SEBUAH stigma dalam revolusi sosial, bahwa dunia sastra seolah-olah terlepas dari dunia pendidikan. Orang tidak lagi melihat spektrum sastra sebagai bidang keilmuan yang juga turut membangun dan memajukan dunia pendidikan. Orang di sini, dalam artian kelompok masyarakat, yang hanya mengenal dunia pendidikan sebagai tempat atau lembaga penyerapan ilmu pengetahuan.
Sementara revolusi sosial sebagai pergeseran keilmuan dan pengetahuan yang disebabkan makin majunya era teknologi. Perspektif sastra dianalogikan sebagai ruang untuk berkreativitas bagi para pegiat sastra. Apakah ini sebuah konsepsi yang subjektif dan tidak tepat (stereotip).
Hal di atas tentunya harus dikaji dari beberapa dimensi, karena seyogianya konsep pemikiran sastra itu berorientasi humanis dan sastrawi. Sehingga kita tidak terjebak dengan asumsi yang menjustifikasi sebuah simpulan.
Kita tidak bisa bayangkan, jika suatu saat ruang sastra tak mampu lagi melakukan afagosis terhadap nilai-nilai sastrawi. Peradaban menjadi samar dan menakutkan. Pemikiran terhadap nilai-nilai teosentrisme (keyakinan untuk beragama) berubah menjadi ateisme. Bahkan, bumi ini menjadi ekstrem, peradaban berkecenderungan menuju sebuah muara yang diistilahkan dengan apokaliptik (berkaitan dengan kehancuran atau kiamat).
Pemikiran manusia menjadi dewa, menjadi Tuhan, dan ruang sastra dijadikan alat penindasan rasionalitas kepada orang-orang yang “tetap setia” pada nilai-nilai sakral teosentrisme. Afagosis yang secara terminologi adalah ketidakmampuan untuk makan, dianggap sebagai simbol kegagalan fisik untuk melepaskan kegelisahan, keresahan serta ikatan primordial— dalam interaksi sosial. Bisa jadi, muncul stigma tentang peradaban samar.
Tiga tahun silam atau lebih, ketika kita seakan dibelenggu oleh kondisi pandemi yang berkepanjangan, nalar kritis kita menjadi tersumbat, buntu, dan melahirkan kondisi-kondisi ambivalen, antara wujud dan tidak berwujud. Semua ruang seakan memunculkan potensi sikap kecurigaan, imbas dari wujud keterbatasan sosial dan ruang gerak ketika melewati fase kritis pandemi.
Dampaknya begitu lekat dengan mata manusia, di mana manusia memandang dunia luar seolah-olah seperti musuh yang harus diwaspadai. Ini menjadi ritmis duka yang begitu liris. Kehidupan seperti sebuah prosais yang menjenuhkan dan melelahkan.
Manusia menjadi apriori dan berperilaku sensitif. Fase genting dilewati, bagaimana harus keluar dari kota-kota yang digembok dan diawasi secara ketat, dengan apa yang dianalogikan lapisan regulasi. Dalam sebutan arkais, kota menjadi makna ambigu dan diistilahkan: panoptikum!
Pemaknaan ruang lingkup menjadi terbatas yang diakibatkan oleh penyebaran virus mematikan, memunculkan sebab-akibat, yang sebetulnya manusia gagal membacanya. Perilaku sosial yang menjadi tidak lazim, seakan mengubah peradaban.
Munculnya pemikiran baru dalam desakan frasa “samar dan entah”—tetapi tetap diawasi oleh otoritas pemerintah. Maka, panoptikum menjadi alat yang dapat melihat atau menangkap semua benda sekaligus. Termasuk gerak-gerik masyarakat.
Di satu sisi, pilihan hidup adalah bagaimana harus bertahan dan dihadapkan pada aspek kestabilan ekonomi. Setiap fase masa, tentu ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Bagaimanapun, manusia adalah entitas sosial yang dilengkapi dengan nalar logika. Tinggal bagaimana cara konsep pilihan dalam pengejawantahan kondisi untuk melalui fase-fase sulit. Logika kita berkata, situasi ini dihadapi oleh hampir semua orang. Kondisi di mana dunia seakan dikepung oleh kecemasan akut.
Tidak terlepas dari sebuah pilihan, bahwa ruang kreativitas sastra adalah sebuah wujud dari entitas seni yang juga butuh dipertahankan dan dikembangkan. Semarak untuk mengembangkan kesasteraan, boleh dianggap sebagai upaya dari pelestarian sebagian cagar budaya. Ingat, pada satu sisi, manusia memiliki entitas sosial sebagai pengendali dari nilai-nilai budaya.
Tetapi, dalam kosakata budaya, sering dianggap bersentuhan dengan hal-hal yang secara kasat mata tidak nampak. Maka, dengan rumusan sederhana, kegiatan-kegiatan yang berbasis nilai seni dapat dianggap sebagai bagian dari kebudayaan.
