SEPANJANG perjalanan dari Banyuwangi sampai Surabaya, di dalam gerbong lima kereta Probowangi (kereta yang membawa saya dari Stasiun Banyuwangi Baru ke Stasiun Gubeng Surabaya), selain tidur dan berbincang dengan perempuan yang saya anggap kekasih, sesekali saya sempatkan untuk membaca novel otobiografi—atau semacam memoar—pemenang hadiah Nobel Sastra 2012 Mo Yan, Di Bawah Bendera Merah (2013).
Novel terjemahan Fahmy Yamani itu, meski belum selesai saya baca, berdasarkan pengantar dari Peminpin Redaksi Penerbit Serambi, Anton Kurnia, saya tahu bahwa ini adalah memoar dalam bentuk novel pendek yang mengisahkan masa 40 tahun kehidupan Mo Yan antara 1969-2009 dengan benang merah kenangan masa kecilnya dan perubahan kehidupannya sejak bergabung dengan Tentara Pembebasan Rakyat atau Tentara Merah yang menjadi gerbang emas baginya untuk memperbaiki taraf hidup dan merintis karier sebagai penulis.
Sejak membaca halaman pertama hingga bagian keempat, saya langsung terpikat. Dalam buku ini, dengan kalimat-kalimat lancar memikat—terkadang nakal dan menggelitik seperti kata Anton—Mo Yan mendedah kisah cinta sekolah rendah (yang terus membayanginya hingga puluhan tahun), perubahan situasi sosial politik China di bawah kibaran bendera merah (yang diwarnai segenap suka dan duka), serta kronik sejarah (yang dikaitkan dengan pengalaman personalnya dan orang-orang yang dikenalnya sejak kecil).
Sampai di sini, dan ini yang membuat saya kagum, tak seperti narasi-narasi lain yang membahas China sebagai salah satu negara komunis terbesar dan sukses sepanjang sejarah—salah satu macan ekonomi dan politik dunia saat ini—buku ini mewakili sejarah orang-orang kecil, meminjam istilah Anton, “semacam petite histoire yang dituturkan dengan sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung refleksi yang cerdas dan dalam.” Ya, begitulah seharusnya seorang maestro sastra menceritakan kisahnya.
Tetapi ini bukan tentang Di Bawah Bendera Merah karya Mo Yan—sastrawan yang oleh New York Times disebut sebagai salah satu penulis terbaik dunia dari China itu. Ini tentang refleksi sederhana saat saya, untuk kesekian kalinya, kembali menginjakkan kaki di kota kelahiran saya, Tuban, Jawa Timur.
***
Saya tiba di Tuban tepat setelah orang-orang selesai menunaikan ibadah salat jumat. Bus Sinar Mandiri jurusan Surabaya-Tuban-Semarang yang lajunya mobat-mabit itu menurunkan saya di halte selatan Patung Letda Soetjipto yang gagah dan legendaris yang berdiri di sisi barat kota itu. Mengenai Letda Soetjipto, bersama pasukannya selama Agresi Militer II di Tuban-Bojonegoro, adalah mimpi buruk bagi pasukan Belanda ketika itu.
(Perjuangannya bersama Brigade Ronggolawe dapat dibaca di Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe (1985) oleh Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe dan Dewan Harian Cabang 45: Riwayat Singkat Letda Soetjipto.)
Sebagai kota tua, Tuban memiliki sejarah yang panjang. Sejak zaman Majapahit kota ini menjadi salah satu kota terpenting dengan pelabuhannya, Kambang Putih, yang memiliki riwayat dahsyat itu. Bahkan, beberapa riwayat menyebut bahwa Pelabuhan Kambang Putih sudah ada sejak pemerintahan Airlangga di Kahuripan.
Lebih daripada itu, sumber China pada awal abad ke-15 yang termuat dalam kitab Ying Yai Shing-Lan menyebutkan bahwa Tuban merupakan salah satu dari empat kota besar di Jawa (Majapahit) yang tidak memiliki tembok kota.
Dan sebagai kota pelabuhan di Nusantara, Tuban barangkali, mungkin, sama pentingnya dengan Banten dan Makassar sebelum VOC merubah segala-galanya. Oleh karena itu, berbicara wilayah maritim di Nusantara rasanya kurang afdhol jika tidak menyebut satu kota bernama Tuban. Dan mengenai kemundurannya yang menyebabkan gaung-namanya pelan-pelan tenggelam dan dilupakan, kita perlu kembali ke masa yang lebih awal, keruntuhan Majapahit.
