SAYA ceritakan di sini cerita ayah kepada saya tentang pengalamannya berbahasa Bali. Cukup dua cerita, meski tidak lengkap. Cerita pertama. Ayah saya berkunjung ke rumah temannya di sebuah desa di Karangasem. Langkah-langkahan ayah saya memang tidak jauh-jauh dari seputaran tempat tinggal kami. Sarana transportasi sangat belum mendukung bepergian jauh.
Teman ayah saya sekeluarga belum terbiasa berbahasa Bali natya. Tidak menjadi kendala bagi ayah yang tergolong fleksibel dalam berbahasa Bali, terbiasa madegag, terbiasa juga manatya. Tidak muncul kecanggungan ketika tiba-tiba mesti madegag atau manatya. Namun demikian tidak akan terhindarkan muncul perasaan kabilbil (perasaan tidak mengenakkan) ketika sedang madegag tiba-tiba mesti manatya.
Meski ada sedikit kesenjangan dalam berbahasa Bali, sebagai tuan rumah yang baik, teman dari jauh berkunjung, disajikanlah makanan selain minuman kopi dan jajan. Sebagai tuan rumah yang baik juga, tuan rumah menyilakan tamunya menyantap hidangan yang telah tersaji. Bermaksud natya kepada tamu, apa daya tuan rumah masih jokan dalam berbahasa Bali, justru yang terucap, “Nah té, Bapa Wayan, betek-betekang majengan.”
Niat yang baik tentu diupayakan ditanggapi dengan baik juga. Ayah saya tidak menanggapi betek-betekang majengan, dan temannya dikondisikan tidak menyadari betek-betekang majengan itu. Memang bahasa Bali satu-satunya bahasa komunikasinya, hanya saja teman ayah belum fasih nyaru basa. Masih lurus-lurus saja dalam berbahasa.
Cerita kedua. Semenjak remaja ayah nyaludin (menggantikan) peran kakek ngayah nekapin (mengolah) tanah sawah milik sebuah griya di Karangasem, mulai makal (tahap awal membajak), ngau (tahap awal meratakan), madingang bakalan (tahap akhir membajak), dan melasah (tahap akhir meratakan), termasuk nebegin (mencangkul) sudut-sudut petak sawah ketika makal, dan nuludin (meratakan dengan alat tulud) sebagai penutup penyiapan lahan tanam padi.
Ngayah, sudah tentu tanpa upah, baik berupa uang, hasil panen padi, atau bentuk lain. Imbalan yang diterima ayah berupa makanan awaregan (dicukupkan untuk mengenyangkan perut), itu pun tidak selalu disediakan, kata ayah. Walaupun konsepnya ngayah nekapin, tidak cukup hanya tenaga dan keterampilan matekap yang mesti disiapkan, akan tetapi sepasang sapi disiapkan sendiri, perangkat bajak, garu, cangkul, dan tulud juga disiapkan sendiri oleh ayah.
Dengan konsep ngayah mandiri, agar dapat nunas lungsuran pun harus tangkil ke griya, tidak dibawakan ke sawah. Nunas lungsuran ke griya, ayah tidak mendapatkan kenikmatan nèkor (makanan beralaskan daun pisang) bersantap duduk di pematang sawah atau di bawah dangau dalam semilir angin dengan lumpur masih terselip di ujung kuku jari tangan.
Badan letih dan perut lapar sangat mungkin memicu pemikiran menjadi kurang stabil. Tiba di griya hendak nunas lungsuran, seseorang dari griya bertanya kepada ayah, “Suba ngamah, Da?” Nama ayah saya adalah Wayan Tada. Menyapa “Da” dari “Tada” kepada ayah, warga griya sudah menempatkannya pada tempat yang semestinya. Jika sampai terjadi warga griya menyapa “Tada” kepada ayah, warga griya nyinggihang (meninggikan) ayah, apalagi jika disapa “Wayan”.
Orang jaba berhak matebah amadyana (disapa tidak natya yang tidak degag) jika berpengetahuan, memahami pustaka lontar menjadi tolok ukur. Jero mangku dan balian masuk kategori ini, termasuk orang yang paham makakawin dan makidung. Maka pahamilah bahasa, aksara, dan sastra agar mendapatkan penghargaan matebah amadyana, tidak tebaha dengan madegagin.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, ayah menjawab dengan pola kalimat yang tidak lengkap. “Durung. I ratu sampun?” Seketika makliyeb (berubah merah padam) wajah orang griya itu. Orang berpengetahuan mendapatkan jawaban dari sesuatu yang tidak disampaikan dengan panjang kali lebar.
Agar menjadi kalimat yang sempurna, ada beberapa pilihan kata yang tersedia untuk kalimat “I ratu sampun?” sehingga menjadi kalimat “I ratu sampun marayunan?”, “I ratu sampun majengan?”, “I ratu sampun neda?” atau “I ratu sampun ngamah?”. Efek badan letih dan perut lapar, sangat mungkin kalimat terakhir yang muncul pada pikiran ayah dan orang griya itu—dan sangat jauh kemungkinannya muncul kalimat pertama.
Selain nyaru basa dengan pola kalimat tidak sempurna, kosakata bahasa Bali yang tergolong ragam degag dan natya sekaligus, menjadi pilihan ketika seseorang ingin nyaru basa, baik kata benda, kata sifat, maupun kata kerja.
Jero : “Apa to maba, Mang?”
Jaba : “Salak.”
Jero : “Dija meli?”
Jaba : “Tenten.”
Jero : “Maal apa mudah jani salaké?”
Jaba : “Sedengan.”
Jero : “Ji kuda bakat né akilo?”
Jaba : “Dasa tali.”
Sangat sulit disembunyikan dan sangat kentara kadar sopan santun berbahasa orang yang memilih nyaru basa. Selain itu dibutuhkan keterampilan di atas rata-rata dalam memilih kata. Orang marah dan orang dongkol kadang dengan sengaja bermaksud merendahkan kawan bercakap, dan kesengajaan itu tidak diupayakan ditutup-tutupi.
Orang yang enggan bertanya “antuk linggih” kepada orang asing yang menjadi kawan bercakap, cenderung memilih nyaru basa. Tidak akan muncul sapaan tityang, jero, atau ratu dalam percakapan, sekalipun ragam natya bahasa pengantar percakapan mereka. Subjek kalimat tidak akan muncul dalam percakapan nyaru basa seperti ini.
Sendi : “Sampun mabuat?”
Tampul : “Durung polih meseh.”
Sendi : “Sané kèn minab jagi buatin?”
Tampul : “Polih panyanèh ring biying.”
Sendi : “Ngiring mameseh antuk.”
Tampul : “Ngiring.”
Sendi : “Akuda minab jagi mabuat?”
Tampul : “Domas.”
Tidak ingin merendahkan kawan bercakap, nyaru basa ketika berbahasa Bali tidak dianjurkan, dan nyaru basa bukan pilihan, kecuali dengan terpaksa dan tidak memungkinkan untuk dihindari, sebab bahasa menunjukkan bangsa.[T]