AKHIR-AKHIR ini sering diperdebatkan, apakah orang Islam itu perlu kaya ataukah cukup membiarkan dirinya miskin dan hidup apa adanya. Di antara mereka berpendapat, bukankah orang Islam itu perlu membayar zakat, rajin bersedekah, bahkan berangkat haji ke Mekah. Bukankah semuanya itu memerlukan biaya tinggi, dan karenanya umat Islam harus hidup kaya? Di sisi lain, bukankah rezeki setiap orang sudah diatur dan ditakar oleh Allah, lalu mengapa Allah menakdirkan umat Islam hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan?
Sesungguhnya, kaya jiwa identik dengan kekayaan iman dan ilmu, sebab kaya ilmu tanpa kekuatan iman niscaya akan menjerumuskan manusia kepada keangkuhan dan kesombongan. Sebaliknya, iman tanpa kecerdasan (ilmu) juga akan membuat agama mudah diperlakukan sebagai “berhala” yang akan memenjarakan jiwa. Rasulullah menyatakan perihal makmurnya suatu negeri, jika orang-orang miskinnya dapat bersabar, dan orang-orang kayanya banyak bersyukur. Dalam masyarakat seperti itu, si miskin akan jauh dari rasa frustrasi dan sikap putus asa, sementara si kaya akan bersikap loyal dan rendah hati, karenanya akan senantiasa menopang nasib si miskin dari kekurangan dan keterbatasan rezekinya.
Kaya harta sama sekali tidak identik dengan kaya jiwa, begitupun sebaliknya. Orang yang kaya jiwa meskipun miskin harta, niscaya akan bersabar dengan segala keterbatasannya. Tetapi, orang yang miskin jiwa meskipun kaya harta, ia akan senantiasa hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan. Ia merasa tidak perlu menambah kualitas ilmunya lantaran merasa dirinya cukup pintar, karenanya keimanan dalam dirinya bersifat mandek dan statis. Padahal, sifat iman sebagaimana ilmu, akan terus mengalami fluktuasi peningkatan, dan karenanya hanya dengan kerendahan hati dan merasa dirinya “bodoh” seseorang akan terus mencari dan menemukan dinamikanya yang lebih luhur.
Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan bahwa ketamakan dan keserakahan diperbolehkan manakala diperuntukkan untuk peningkatan keilmuan. Namun, kebanyakan orang lebih fokus pada urusan-urusan persaingan duniawi, hingga membolehkan segala cara demi untuk melegitimasi hawa nafsu, sifat dengki, dan dendam kesumatnya.
Pada prinsipnya, memang ada manusia tertentu yang dimudahkan rezekinya oleh Allah, baik rezeki yang bersifat kekayaan ilmu (hidayah) maupun kekayaan harta (kekuasaan). Rezeki dalam kategori kedua ini memang mudah dilihat secara kasatmata, sehingga banyak orang diberkahi kekayaan materi, lalu menganggap bahwa Tuhan sedang menolong dan mengasihi dirinya. Padahal hakikatnya, Tuhan sedang menguji kualitas hidupnya, apakah ia sanggup menjadi ahli syukur dan dermawan dengan harta kekayaan yang dimilikinya, ataukah sebaliknya.
Banyak orang berlomba untuk mengejar pundi-pundi lantaran didorong oleh hasrat dan nafsu hendak mengungguli dan mengalahkan pesaing atau rivalitasnya. Generasi “sakit hati” semacam ini tak ubahnya mental inlander yang ujung-ujungnya, ketika mengalami jalan buntu, mereka akan melarikan diri pada klenik dan takhayul, hingga terpelanting dan menjauh dari kualitas iman yang semula sudah dipupuknya. Layaknya seorang pemintal kain tenun, lalu ketika kain tenun akan rampung dipintal, tiba-tiba dia mengobrak-abrik dan mengacak-acak kembali benang-benang hasil tenunannya.
