SEPERTI biasa, saat mengunjungi sebuah tempat, saya selalu—tanpa rencana akan—bertemu atau menghubungi si A atau si B. Kali ini saya berkunjung ke sebuah desa di Kecamatan Gerogkak, Kabupaten Buleleng. Bagi para pelancong lokal dan internasional, desa ini cukup dikenal. Desa Pemuteran. Salah satu Desa Wisata di Bali.
Barisan bukit dan hamparan pantai menjadikan desa ini sebagai tujuan berwisata bahari dan bukit sekaligus. Seperti biasa saya mencoba mengulik hal-hal yang bisa dipelajari dan dilihat sebagai sebuah pembelajaran dari orang-orang yang saya temui.
Berawal dari buku tentang potensi Desa Pemuteran yang memuat proses pengolahan garam dalam berbagai varian dan bentuknya, akhirnya saya bertemu dengan pelakunya langsung. Bapak Made Gelgel, begitulah namanya. Laki-Laki berusia 50 tahun itu sudah sangat kenyang asin dunia pengaraman berbagai varian dan bentuk.
Made Gelgel | Foto: Nadiana
“Saya bertemu dengan orang Jepang ketika saya masih di Desa Seraya, Karangasem. Ia meminta saya untuk membuat garam olahan berbentuk piramid, kotak, dan bentuk lainnya,” Pak Gelgel mengenang dan memberi keterangan sejarah garam yang diolahnya menjadi berbagai bentuk.
Sejak 1998, berkat keberanian dan kecintaannya pada garam, membawa Made Gelgel mengembangkan produk wajib pada masakan itu. Kini, di Desa Pemuteran ia mendirikan CV. Bali Artisanal Salt. Garam yang digunakan diambil dari petani di kawasan Gerokgak.
Sudah 13 tahun Made Gelgel malang-melintang dalam pengolahan garam menjadi berbagai bentuk dan rasa. Ia mengaku mendapat pengalaman dari Garam Piramid Tejakula sampai Klungkung.
Tempak produksi Bali Artisanal Salt | Foto: Nadiana
Bali Artisanal Salt berlokasi di Banjar Loka Segara, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerogak. Tahun 2015, Made Gelgel dan kelompoknya mendapatkan bantuan dua bangunan rumah kaca dari Kementrian Kelautan RI. Kini, usaha yang dibangunnya sudah memperkerjakan setidaknya 10 orang pekerja.
Meski distribusi garamnya kadang masih naik turun, tapi laki-laki ramah dan suka berbagi informasi ini tetap optimis usahanya akan terus menemukan jalan asinnya.
Saya diajak berkeliling rumah produksi, sampai ruang sortir dan kembali ke meja obrolan sampai larut sore. Dari sekian kali ke Pemuteran, sekali lagi saya mendapatkan ruang belajar dan berwisata baru di tengah hiruk-pikuk tempat wisata yang jauh dari kreatifitas, inovasi, dan edukasi yang sedang hangat bahkan panas hari-hari ini.
Garam kemasan produksi Bali Artisanal Salt | Foto: Nadiana
Obrolan berlanjut, meninggalkan tempat produksi, menuju rumah sekaligus toko—sebutlah “Bali Artisanal Salt Hub”. Kembali saya diajak melihat-lihat dan bahkan dikasih gift alias gagapan atau oleh-oleh. Betapa kreatifnya aneka garam yang dibikin menjadi berbagai bentuk dan rasa ini.
Made Gelgel menjelaskan satu persatu, dan yang menjadi perhatian saya tentunya garam asap “smoky salt” dalam kemasan bambu dan ulatan kulit “blayag”. Ada yang original, ada juga yang sudah diisi black paper atau merica. Jadi, ketika manggang atau membuat stake tinggal ditabur.
Toko Bali Artisanal Salt | Foto: Nadiana
Karena prosesnya memakan waktu yang sangat lama, dan proses sortir yang ketat, garam-garam ini termasuk ke dalam golongan garam premium. Saat ini, garam produksi Made Gelgel sangat diminati sebagai souvenir dan sudah mempunyai pasar tersendiri lewat kerjasama dengan beberapa perusahaan.
Terima kasih atas cerita asinnya, Pak Made. Sebagai anak petani garam, saya merasa bangga, bahwa ternyata negara kita tidak hanya mengimpor garam, tapi juga mengekspor garam ke luar negeri. Saya pasti akan kembali, selain menikmati laut dan bukit, juga asin Pemuteran yang cantik ini.[T]
Reporter: Nyoman Nadiana
Penulis: Nyoman Nadiana
Editor: Jaswanto