MUSIM hujan seperti biasa sudah menyambut. Meski di beberapa wilayah belum terlalu kebasahan.
Di Desa Les, Tejakula, Buleleng, beberapa kali sudah turun hujan. Kira-kira 3 kali. Masih cenderung cerah dan gerah.
Entah itu karena perubahan iklim atau apa, entahlah. Yang pasti saya dan banyak teman sejawat akan selalu mengingat panganan tempoe doeloe yang enak dibikin saat musim hujan tiba.
Sebagai anak Desa Les saya menyebut singkong atau ketela pohon dengan nama “sabrang” di periode di bawah tahun 2000.
Mencabut umbu singkong di kebun
Sabrang adalah panganan yang sangat khas diolah terlebih ketika musim hujan tiba. Sesederhana dibakar atau dalam istilah lokal “nambus”. Terlebih ketika berada di kebun yang saya sebut “dimelan” turun hujan, insting sudah secara otomatis menunjuk sebuah pohon penyedia karbohidrat yang konon rendah gula yaitu “sabrang”.
Tinggal cabut, dibersihkan dengan air hujan, dan dimasukan ke bara api sambil menghitung rintik hujan hingga mereda.
Meski hari ini masih ada beberapa petani yang menanam singkong, tetapi melihat singkong adalah suatu hal yang barangkali sangat langka. Terlebih diversifikasi makanan ala makanan cepat saji ditambah iklan yang seperti menyulap imaji anak-anak di platform digital.
Tetapi yang namanya kealamian akan selalu mempunyai penganutnya sendiri.
Memori bagaimana singkong atau “sabrang” diolah menjadi panganan sejatinya telah diwariskan jauh sebelum ada makanan cepat saji.
Merebus singkong di tegalan
Dari memori “nambus sabrang”, membakar umbi singkong, kita belajar banyak hal. Bagaimana singkong ditanam, bertumbuh sampai siap dipanen. Ada yang dibakar, direbus, dicicih menjadi nasi pun menjadi sagu.
Setidaknya musim hujan hari ini mengingatkan saya jika singkong pun sudah sangat jarang di desa, begitu pun dengan jagung dan teman-temannya.
Kenyataan ini membuat saya percaya jika swasembada apapun itu mungkin hanya akan terjadi di musim kampanye saja tidak mungkin terjadi di musim hujan dan musim kering. [T]
- BACA artikel lain tentang DESA LES