Hak Prerogatif Tuhan
Sesungguhnya, kaya harta dan jiwa tak bisa menjadi monopoli agama tertentu. Ia hanya menjadi hak prerogatif Tuhan Yang Maha Kaya (ghani) dan Maha Pemberi rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya (mughni). Tuhan juga berhak memberikan kepada siapapun, meskipun dia seorang atheis atau tidak berpegang pada kepercayaan agama tertentu (agnostik).
Di kalangan filosof Barat, seorang agnostik disebut sebagai manusia tanpa agama (homo non-religious). Ia adalah manusia profan yang cenderung sekuler, tetapi bukan berarti anti agama tertentu. Sebagaimana sosok Salman Al-Farisi yang terlahir dari orang tua Majusi (Zoroaster), kemudian ia melanglang buana mencari kebenaran melalui pendeta Nasrani, saudagar Yahudi, hingga kemudian menemukan kebenaran tertinggi ketika berjumpa Rasulullah di Madinah. Untuk itu, Rasulullah pernah menjuluki dirinya sebagai “ahlul bait”, meskipun Salman hanya seorang pendatang dari Persia (Iran).
Kaum agnostik sangat marak di era abad pertengahan (aufklaerung) di negeri-negeri Eropa. Terutama dianut oleh para eksplorator dan ilmuwan, setelah bersengketa sengit dengan kalangan Gereja (Kristen Ortodoks). Saat itu, dunia Gereja tak sanggup menjawab persoalan-persoalan prinsipil yang bersifat logis dan rasional, karenanya kaum fanatik dari mereka disebut penganut fundamentalisme, yang konotasinya bukan lagi “mengakar” atau “membumi”. Secara politis, sebutan fundamentalisme kelak menjadi cikal-bakal untuk mengklaim dunia Islam sebagai gerakan “radikalisme”.
Padahal secara etimologis, manusia perlu berpikir radikal untuk dapat menemukan akar permasalahan yang lebih fundamen dari persoalan-persoalan ketuhanan maupun kemanusiaan.
Kembali pada soal kekayaan jiwa, di dalam Islam dikenal sifat “zuhud” yang banyak diteladani kaum sufi dan para wali kekasih Allah. Sifat ini bukan mengajarkan manusia agar hidup miskin, akan tetapi memberi peringatan agar manusia membaca, bercermin diri dan bermuhasabah, serta memahami batas kemampuan dirinya.
Untuk itu, dalam kezuhudan dan kesederhanaan, seseorang tetap harus menjaga martabat dan harga dirinya. Ia tidak boleh bermental budak, yang hidupnya merasa terjajah dan termarjinalkan. Ia tak layak merasa dirinya sebagai “korban” dari ketidakadilan sistem, meskipun tetap akan berposisi selaku pembela dan penegak keadilan dan kebenaran, jika melihat orang-orang diperlakukan sewenang-wenang.
Kilas Balik Sejarah
Di zaman kerasulan Muhammad, ketika hitung-hitungan politik belum memungkinkan untuk merombak sistem secara revolusioner, maka sahabat Abu Bakar rela mengeluarkan sebagian hartanya untuk menebus pembayaran pada seorang pembesar Qurays, agar memerdekakan Bilal bin Rabah selaku budaknya. Seketika itu, terbebaslah budak asal Afrika itu dari belenggu tiran dari sang majikan.
Dalam sistem ekonomi yang digenggam penguasa totaliter yang bertindak semena-mena, hanya beberapa gelintir orang kaya yang sanggup bersikap dermawan hingga mampu menebus dan membebaskan para budak yang tertindas. Lalu, di manakah peran orang-orang kaya lainnya? Di sini perlu ditegaskan sekali lagi bahwa: “Dalam sistem yang korup dan tidak adil, kekayaan selalu saja buah dari sistem semacam itu.” Namun demikian, Islam hadir bukanlah untuk menghancurkan sistem (status quo). Berbeda dengan revolusi fasisme maupun komunisme yang cenderung merusak dan menghancurkan sistem lama, akan tetapi Islam hadir secara transformatif yang bersifat melengkapi dan membenahi sistem (status quo).