Persoalannya, kebijakan yang bersifat politis memunculkan sikap pragmatis, bahwa untuk melepaskan diri dari keterpurukan ekonomi, harus ada yang dikorbankan. Tekstual budaya dianggap kurang penting, dan menghambat teknis regulasi.
Setelah melewati fase kritis pandemi, muncul pertanyaan, ke arah mana dimensi dan konsep sastra ini dikembangkan? Di sini, penulis ingin mempersempit ruang dan berorientasi pada sastra. Di lain pihak, makin pesatnya teknologi informasi berbasis digital, ada hal-hal positif yang mendorong para pegiat sastra untuk tetap berkarya. Informasi akurat dan cepat, lebih mudah dijangkau karena makin banyaknya ruang digital yang setiap waktu dapat digunakan oleh siapa saja.
Seiring waktu berjalan, siapa pun sudah terjebak oleh kebutuhan teknologi, pembacaan era modern menjadi alibi pembenaran dalam menggunakan alat komunikasi berteknologi android. Melalui alat ini, siapa saja dapat menempatkan dirinya pada strata sosial yang instan.
Bagaimana dengan mudahnya orang mengakses sumber-sumber informasi sampai ke ujung dunia, hanya dengan bantuan perangkat teknologi, yang dinamakan ponsel, HP android, gadget, gawai, dan sejenisnya.
Bagaimana seseorang atau siapa saja yang menulis karya sastra, dan terpublikasi dalam jejaring sosial apa pun, dengan mudahnya menjadi sastrawan; menjadi penyair; menjadi penulis, sekalipun indikator karyanya sangat subjektif.
Ruang kreativitas sastra menjadi terbuka lebar, yang kemudian siapa pun berlomba-lomba ingin disebut penyair, atau ingin disebut sastrawan, tanpa memahami apa esensi dan tujuan penulisannya. Di mana-dimana, tampilan karya sastra lebih menonjolkan aspek popularitas seseorang daripada bobot tulisannya. Zaman menjadi sebuah era pencitraan.
Tentu kita tidak menolak dan bersikap skeptis terhadap karya-karya sastra baru, yang setiap waktu bermunculan. Mungkin karena keterbatasan para penulis atau pengarang yang menerjemahkan konsep modernitas sastra. Dalam sudut pandang penulis, karya-karya sastra yang hadir kini, sangat minim dengan kritikan.
Bisa jadi, karena para pegiat sastra menjadi saling memafhumkan satu sama lainnya dan lebih memilih cara serta jalannya sendiri-sendiri. Entah apakah sastra itu akan terjun bebas, atau sekadar lewat dalam ruang-ruang virtual. Sebuah penafsiran sangat ambivalen, sastra menjadi inferior (bermutu rendah).
Dalam kisah klasik, perseteruan “dunia barat” dan “dunia timur” seakan memunculkan persaingan tiada henti. Di mana, dalam anggapan tipo, merupakan tempat yang tidak memiliki garis batas dengan jelas. Kita terjebak dengan sebuah frasa, yang sebetulnya kandungan makna linguistik.
Kita digiring dalam pemahaman imaji, yang membuat batasan-batasan logika kita menganggap dunia barat jauh lebih maju dari dunia timur. Seolah-olah konsep peradaban dunia dimulai dari barat. Dunia barat dianggap sebagai pencetus peradaban maju dan modern.
Lebih lanjut, dalam ruang waktu berbeda, karya-karya sastra menjadi jalan dalam memunculkan aliran atau genre sastra. Tetapi, jika ditelisik lebih mendalam, apakah esensi sastra mengenal dengan sebuah pembaharuan seperti peredaran zaman yang menuju era modern?
Maka, konsep ini melengkapi garis-garis batas yang tidak jelas. Mungkin akan muncul pertanyaan, bagaimana dengan peredaran masa sastra Indonesia yang dibatasi oleh sebutan “angkatan”? Katakan seperti Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Pujangga’45, Angkatan Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan seterusnya.
Dalam kutipan seorang penulis, Ayu Utami mengatakan: “bukan hiduplah jika tak terus bergerak”. Ini mungkin bisa kita anggap sebagai pembenaran bagi masa-masa yang dilewati oleh pelaku-pelaku sastra.
Maka, kalau saat ini bermunculan pegiat-pegiat sastra yang memaknai kreativitasnya sebagai sebuah ukuran di mana sastra itu juga hidup dan bergerak, ini karena ekses dari buntunya ruang kreatif pada masa pandemi. Pemikiran menjadi tersekat, dan terkadang dalam makna arkais seakan terpenjara.