Bukan maksud saya mengulang pelajaran sejarah di sekolah, tapi ada baiknya kita menyimak kisah jatuh-bangun Tuban sebagai akar dari gerak memunggungi laut. Mengenai keruntuhan Pelabuhan Kambang Putih, dalam pidato kebudayaannya yang bertajuk Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik, yang dibacakannya di Dewan Kesenian Jakarta pada 2014 silam, Hilmar Farid mengatakan:
“Ada banyak teori dan versi mengenai sebab keruntuhannya (Majapahit), tapi narasi yang paling menarik tidak datang dari ahli arkeologi atau sejarah, melainkan seorang novelis: Pramoedya Ananta Toer. Dalam novelnya Arus Balik Pramoedya bercerita mengenai keruntuhan Tuban, kota pelabuhan terakhir di pantai utara Jawa yang masih setia kepada Majapahit.”
Arus Balik merupakan novel pertama yang ditulis Pram ketika ditahan tanpa pengadilan oleh penguasa Orde Baru di Pulau Buru yang, menurut Hilmar Farid, menggambarkan degenerasi penguasa Tuban, seorang adipati yang berpikiran sempit, mau menang sendiri, berperilaku feodal, persis seperti yang digambarkan oleh budayawan Mochtar Lubis pada tahun 1977 dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban.
Di tangan sang adipati Tuban ketika itu, wilayah penting Majapahit itu seperti kehilangan orientasi. Seperti kata Hilmar, daerah pedalaman sudah tidak lagi bisa memberikan supply yang diperlukan, tidak ada lagi kehidupan ekonomi yang meriah, produksi berhenti, dan tidak ada lagi arus barang, tenaga dan pengetahuan dari selatan ke utara. Alih-alih berdagang dengan negeri yang jauh, Tuban malah disibukkan oleh serangan para penguasa pantai utara Jawa yang lain.
Novel panjang dengan adegan perang yang rinci dan mengasyikkan sebagai sebuah cerita itu, sebagaimana telah disampaikan Hilmar Farid dalam pidatonya, punya misi lebih besar lagi: menjelaskan transformasi kultural yang terjadi di masa akhir kejayaan Majapahit. Galeng—tokoh dalam Arus Balik— yang ditempa oleh perang dan perebutan kekuasaan, di akhir novel bercerita setelah berhasil merebut kembali Tuban dari tangan Portugis, mengomentari perubahan besar yang melanda:
“Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.”
Namun, semua itu hanya kejayaan masa lalu. Kini wajah Tuban sudah jauh berbeda, meski beberapa pemimpinnya masih ada yang berpikiran sempit, mau menang sendiri, dan berperilaku feodal. Dan mungkin karena sikap seperti itulah, Kabupaten Tuban masih setia bertengger di urutan kelima sebagai daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Jawa Timur.
Hal tersebut tentu sangat kontradiktif dengan realita Tuban sebagai kota industri dan memiliki kekayaan alam melimpah. Oh, mungkin, adanya industri sepertinya tak ada hubungannya dengan berkurangnya jumlah kemiskinan. Saya malah curiga, dengan adanya industri justru kemiskinan malah semakin terlihat jelas. Ketimpangan ada di mana-mana. Kesejahteraan yang ditawarkan industri hanya berlaku bagi segelintir orang saja.
Beberapa hari yang lalu saya membaca tulisan Wahyu Eka Setyawan—manajer kampanye WALHI Jatim—di Indoprogress.com. Judulnya “Negara Hadir di Kilang Minyak Tuban untuk Merampas Ruang Hidup Rakyat”. Sebuah tulisan berat bagi pemuda malas seperti saya. Tetapi karena saya ingin tahu, akhirnya saya membacanya sampai selesai.
Saya mendapat banyak informasi dari tulisan panjang itu. Salah satunya adalah tentang Tuban yang masuk dalam wilayah pengembangan sarana dan prasarana terkait migas. Dalam RTRW Provinsi Jawa Timur poin ke-6, tulis Wahyu, Tuban adalah salah satu daerah yang diprioritaskan untuk pembangunan proyek strategis migas nasional.
Lebih jauh, pada pasal 92 menyebutkan Tuban masuk dalam rencana Kawasan Strategis Nasional (KSN). Tak tanggung-tanggung, lokasi ini digadang-gadang akan menghasilkan 300 ribu barel minyak per hari. “Inilah ambisi pemerintah memproduksi minyak secara efisien sehingga mendapatkan keuntung besar,” kata Wahyu dalam tulisannya.
Membaca tulisan tentang kilang minyak, saya teringat kengerian lumpur Lapindo—yang sampai sekarang, masih mendaulat Porong dan sekitarnya. 14 tahun berlalu, semburan lumpur Lapindo belum juga berhenti. Berawal dari tahun 2006, saat PT. Lapindo Brantas, perusahaan milik Grup Bakri, melakukan pengeboran kilang minyak di sana. Naas. Bukan malah membawa kesejahteraan, tapi malah membawa bencana yang mengerikan.