Sebab bagaimanapun, kehidupan ini adalah siklus rutinitas yang harus dimaknai secara religius dan imanen. Matahari selalu terbit dari timur pada waktu yang sama, dan tenggelam ke barat pada waktu yang sama pula. Tiap-tiap negara punya karakter musimnya tersendiri yang harus pintar dikelola populasi penduduk yang menetap di dalamnya. Dari bangun tidur hingga ke tidur lagi, kita melakukan ibadah, makan-minum, berangkat dan pulang kerja (sekolah) terus-menerus pada ruang dan waktu yang sama.
Tahu-tahu kita sudah menua, kemudian lahir bayi-bayi baru generasi anak-cucu. Jika kita tak mampu memaknai kehidupan ini secara dinamis, serta tak sanggup berperan dan ikut andil dalam percaturan sejarah, terutama melalui sumbangan ilmu dan amal jariyah, maka hidup kita hanyalah seonggok daging yang muncul dalam beberapa dasawarsa ini, kemudian punah dan menghilang dalam dasawarsa berikutnya.
Kehidupan para sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, para sufi dan wali kekasih Allah, adalah tipologi terbaik yang patut menjadi teladan kita semua. Untuk itu, dalam bacaan salat (al-Fatihah), senantiasa kita minta ditunjukkan jalan yang lurus, yakni jalan mereka yang tidak dimurkai Allah (al-magdlub), juga bukan jalan orang-orang yang berada dalam kesesatan (ad-dlallun).
Terkait dengan sistem yang tidak adil (korup) yang sekan bermutasi dari satu pemerintah ke pemerintahan baru, barangkali perlu dipahami perihal bangsa ini yang baru bangkit dari puing-puing pasca-kolonialisme. Oleh karena itu, tindakan meniru dan meneladani kaum imperialisme yang bersifat “memburu” dan mengeksploitasi manusia lapisan bawah, untuk tujuan memperkaya diri (dengan dalih apapun) adalah tindakan sewenang-wenang yang tak bisa ditoleransi. Baik dalam pandangan kaum beragama maupun dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks ini, Rasulullah pernah memperingatkan bahwa mereka yang memperjualbelikan agama (akhirat) demi untuk kepentingan dunia, jauh lebih berbahaya ketimbang orang yang mencari dunia tapi diperuntukkan bagi kepentingan akhirat (agama).
Dulu, ketika seorang sahabat melaporkan pada Nabi tentang adanya orang Tionghoa yang bertransaksi (muamalat) di Pasar Madinah, justru Rasulullah mengingatkan para sahabat bahwa ilmu Tuhan memang tiada terbatas. “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina,” ujar Rasulullah. Secara pribadi, saya merasa khawatir, jangan-jangan sebagian penceramah yang melarang kita bermuamalat dengan orang Cina (karena dianggap kafir), justru mereka termasuk kategori yang berseberangan dengan cita-cita Rasulullah. Boleh jadi mereka tergolong manusia yang hanya sibuk membangun akhirat, tapi demi keuntungan duniawi semata.
Bandingkan dengan etnis Cina yang rajin berbisnis dalam kesehariannya, namun tak jarang di antara mereka yang ikut menyumbang bagi pembangunan masjid maupun pesantren. Ketimbang orang yang menyibukkan dirinya di dunia pesantren, namun getol mengorupsi uang santri bagi kepentingan dirinya dan keluarganya.
Muslim Idealis
Secara ideal, tentu saja seorang muslim dan pemeluk agama apapun menginginkan kaya jiwa sekaligus kaya harta. Idealisme semacam itu tak ubahnya dengan ribuan dan jutaan rakyat Indonesia yang bercita-cita ingin jadi presiden atau menjadi pilot, sehingga kita bisa mengoperasikan lajunya pesawat yang meninggalkan landasan, atau menguasai negeri demi terselenggaranya rakyat adil dan makmur. Meski pada akhirnya, toh kita semua harus legawa menerima, bahwa pada kenyataannya hanya satu orang presiden yang akan terpilih nanti. Entah yang satu orang itu pernah bercita-cita jadi presiden sewaktu kecil, atau justru tidak sama sekali. Namun, fakta akan menunjukkan bahwa Tuhan hanya akan “mengabulkan” permintaan satu orang saja, ketimbang ribuan dan jutaan lainnya.
