PAGI menjelang siang itu, Desa Pedawa sedang diselimuti mendung, nyaris tak ada celah sinar matahari untuk menerobosnya. Tanahnya, jalanannya, rerumputan, dan pohon-pohon cengkeh dan arennya basah oleh guyuran hujan awal tahun.
Di bawah mendung yang semakin menebal, di seberang pura tua, di sebuah lapangan berumput hijau, berdiri tenda warna-warni dengan berbagai ukuran. Tenda-tenda itu tampak layu dan menggigil di tengah udara Pedawa yang sejuk dan agak berangin.
Sedangkan di bawah bangunan tanpa pintu dan berdinding anyaman bambu sederhana itu—seperti sebuah aula—orang-orang duduk di kursi plastik berwarna merah dan bergerombol dengan satu orang menjadi pusat perhatian.
Mereka, orang-orang yang bergerombol itu, tidak sedang arisan, musyawarah, apalagi bergosip; tapi sedang melangsungkan kegiatan bertajuk “Bali Wildlife Camp 2024”—pendidikan dan latihan dasar tentang konservasi kehidupan liar di Bali.
Beberapa tenda peserta Bali Wildlife Camp 2024 / Foto: Jaswanto
Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh PROFAUNA (Protection of Forest and Fauna) Bali yang bekerja sama dengan PROFAUNA Indonesia Foundation, Kayoman Pedawa, dan Yayasan Penyu Indonesia. Acara yang diselenggarakan untuk generasi muda yang ingin belajar tentang konservasi satwa liar ini, diadakan pada tanggal 6-7 Januari 2024 di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.
Menurut pendiri PROFAUNA, Rosek Nursahid, Pedawa sangat tepat dijadikan lokasi pelatihan tersebut karena, selain terdapat komunitas pemerhati lingkungan seperti Kayoman, desa tua ini juga dinilai memiliki lingkungan yang mendukung. “Ada vegetasi, ada satwa liar,” ujarnya, Sabtu (6/1/2024) siang.
Sejauh ini, ekosistem atau lingkungan Desa Pedawa memang masih bisa dibilang “sehat”. Selain memiliki hutan dan mata air yang masih terjaga, orang-orang Pedawa juga sudah memiliki kesadaraan untuk menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan. Hal tersebut pada akhirnya juga berdampak pada keberlangsungan hidup satwa liar di sana.
Bali Wildlife Camp 2024 di Pedawa, sebagaimana dituturkan Rosek, merupakan kegiatan PROFAUNA yang pertama. Artinya, selama ini PROFAUNA hanya melakukan training-training biasa di berbagai daerah di Jawa, Kalimantan, atau di Maluku. Menjadikan Bali sebagai tempat pertama, menurut Rosek, karena Bali memiliki sejarah kelam tentang eksploitasi penyu untuk dikonsumsi.
“Ada dua hal yang kami inginkan atas terselenggaranya kegiatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan praktis dari praktisi tentang bagaimana konservasi kehidupan liar. Kedua, kami juga ingin mengangkat dan meningkatkan eksistensi Kayoman Pedawa,” terang Rosek, di tengah suara guyuran hujan.
Apa yang dikatakan Rosek memang benar. Pemateri dalam acara ini semuanya adalah praktisi di bidang konservasi kehidupan liar yang diambil dari PROFAUNA Indonesia Foundation dan Yayasan Penyu Indonesia (YPI). Pantas saja, 26 enam peserta yang datang dari berbagai daerah di Indonesia—Sulawesi, Bali, Jawa, Sumatera, dan lainnya—itu tampak senang dan serius mendengarkan setiap materi yang disampaikan para praktisi.
Suasana forum Bali Wildlife Camp 2024 / Foto: Jaswanto
Setidaknya ada enam materi yang disampaikan, yakni konservasi dan hukum perlindungan satwa liar, dendrology dan praktek herbarium, sensus satwa liar, bird watching, konservasi penyu, dan outdoor games. Selain itu, masyarakat adat yang diwakili Kayoman Pedawa juga berbagi pengalaman mereka dalam melestarikan mata air dan hutan desa.
Seorang peserta dari Belitung, Muhammad Bawim, mengaku rela jauh-jauh ke Pedawa demi untuk belajar mengenai alam, satwa, dan vegetasi yang tidak ia ketahui—yang nantinya pengetahuan tersebut dapat disalurkan kepada teman-temannya di daerah yang belum mendapat kesempatan untuk mengikuti acara tersebut.
“Di tempat saya masih banyak orang yang tidak tahu mengenai konservasi lingkungan. Jadi, saya ingin apa yang saya dapatkan dari sini, bisa saya sampaikan kepada teman-teman di sana,” harapnya.
Dengan banyaknya orang luar daerah yang mengunjungi Pedawa, menurut Putu Yuli Supriyandana, selaku ketua Kayoman Pedawa, secara tidak langsung, kegiatan seperti ini dapat mempromosikan potensi Desa Pedawa. “Dan ini juga menjadi pembelajaran ke depan bagi kami, Kayoman, bahwa menyelenggarakan kegiatan itu tidak harus formal,” ujarnya.
Menurut Yuli, acara ini sudah dipersiapkan dua minggu sebelumnya oleh pihak PROFAUNA. Persiapan tersebut dilakukan salah satunya adalah untuk memastikan kondisi lokasi kemah dan tempat-tempat yang akan dijadikan sebagai titik pengamatan burung dan tumbuh-tumbuhan yang termasuk tanaman konservasi.
Laboratorium Alam
Sebelum kegiatan berlangsung, selama dua minggu, bersama Kayoman, PROFAUNA telah melakukan pengamatan burung di sekitar hutan Pedawa terlebih dahulu. Dari hasil amatan tersebut, pihak PROFAUNA mengatakan setidaknya ada enambelas burung yang berhasil diamati, yakni burung crukcuk (brebah), bondol jawa.
Juga kacamata (jenis pleci), tekukur, walik kembang, meninting besar, sepah kecil, cabe jawa, cinenen kelabu, prenjak jawa, cekakak sungai, bondol peking, burung punai (mitos), madu srigati, perking kumbang, dan elang hitam.
Peserta Bali Wildlife Camp 2024 sedang melakukan praktik lapangan / Foto: Jaswanto
Namun, mereka percaya setidaknya ada 30 jenis burung yang ada di Pedawa. Menurut data yang mereka berikan, untuk burung jalak dan celalongan sudah tidak ada. Kemungkinan pindah tempat karena habitatnya sudah tidak menyediakan makanan.
Selain burung, di Pedawa juga masih ada kijang, luwak, trenggiling, landak, tupai (besar dan kecil), monyet ekor panjang, macan akar, rase, beluk, dan ayam hutan merah.
Mengenai hal tersebut, menurut Rosek, Pedawa dapat dijadikan laboratorium alam yang sangat berguna bagi dunia pendidikan, misalnya. “Sehingga mahasiswa dapat melakukan riset tentang satwa, vegetasi. Saya kira potensinya [Pedawa] sangat luar biasa,” jelasnya.
Mengenai sumber mata air atau ekosistem lingkungan secara umum di Pedawa, menurut Putu Yuli, cukup baik karena didukung oleh kesadaran masyarakat yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini, sebagaimana telah disinggung di awal, juga berdampak pada satwa liar di Pedawa.
“Satwa-satwa yang sudah lama tidak terlihat di Pedawa, terutama burung, sudah mulai bermunculan kembali, seperti anis merah salah satunya,” terang Yuli. Tentu ini adalah kabar yang menggembirakan. Semoga, ini juga terjadi di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia.[T]
BACA artikel lain tentang DESA PEDAWA di sini