PAGI-PAGI SEKALI, Abdul Muis sudah bersiap pergi ke hutan jati dekat pemukimannya di Desa Jadi, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Ia ke sana tak hendak mencuri atau menebang pohon jati layaknya blandongan seperti zaman dulu, tapi sekadar melakukan kegiatan yang nyaris ia lakukan setiap tahun, yaitu mencari ulat jati (hyblaea puera).
Benar. Di musim hujan seperti sekarang ini, selain dirayakan dengan menanam padi, jagung, dan segala palawija, bagi petani di sekitaran Jawa Timur dan Jawa Tengah, mencari ulat (enthung) jati juga tak boleh terlewatkan. Enthung atau kepompong ulat jati di awal musim hujan adalah berkah.
Maka tak heran jika warga yang bermukim di dekat hutan jati beramai-ramai untuk berburu kepompong ulat jati yang muncul setiap tahun sekali itu. Uniknya, sebagian besar pemburu ulat ini adalah emak-emak. Muis adalah satu dari sedikit bapak-bapak yang ikut berburu ulat jati.
Ulat jati tersebut, setelah berubah menjadi kepompong, selain dikonsumsi sendiri untuk lauk, juga dijual di pengepul. Sedangkan untuk ulatnya biasanya dijual dan digunakan sebagai pakan burung, meski tak sedikit pemburu memilih mendiamkannya di wadah khusus sampai menjadi kepompong—karena harganya lebih mahal daripada ulatnya.
Warga sedang mencari kepompong dan ulat jati / Foto: Dziky
“Saya cari kepompong untuk dijual dan dibuat pakan burung. Harganya 100 ribu per kilo. Biasanya nyari dari jam 7 pagi pulang jam 12 siang. Ulat ini banyak muncul saat memasuki awal musim hujan,” ujar Abdul Muis, Sabtu (23/12/2023).
Menurut Muis, aktifitas berburu ulat seperti ini dilakukan hampir merata di seluruh kawasan hutan jati di Kabupaten Tuban. Dalam sehari, warga—para pemburu ulat itu—mampu mengumpulkan satu hingga dua kilogram kepompong dan ulat daun jati yang masih segar. Seperti yang telah disampaikan Muis, selain dikonsumsi sendiri, hasil buruan itu juga dapat dijual dengan harga Rp.100.000 per kilogram. Fantastis.
Hal senada juga disampaikan pemburu ulat jati lainnya, Warsi, yang mengatakan berburu kepompong dan ulat daun jati seperti ini sudah menjadi tradisi bagi warga tepian hutan jati di Tuban setiap awal musim penghujan.
Kepompong dan ulat jati / Foto: Dziky
Ulat yang muncul setelah hujan pertama ini akan bermetamorfosis menjadi kepompong. Sedangkan perburuan hanya akan berlangsung selama beberapa pekan sebelum ulat berubah menjadi ngengat.
“Nyari kepompong untuk dijual. Ke sini dari jam 8 pagi sama anak-anak. Ulat sama enthung ini biasanya muncul saat musim tanam jagung. Tiap musim jagung, saya dan warga sering nyari ulat dan kepompong, nah nanti uangnya untuk beli kebutuhan sehari-hari,” ujar Warsi.
Namun, meski tak memerlukan peralatan khusus, mencari kepompong ulat jati bisa dibilang susah-susah gampang. Perlu insting dan pengelihatan yang jeli, kata Muis. Sebab, kepompong biasanya berada di bawah tanah atau daun-daun jati yang mengering. Spesies ngengat itu juga membalut dirinya dengan semacam serabut tipis yang menyerupai kapas.
Ulat dan kepompong yang mereka dapatkan kemudian dikumpulkan dalam sebuah wadah seperti kantong plastik, karung kecil, ember, atau toples. Mereka, para pemburu itu, seakan tak mau menyia-nyiakan kesempatan, biasanya menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam hutan.