Demikian halnya dengan kehendak ingin menjadi orang kaya, terutama kaya harta. Seringkali orang-orang di sekeliling kita tergopoh-gopoh dan terseok-seok hingga menggadaikan nalar dan akal sehatnya untuk meraih kekayaan duniawi. Mereka berdalih, lalu siapakah yang akan membayar zakat dan pergi ke Baitullah, jika umat Islam tidak menjadi orang-orang yang kaya harta? Bukankah kefakiran dapat menjerumuskan manusia ke jurang kekufuran?
Dalam perspektif tertentu, sebenarnya ketidakadilan sistem di manapun, dan zaman kapan pun, sudah ada gambarannya dalam sejarah hidup Nabi maupun para sahabat? Bukankah ketika bertahun-tahun dunia perdagangan disabotase dan diboikot secara masif, justru membuat pengkhidupan umat Islam menjadi terpuruk? Bahkan para sahabat, termasuk Nabi sendiri terpaksa harus mengais-ngais makanan dengan harga murah, sampai-sampai tulang unta yang masih muda terpaksa harus menjadi sop untuk dikonsumsi keluarga Nabi dan saudara-kerabatnya?
Memang, sangat jarang orang yang mau berjuang meluangkan waktu dan daya upaya demi untuk meraih kekayaan jiwa. Karena ia dianggap tak kasatmata, meski pada hakikatnya di situlah letak kebahagiaan yang sesungguhnya. Kekayaan jiwa memang tidak bersifat wadak demi kepentingan sesaat dan kesenangan semu belaka. Ia merupakan kakayaan batin yang tidak bersifat zahir, namun dengan itu manusia Indonesia akan menjaga martabat dan harga dirinya sebagai manusia beradab, berkeadilan dan berbudi luhur.
Dengan kekayaan jiwa, seorang muslim akan sanggup meraih sifat wara dan qanaah, sehingga ketika banyak orang pontang-panting untuk mengejar kedudukan dan “membeli” dunia, seorang yang qanaah justru membuat seluruh dunia tak sanggup membeli harga dirinya.
Kita hendaknya menjaga diri (takwa) agar jangan tergiur oleh tipuan fana yang meninabobokan dan menyesatkan. Kita mesti menyadari diri kita yang baru bangkit dari puing-puing reruntuhan penjajahan (pasca kolonialisme). Sehingga, kebangkitan ini tidak selayaknya dengan memelihara sifat “berburu” untuk menjadi penjajah-penjajah baru, lantaran kita merasa pernah menjadi makhluk terzalimi (tereksploitasi) di masa lalu.
Hendaknya kita menghargai dan menghormati setiap orang yang berjuang sesuai kapasitasnya, berikut rizki yang menjadi hak dan perolehannya. Kita juga harus menghargai orang-orang yang sanggup menggapai kekayaan materi, terlebih kekayaan ilmu dan hidayah di sekeliling kita. Apapun etnis, agama, dan kepercayaan mereka. Yang diperintahkan bagi kita adalah berjuang secara optimal untuk menjadi manusia-manusia yang kaya jiwa sekaligus kaya harta. Meskipun kita menyadari, bahwa orang-orang yang kualitas kesalehannya tinggi seperti para sahabat Nabi, tidak jarang mereka pun hidup dalam keterbatasan dan kekurangan.
Mereka senantiasa mengingat dan mengindahkan sabda Rasulullah, bahwa orang yang memiliki kekayaan iman dan ilmu, niscaya hidupnya akan merasa cukup dan dilapangkan selalu. “Dan jika seorang hamba merasa dirinya cukup,” demikian tegas Rasulullah, “niscaya Allah akan memberinya kecukupan dalam hidupnya.”[T]