Dampaknya: 6 desa di 3 kecamatan tenggelam.; 25 ribu warga harus mengungsi; 8.200 warga dievakuasi; 10.426 rumah hunian; 77 ribu rumah ibadah tergenang; 600 hektar lahan terendam; dan 30 pabrik yang hancur membuat 1.873 pekerja kehilangan pekerjaan. Malangnya, kontrak mengelola migas yang seharusnya berakhir 22 April 2020 lalu, pada 2018 resmi diperpanjang oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, hingga tahun 2040. Ironis! Asal-asalan dalam beroprasi hingga mengabaikan ruang hidup, tapi masih diberi kesempatan. Lumpur Lapindo hanya menambah catatan kelam industrialisasi.
Tak ada pembangunan tanpa konsekuensi. Ada yang dipilih, artinya ada yang harus dikorbankan. Pemerintah memilih membangun kilang miyak di Tuban, artinya pemerintah harus mengorbankan lahan pertanian produktif seluas 841 hektar: 348 hektar milik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); 109 hektar milik PT Perhutani; dan sisanya, 384 hektar milik warga.
Bukan hanya itu, karena pemerintah memilih kilang minyak, artinya pemerintah juga mengorbankan 6.738 ton gabah. Sebutan Tuban lumbung pangan Jawa Timur pun hanya akan menjadi masa lalu. Dan bagaimana nasib petani yang tanahnya masuk dalam daftar? Sial, dengan suka cita mereka malah menikmati uang hasil jual tanah produktifnya dengan membabi-buta.
Seketika mereka membangun rumah mewah, membeli mobil mewah, yang menurut sebuah artikel di Tirto.id dikatakan “tak bijak dari sudut pandang pengelolaan keuangan. Rezeki nomplok itu tak akan bertahan lama dan sewaktu-waktu warga akan kekurangan bahkan kemungkinan terburuk jatuh miskin.”
Namun, di lain sisi, sebagaimana disampaikan Vincent Fabian dalam “Aksi Warga Tuban Beli Mobil Cermin Minimnya Literasi Keuangan”, pengalaman warga lain bisa jadi preseden. Video dokumenter Watchdoc dengan judul “Samin vs Semen” yang terbit 2015 lalu memuat cerita pahit sejumlah warga Tuban setelah 20 tahun menjual tanah ke pabrik semen. Ketika ditanya apakah uang itu masih ada, seorang warga yang kebetulan lewat menjawab, “Ya, habis. Malah sekarang kekurangan” (menit ke-32). Kilang minyak dan pabrik semen hanya dua di antara berbagai masalah yang ada di Tuban.
***
Tuban… ah, rasanya sudah lama sekali tak saya kunjungi. Padahal lebaran kemarin baru saja saya hirup udaranya. Tapi mungkin begitulah cara kerja tanah kelahiran. Selain Singaraja, saya meyakini bahwa ada sesuatu yang istimewa mengenai kampung saya—walaupun kondisinya demikian.
Ketika saya sampai rumah nanti, pikir saya sebelum angkot merah Singaraja-Gilimanuk dengan semena-mena membawa tubuh saya, secara harfiah mungkin ada ilalang di jalan yang menyebabkan sesuatu yang tak diinginkan; dan mungkin saya akan mendapati dua atau tiga warung kopi baru berdiri di sana. Atau malah saya akan terkejut ketika mendapati bahwa saya tidak mengenali seorang pun. Itu memang tidak pernah terjadi sebelumnya. Saya hanya berandai-andai saja.
“Apakah Karang Binangun rumahmu?” tanya seorang teman.
Lagi-lagi, ada sedikit keraguan dalam diri saya. “Saya sudah berada di sana sebelum di sini, jadi saya kira itulah rumah saya. Semua bagian yang saya sayangi ada di sana.”
Mendengar jawaban saya sendiri, saya teringat pada sesuatu yang disampaikan seorang sutradara film Islandia untuk menjawab pertanyaan Eric Weiner, penulis buku The Geography of Bliss yang terkenal itu. Ada sebuah pertanyaan sederhana, katanya, yang jawabannya mengidentifikasi rumah sejati Anda. Pertanyaannya adalah: “Di mana Anda ingin meninggal dunia?”
“Di Vermont, tempat saya dibesarkan,” kata sutradara film itu. Di sanalah, bukan di tempat lain, di mana dia ingin abunya ditaburkan.
Pada titik ini saya pun demikian, meski saya tidak paham betul apa makna sebuah kepulangan. Namun, mungkin, seperti kata Gunawan Mohamad, barangkali, bahwa mencintai tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain selain dari yang satu itu. Sekali lagi mungkin, itulah kenapa setiap kali pulang kampung, saya merasa bahagia. Sebab saya merasa, tak ada negeri lain, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk terus hidup, bekerja, dan terutama untuk mati, selain negeri tanah kelahiran.[T]