Lumbung Pangan Alternatif
Hubungan antara manusia dengan serangga sudah berjalan sejak dulu. Interaksi tersebut tak selalu merugikan (parasitisme); tapi juga menguntungkan (mutualisme). Itu terbukti, yang paling sederhana, dengan dimanfaatkannya beberapa jenis serangga sebagai salah satu makanan bergizi bagi umat manusia.
Serangga yang biasa dikonsumsi manusia adalah belalang, jangkrik, kumbang puthul, pupa ulat jati, serta laron. Serangga-serangga tersebut diolah dengan berbagai macam cara, mulai dari direbus, digoreng, atau dipanggang dengan berbagai bumbu dan rempah. Biasanya, manusia akan mengolah serangga tersebut dengan bumbu yang pedas, gurih, dan manis.
Dalam sejarah peradaban manusia, banyak bangsa yang memanfaatkan serangga sebagai makanan, seperti Suku Aborigin yang mengonsumsi ngengat bogong (Agrotis infusa) dalam jumlah besar antara bulan Desember sampai Februari, misalnya.
Atau di beberapa negara di Afrika (Botswana, Afrika Selatan, Zaire, dan Zimbabwe) bahkan terdapat pasar yang cukup besar untuk ulat mopanie (Gonimbrasia bellina) yang dapat mengalahkan penjualan sapi pada saat musimnya.
Warga sedang mencari kepompong dan ulat jati / Foto: Dziky
Selain itu, serangga juga banyak dikonsumsi oleh banyak penduduk di berbagai negara di Asia. Sedangkan di Meksiko, gusanos de maguey adalah sejenis ulat daun pohon maguey (Aegiale hesperiaris) yang banyak dijual segar di pasar. Pengolahannya digoreng sebelum dimakan bahkan ada yang dijual dalam kaleng.
Tak terkecuali di Indonesia, banyak penduduk di beberapa daerah di Pulau Jawa gemar memakan laron yang terbang menghampiri cahaya pada malam hari saat musim hujan. Di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, misalnya, masyarakat mengonsumsi belalang yang digoreng. Dan tentu, di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, memakan ulat jati adalah kemewahan tersendiri.
Selain menjadi alternatif sumber protein yang mudah didapatkan, makan serangga juga merupakan bagian dari tradisi dan budaya masyarakat yang hidup di pedesaan. Kebiasaan memakan serangga dianggap sebagai bentuk kearifan lokal yang terus dilestarikan hingga saat ini. Tak ada yang tahu kapan pertama kali tradisi ini dimulai.
Namun, yang jelas, terdapat stigma yang menganggap bahwa itu dilakukan karena faktor ekonomi—dengan kata lain: kemiskinan. Padahal, tak selamanya begitu, sebab mengenai pangan di suatu daerah tentu dipengaruhi oleh hasil alamnya.
Kepompong dan ulat jati / Foto: Dziky
Beberapa peneliti seperti Taylor dan Carter (1976), DeFoliart (1992, 1999), dan Berenbaum (1995) telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan popularitas dari serangga sebagai sumber makanan pengganti karena dibandingkan dengan hewan ternak pedaging umumnya, serangga memiliki efisiensi tinggi dalam mengonsumsi tumbuhan menjadi daging yang memiliki nilai nutrisi tinggi.
Akan tetapi, usaha ini tidak berhasil seiring dengan meningkatnya pengaruh Barat pada daerah-daerah kolonial miskin sehingga mengubah pola makan dari masyarakat setempat. Kasus ini serupa dengan beras-isasi pada masa pemerintahan Orde Baru yang sedikit banyak memengaruhi sejarah keberagaman pangan masyarakat lokal di Indonesia.
Beras menggusur sorgum dan jagung di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan beberapa wilayah di Jawa dan menggantikan sagu di Papua. Dan itu berlangsung sampai hari ini. Bahkan, kemudian lahir stigma bahwa hanya orang miskin dan tertinggal saja yang masih mengonsumsi jagung. Orang kaya, orang bermartabat, memakan nasi putih.[T]
Reporter: Dziky (JTV)
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana