. Harapan yang ingin dicapai dari semua ini adalah terciptanya (1) insan akademis yang (2) beragama, yang memiliki (3) wawasan dan (4) kepekaan sosial-politik.”
Lafran Pane bertanya: “Apakah peran ‘pabrik’ cendekiawan muslim yang berkualitas ini bisa dipertahankan? Ini mungkin harus dijawab generasi HMI yang ada sekarang ini. Dan untuk bisa mempertahankan peran tersebut, tidak ada jalan lain kecuali dengan menjadi lebih peka terhadap perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi.”
Apakah kader HMI saat ini dapat menjawab pertanyaan tersebut? Alih-alih menemukan jawaban, saya justru harus rela menelan pil pahit setelah menemukan laporan penelitian Center for the Study of Islam and Social Transformation (CISForm) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarya, yang mengungkapkan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam dalam menarik mahasiswa tidak sebaik kelompok ideologi Tarbiyah dan Salafi-Wahabi, baik dari sisi pendidikan kaderisasi maupun bangunan pergaulannya.
Sejarah memang tidak hanya mencatat sisi-sisi baik HMI. Sisi-sisi lain yang memprihatinkan juga menjadi perbincangan yang serius. Konflik intern yang kerap terjadi—meminjam istilah Buya Syafi’i—berupa budaya “tarik tambang” dalam tubuh HMI sungguh sangat merisaukan.
HMI sebagai organisasi mahasiswa pemersatu umat, dalam berbagai masa, juga sedang bergumul dalam lingkaran yang tak enak. Perpecahan di tubuh HMI bukanlah hal yang aneh, sementara citra intelektualisme sebagian tokohnya merosot dengan drastis. Buya Syafi’i berkomentar: “… rupanya sense of history HMI tidak cukup tajam. Himpunan ini tampaknya tidak cukup arif dalam membaca sejarah perpecahan dalam Sarekat Islam (SI), dalam Masyumi, dan kemudian dalam tubuh organisasi-organisasi lain. HMI kehilangan wawasan makro dan global.”
Belakangan ini, sebagaimana dituliskan Abdul Gaffar dalam esainya “72 Tahun HMI: Meneguhkan Arah Juang”, kader HMI seringkali terjebak pada persoalan-persoalan yang remeh-temeh. Tak ayal seringkali dijadikan alat empuk kaum elit politik, tak ubahnya sebagai alat oposan yang dengan mudahnya mampu mengubah pola pikir kader HMI sehingga lupa akan eksistensi sendiri sebagai gerakan nalar berpikir kritis.
Sampai di sini saya teringat tulisan Abd Rohian Ghazali, Sekjen DPP IMM, yang berjudul “Ketika Intelektualisme HMI Meredup” di Harian Kompas edisi 5 Februari 1997, yang saya baca di buku HMI Mengayuh di antara Cita dan Kritik.
Tulisan tersebut diawali pengakuan bahwa eksistensi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia adalah kontribusinya dalam diskursus intelektualisme Islam. Deliar Noer, Nurcholis Madjid, Ahmad Wahib, dan M. Dawam Rahardjo adalah di antara nama-nama yang pernah dibesarkan dalam HMI.
Kebesaran HMI, antara lain karena ketekunannya dalam melakukan kaderisasi. HMI Berhasil menampilkan diri sebagai organisasi mahasiswa yang berani melakukan terobosan intelektual dengan pemikiran-pemikiran alternatif yang mempu mencairkan kebekuan Islam ideologis pada masanya.
Bahwa HMI pernah menggoreskan tradisi intelektual yang signifikan dalam khazanah pemikiran Islam dan Indonesia adalah sesuatu yang tak bisa dibantah. Meskipun, pada dasawarsa terakhir, tradisi ini mulai meredup. Dan kini, rasanya sulit mencari indikator baru bagai survive-nya HMI secara intelektual. Maka tidak salah jika Buya Syafi’i berpendapat bahwa tradisi intelektual HMI kini telah menempati buritan sejarah. Agussalim Sitompul bahkan menulis 44 indikator kemunduran HMI.
Menurut Ghazali, setidaknya ada dua hal pokok yang menjadi penyebab redupnya eksistensi intelektualisme di tubuh HMI. Pertama, pengaruh sistem; dan kedua, orientasi yang sudah berubah. Dalam skala makro, meredupnya pamor HMI sebenarnya bukan semata-mata akibat dari problem internal. Tapi secara eksternal lebih merupakan akibat langsung dari sistem politik di masa Orde Baru.
Sedangkan orientasi yang sudah berubah maksudnya adalah aktivis HMI kini banyak yang sudah tidak lagi tertarik dengan suasana intelectual exercises. Sepinya berpikir kritis di tingkat aktivis HMI menjadi bukti bahwa kader telah berubah haluan menjadi pemalas untuk membaca dan lebih mengutamakan keuntungan pragmatis sehingga tumpul dalam menganalisis apalagi menulis perkembangan kehidupan bangsa yang seharusnya menjadi dialektika kebangsaan di negara ini.
“Adakah jalan keluar?” tanya Buya Ahmad Syafii Maarif dalam esai HMI dan Masalah yang Dihadapinya yang terbit di majalah Suara Muhammadiyah pada 1988.
Dalam sejarah kita juga diberitahu bahwa tidak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan. Tidak ada sengketa yang tidak mungkin didamaikan. Jalan pasti ada. Yang dituntut dari kita adalah jiwa besar yang mampu menghilangkan “parokialisme”—menilai dunia hanya melalui penglihatan dan perspektif sendiri tanpa menyadari bahwa orang lain memiliki cara-cara berbeda—yang tentu ada pada masing-masing pihak. HMI, kata Buya Syafii, tidak bebas dari unsur-unsur parokialisme. Inilah di antara sebab mengapa tubuh HMI sekarang menjadi tontonan sejarah yang memilukan hati.
Pada 2020, saat saya ziarah ke makam Lafran Pane di komplek pemakaman KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) di Yogyakarta, saya merasa pulang ke haribaan orang tua. Saya mengeluh; saya mengadu; saya merasa sentimentil; saya terbayang sosok orang tua yang merdeka, sederhana, bersahaja, visioner, lembut, penyayang, jujur, dan pemberani, sedang menyentuh kepala saya. Hampir saja saya menangis; hampir saja saya mengumpat.
Terakhir, izinkan saya mengutip lirik lagu “Lafran Pane” karya Bang Onang:
Dari jauh kukenal / Meliuk melambai di angkasa / Dari jauh kudengar / Sayup tapi tetap gemuruh / Kukenal lambaian itu / Kukenal kepakannya / Kukenal gemuruh itu / Kukenal iramanya / Semuanya adalah tanda kecerdasannya / Pribadi sederhana nan bersahaja /
Tak mau dikenal tapi jusru dikenang / Ia menghilang tapi tetap dipandang / Lafran Pane / Hijau hitam jiwanya / Bintang Pandangannya/ Lafran Pane / Ikhlas kau tanamkan / Usaha kau ajarkan / Lafran Pane / Tegar semangatmu / Bahagia tujuanmu / Bahagia HMI.
Selamat milad Lafran Pane, selamat milad HMI.[T]