Judul di atas sepertinya memunculkan analogi sarkasme atau yang lebih santun, mungkin sedikit arkais, meski bagi penulis tidak bermaksud menciptakan satire liar seperti dalam karya-karya puisi. Tetapi bagaimana karya sastra berada pada kedudukannya, yang seyogianya melewati fase-fase terukur seperti dalam proses pendidikan. Sebab sastra tidak hanya semata dilihat pada kacamata hiburan, karena dalam proses penulisannya lebih banyak menggunakan imajinasi, tetapi ini harus dimaknai sebagai sebuah edukasi yang mampu membaca dan menelaah stereotip modern.
Maka dalam pengukuhan karya sastra yang berada dalam ruang stereotip modern, ada 3 (tiga) hal yang harus dicapai, yakni: transisi, transformasi, dan edukasi. Meski dalam perjalanannya untuk mencapai sebuah tujuan, dapat dilakukan secara individu maupun kelompok atau komunitas.
Konsep modernitas, tidak hanya sekadar membaca transisi dan transformasi teknologi digital, tetapi bagaimana aspek ini dijadikan proses pematangan karya-karya sastra. Termasuk juga pada aspek edukasi bagaimana sebuah karya sastra ini mampu memberikan resultansi positif dalam konteks sosial. Sebab konsep modernitas sastra itu, adalah keseluruhan dunia semesta dalam persaingan karya sastra dunia.
Dalam kilas balik sastra Indonesia, kadang atau bahkan menjadi sebuah seremonial, yang mengukuhkan pengakuan kesasteraan Indonesia ini dengan kejayaan penyair Chairil Anwar. Tetapi kita tidak menutup mata, bahwa dunia sastra itu juga banyak melahirkan penulis-penulis hebat melalui karya novel, cerpen, esai atau bentuk-bentuk lainnya dalam bentuk karya fiksi. Bisa jadi, karena terlalu banyaknya sudut pandang berbeda terhadap karya sastra kekinian, yang semuanya butuh label modernitas.
Jika kita mengaca pada proses transisi, transformasi dan edukasi, maka selayaknya kehidupan semarak sastra itu menjadi simpul perekat dalam dunia pendidikan. Bagaimana karya sastra yang dihasilkan membuka cakrawala pengetahuan dan wawasan baru dalam pendidikan.
Sastra yang merupakan peninggalan budaya bangsa, dalam konteks pendidikan nasional, merupakan aset bangsa karena kedudukannya sama dengan bahasa. Kajian ini didasarkan pada PP Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan dan Perlindungan Bahasa & Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa.
Memang tidak mudah, untuk menempatkan ruang sastra dalam pendidikan formal, karena kerangka pendidikan tidak akan terlepas dengan sistem kurikulum. Sementara semarak kehidupan sastra bersifat kontekstual, berjalan dengan cara dan tujuannya masing-masing. Serta adanya asumsi teori, membedakannya dalam keilmuan yang melihat definisi sastra sebagai ruang kreasi yang tidak bersifat otonom. Sementara pendidikan sebagai fase pembelajaran yang di dalamnya dituntut untuk penyerapan ilmu pengetahuan.
Maka secara eksplisit kita bisa melihat konsep modernitas itu menjadi tidak sejalan antara dunia pendidikan dan dunia sastra. Pendidikan dalam kesejatian pemikiran kebanyakan orang lebih bersifat formal, sementara sastra lebih cenderung kepada nilai-nilai imajiner yang berada dalam lingkup sosial untuk menghasilkan nilai seni keindahan kata. Pendidikan berada dalam kerangka keterikatan sistem, sementara sastra pada ranahnya sendiri.
Sebagaimana deskripsi di atas, konsepsi stereotip modern bagi pelaku sastra memiliki definisi yang berbeda, karena tidak ada aturan yang mengikat secara legal formal. Karya sastra menjadi ajang perlombaan yang tidak memiliki arah jelas.
Dunia sastra menjadi medium tanpa pandangan yang terorganisir dalam pencapaian keilmuan, meski ini begitu pragmatis (jika) disebut sebagai keilmuan. Dalam perspektif penulis, keilmuan itu harus memiliki indikator (nilai ukur) yang jelas. Sastra lebih cenderung kepada nilai-nilai subjektif.
Dalam pencapaian tertinggi di bidang sastra, sebetulnya banyak lomba atau wadah yang bisa dijadikan keberhasilan karya sastra. Misalnya, melalui penerbitan di media cetak atau media online. Sayangnya, karya-karya semacam ini sering dianalogikan sebagai pencapaian dalam membangun pencitraan diri.
Sungguh prihatin, jika definisi modernitas sastra dalam pendidikan kini berjalan limbung, sastra terjun bebas! Atau bisa jadi, sastra menjadi impresif untuk mencari jati diri baru. Memaknai revolusi zaman sebagai perubahan era modern menuju era postmodernis.[T]